Lingkungan

Bumi Semakin Rapuh Akibat Emisi Karbon Manusia

Para ilmuwan mengungkap bahwa ketahanan Bumi terhadap tekanan akibat emisi karbon buatan manusia mungkin lebih lemah dari yang selama ini diperkirakan. Temuan ini berasal dari penelitian terbaru yang dipimpin oleh International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) bekerja sama dengan Lviv Polytechnic National University, Ukraina. Penelitian ini tidak hanya menghitung emisi karbon dalam bentuk angka, tetapi juga mengembangkan pendekatan baru untuk melihat bagaimana Bumi secara fisik merespons tekanan lingkungan yang terus meningkat.

Dalam studi ini, para peneliti memperkenalkan konsep “daya tekanan” atau stress power, yaitu ukuran seberapa besar energi yang ditambahkan oleh aktivitas manusia ke dalam sistem Bumi setiap tahunnya. Pada tahun 2021, daya tekanan ini diperkirakan berada di kisaran 12,8 hingga 15,5 pascal per tahun. Meskipun terdengar kecil—sekitar tekanan dari hembusan angin ringan—dampaknya bisa sangat besar jika dilihat dalam konteks skala global, mencakup daratan, laut, dan atmosfer. Tekanan ini diyakini mampu menggeser keseimbangan alami Bumi yang selama ribuan tahun relatif stabil.

Bumi Semakin Rapuh Akibat Emisi Karbon Manusia Read More »

Ketika Hutan Hujan Hilang, Bumi Terjebak dalam Panas Ekstrem

Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa hilangnya hutan hujan tropis saat peristiwa kepunahan massal terbesar di Bumi — yang dikenal sebagai “Kematian Besar” — mungkin menjadi penyebab utama dari pemanasan global berkepanjangan yang terjadi setelahnya. Sekitar 252 juta tahun lalu, peristiwa ini menghapus sebagian besar kehidupan laut dan banyak spesies darat, diduga akibat aktivitas vulkanik besar di Siberia. Namun, para ilmuwan selama ini masih bertanya-tanya mengapa pemanasan ekstrem tersebut berlangsung selama lima juta tahun.

Tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Universitas Leeds dan Universitas Geosains China di Wuhan kini telah menemukan bukti baru yang menguatkan hipotesis bahwa kehancuran hutan hujan tropis menyebabkan hilangnya fungsi Bumi dalam menyerap karbon dioksida. Saat hutan ini lenyap, CO₂ yang seharusnya diserap oleh tanaman dan tanah dibiarkan melayang bebas di atmosfer, menyebabkan suhu global terus naik.

Dalam studi ini, para peneliti menganalisis catatan fosil dan kondisi iklim purba melalui batuan-batuan khas di China. Mereka memetakan perubahan produktivitas tanaman selama peristiwa tersebut dan menemukan bahwa vegetasi hancur secara drastis. Hasil riset ini dipublikasikan dalam Nature Communications pada 2 Juli 2025.

Ketika Hutan Hujan Hilang, Bumi Terjebak dalam Panas Ekstrem Read More »

Perubahan Iklim Terlalu Cepat, Hutan Tak Mampu Adaptasi

Perubahan iklim saat ini terjadi jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan hutan untuk menyesuaikan diri. Sementara suhu global meningkat hanya dalam hitungan dekade, pohon-pohon di hutan membutuhkan waktu 100 hingga 200 tahun untuk menyesuaikan diri. Hal ini mengakibatkan ketidaksesuaian antara kecepatan perubahan iklim dan kemampuan alami ekosistem hutan untuk beradaptasi.

Penelitian terbaru dari Syracuse University yang diterbitkan dalam jurnal Science pada 4 Juli 2025 mengungkap bahwa hutan-hutan di belahan bumi utara mengalami keterlambatan adaptasi hingga dua abad dalam merespons perubahan iklim. Dengan menggunakan data serbuk sari purba dari inti sedimen dan metode analisis spektral, para ilmuwan berhasil memperkirakan seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh populasi pohon untuk bergeser akibat perubahan iklim.

Sebelum perubahan iklim ekstrem terjadi dalam satu abad terakhir, pohon-pohon dapat bermigrasi perlahan ke arah selatan saat zaman es terjadi, lalu kembali ke utara ketika suhu bumi menghangat. Migrasi ini didorong oleh angin dan hewan yang menyebarkan biji. Namun, saat ini perubahan iklim terjadi terlalu cepat. Pohon-pohon yang berumur panjang tidak bisa bergerak cepat, dan regenerasi alami mereka terlalu lambat.

Perubahan Iklim Terlalu Cepat, Hutan Tak Mampu Adaptasi Read More »

Badai Petir, Ancaman Baru untuk Hutan Tropis

Pohon-pohon di hutan tropis kini mengalami kematian massal dengan laju yang mengkhawatirkan, dan penyebabnya bukan hanya pemanasan global atau kekeringan. Para ilmuwan menemukan fakta mengejutkan: badai petir biasa, yang sering diabaikan, menjadi salah satu pemicu utama matinya pohon-pohon besar di hutan hujan. Badai-badai ini, meskipun singkat, membawa angin kencang dan petir yang mampu merobohkan pohon-pohon besar hanya dalam hitungan menit.

Penelitian terbaru yang dipimpin oleh Evan Gora, seorang ahli ekologi hutan dari Cary Institute of Ecosystem Studies, menunjukkan bahwa badai petir yang makin sering terjadi akibat perubahan iklim bisa menjadi penyebab utama meningkatnya kematian pohon tropis. Bahkan, di beberapa wilayah, badai petir mungkin bertanggung jawab atas 30 hingga 60 persen kematian pohon, sebuah angka yang jauh lebih tinggi dari dugaan sebelumnya.

Badai ini bukan jenis topan besar atau siklon, melainkan badai konvektif biasa yang sering kali berlangsung singkat namun sangat kuat. Dengan kilat menyambar dan angin menghantam, badai ini menghancurkan kanopi hutan, menjatuhkan ranting, daun, bahkan batang pohon raksasa. Sayangnya, ancaman ini selama ini nyaris tak masuk hitungan dalam penelitian tentang hutan atau model iklim global.

Badai Petir, Ancaman Baru untuk Hutan Tropis Read More »

Produksi Energi Terbarukan Tidak Serta Merta Mengurangi Produksi Energi Fosil di Amerika

Penambahan kapasitas energi terbarukan di Amerika Serikat ternyata tidak secara otomatis menurunkan produksi bahan bakar fosil. Temuan ini berasal dari sebuah studi yang dilakukan oleh Ryan Thombs, asisten profesor sosiologi pedesaan dari Penn State University.

Dalam riset yang dipublikasikan di Journal of Environmental Studies and Sciences pada 20 Mei 2025, Thombs menganalisis data produksi energi dari 33 negara bagian penghasil bahan bakar fosil di AS, mencakup periode antara tahun 1997 hingga 2020. Amerika sendiri adalah penghasil energi dan pengemisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia.

Hasilnya cukup mengejutkan. Thombs tidak menemukan hubungan langsung antara peningkatan energi terbarukan dan penurunan produksi bahan bakar fosil. Ini berarti bahwa meningkatnya energi dari sumber terbarukan seperti matahari, angin, dan air belum tentu menggantikan energi dari batu bara, minyak bumi, atau gas alam.

Faktor-faktor tetap seperti ketersediaan cadangan bahan bakar fosil di tiap negara bagian ternyata menjelaskan lebih dari 96% variasi dalam produksi energi fosil. Artinya, negara bagian dengan cadangan fosil besar tetap cenderung terus memproduksi bahan bakar tersebut, terlepas dari seberapa banyak mereka berinvestasi dalam energi terbarukan.

Produksi Energi Terbarukan Tidak Serta Merta Mengurangi Produksi Energi Fosil di Amerika Read More »

Islam & Eco-Arsitektural

Dalam rentang sejarah umat manusia, kota-kota besar dibangun demi pertahanan, perdagangan, dan kemajuan teknologi. Namun tidak semua peradaban merancang kotanya dengan mempertimbangkan makhluk tak bersuara seperti hewan. Di tengah ketimpangan prioritas ini, peradaban Islam justru menghadirkan wajah kota yang berbeda—kota yang bukan hanya ramah bagi manusia, tetapi juga penuh kasih sayang terhadap hewan. Prinsip rahmah, atau kasih sayang dalam Islam, bukan hanya nilai spiritual, melainkan diwujudkan secara nyata dalam desain arsitektur dan kebijakan sosial.

Sejak masa Kekhilafahan Rasyidah (632–661 M), meski belum banyak struktur monumental, tata kelola masyarakat sudah mencerminkan kepedulian terhadap hewan. Khalifah Umar bin Khattab dikenal tegas dalam menegur siapa pun yang memperlakukan hewan secara semena-mena. Dalam sebuah riwayat, ia memarahi seorang pejabat karena memaksa hewan bekerja tanpa istirahat. Nilai keadilan dan kasih sayang terhadap semua makhluk menjadi fondasi moral masyarakat Muslim, bahkan sebelum lahirnya bentuk-bentuk arsitektur yang kompleks.

Islam & Eco-Arsitektural Read More »

Tiga Tahun Lagi Krisis Iklim Tak Terbendung?

Dunia tengah berpacu dengan waktu untuk mencegah krisis iklim yang lebih parah. Berdasarkan laporan studi internasional yang dipublikasikan pada 27 Juni 2025 oleh para peneliti dari University of Leeds dalam jurnal Earth System Science Data, umat manusia hanya memiliki waktu sekitar tiga tahun sebelum anggaran karbon global untuk membatasi pemanasan bumi hingga 1,5°C habis terpakai. Laporan ini menyajikan gambaran yang sangat mengkhawatirkan: perubahan iklim semakin cepat, permukaan laut naik lebih cepat dari sebelumnya, dan bumi menyerap panas dalam jumlah luar biasa yang memicu bencana cuaca ekstrem dan pemanasan laut.

Studi ini menyebutkan bahwa pada awal tahun 2025, sisa anggaran karbon global hanya tinggal sekitar 130 miliar ton karbon dioksida (CO₂). Dengan laju emisi seperti sekarang, jumlah ini bisa habis dalam waktu lebih dari tiga tahun. Bahkan, ambang batas pemanasan 1,6°C hingga 1,7°C diperkirakan akan terlampaui dalam sembilan tahun ke depan jika tidak ada perubahan drastis dalam kebijakan dan tindakan iklim global.

Tiga Tahun Lagi Krisis Iklim Tak Terbendung? Read More »

Mengapa Polusi Tetap Tinggi Meski Emisi Menurun?

Selama beberapa dekade terakhir, dunia telah berupaya mengurangi emisi polutan, namun kualitas udara belum membaik secepat yang diharapkan. Sebuah studi baru yang dipimpin oleh tim peneliti dari Universitas Hokkaido, Jepang, mengungkap alasan mengapa kadar nitrat di atmosfer tetap tinggi, meski emisi penyebabnya sudah berkurang sejak tahun 1990-an. Temuan ini telah diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada 3 Juni 2025, dan memberikan wawasan penting tentang dinamika kimia di udara serta dampaknya terhadap perubahan iklim.

Dalam penelitian ini, para ilmuwan menyoroti bahwa nitrat, salah satu polutan utama di atmosfer, masih banyak ditemukan meski emisi prekursor nitrat—zat yang membentuk nitrat—telah berkurang secara signifikan. Nitrat sendiri bisa berbentuk gas maupun partikel. Nitrat dalam bentuk gas lebih mudah menghilang dari udara, tetapi dalam bentuk partikel, terutama partikel halus, zat ini bisa bertahan lebih lama dan menyebar jauh dari sumbernya. Inilah yang menyebabkan nitrat tetap berada di atmosfer dalam jangka panjang.

Mengapa Polusi Tetap Tinggi Meski Emisi Menurun? Read More »

Bumi Pernah Gagal Bernapas, Kini Kita Sedang Mempercepatnya

Lebih dari 300 juta tahun yang lalu, Bumi pernah mengalami bencana besar yang memengaruhi kehidupan di lautan. Saat itu, terjadi lonjakan besar karbon dioksida yang dilepaskan secara alami, misalnya dari letusan gunung berapi raksasa. Lonjakan karbon ini menyebabkan laut kehilangan oksigen secara drastis, sehingga banyak makhluk laut yang tidak bisa bertahan hidup.

Penelitian terbaru yang dilakukan para ilmuwan dari University of California Davis, Chinese Academy of Sciences, dan Texas A&M University berhasil mengungkap lima peristiwa besar yang disebut sebagai “sendawa karbon” purba. Peristiwa ini menyebabkan lautan kekurangan oksigen hingga 4% sampai 12%. Penemuan ini didapatkan dengan menggabungkan analisis sedimen dasar laut dan pemodelan iklim menggunakan superkomputer.

Yang membuat para ilmuwan khawatir, laju kenaikan karbon dioksida pada masa kini akibat ulah manusia terjadi jauh lebih cepat dibandingkan sendawa karbon di masa purba. Jika di masa lalu lonjakan ini berlangsung ratusan ribu tahun, kini manusia melepaskan karbon dalam jumlah serupa hanya dalam beberapa abad. Kondisi ini tentu menjadi ancaman besar bagi laut dan seluruh makhluk yang bergantung padanya.

Bumi Pernah Gagal Bernapas, Kini Kita Sedang Mempercepatnya Read More »

Daur Ulang Plastik Ternyata Berbahaya

Sebuah penelitian baru yang dilakukan para ilmuwan dari Universitas Gothenburg dan Helmholtz Centre for Environmental Research di Leipzig mengungkap fakta mengejutkan: satu butir plastik daur ulang bisa mengandung lebih dari 80 jenis zat kimia berbeda. Butiran plastik ini, jika direndam dalam air selama 48 jam, melepaskan campuran zat kimia yang dapat mengganggu hormon dan metabolisme lemak pada larva ikan zebra. Hal ini mengkhawatirkan karena bahan-bahan berbahaya ini bisa mengganggu kesehatan makhluk hidup di air dan berisiko mencemari lingkungan kita.

Para peneliti membeli butiran plastik daur ulang berbahan polietilena dari berbagai negara, lalu melakukan uji perendaman dan mengekspos larva ikan zebra selama lima hari. Hasilnya, larva tersebut mengalami perubahan pada gen yang mengatur metabolisme lemak dan sistem hormon. Perubahan ini dikhawatirkan bisa berdampak buruk bagi kesehatan dan pertumbuhan ikan tersebut. Menurut Azora König Kardgar, peneliti utama dari Universitas Gothenburg, temuan ini menjadi bukti tambahan bahwa bahan kimia dalam plastik punya potensi membahayakan organisme hidup, meski waktu paparan sangat singkat.

Daur Ulang Plastik Ternyata Berbahaya Read More »