Pernahkah anda bertanya-tanya apa penyebab dinosaurus punah? Atau apakah ada ruangan rahasia tersembunyi di dalam piramida Mesir? Nah, seorang ilmuwan bernama Luis Alvarez punya peran besar dalam mencoba menjawab dua pertanyaan besar itu.
Luis Alvarez adalah seorang fisikawan asal Amerika Serikat yang lahir pada 13 Juni 1911 di San Francisco. Ia meninggal dunia pada tahun 1988, tetapi selama hidupnya, ia dikenal sebagai ilmuwan yang sangat jenius dan punya rasa penasaran yang tinggi terhadap berbagai misteri alam semesta. Luis berasal dari keluarga cerdas. Ayahnya seorang dokter dan penulis buku-buku medis. Sejak muda, Luis sudah menunjukkan ketertarikannya pada dunia sains, terutama fisika. Awalnya ia ingin belajar kimia, tapi karena merasa kurang cocok, ia pun beralih ke fisika dan ternyata… itu adalah pilihan yang tepat!
Luis Alvarez adalah tipe ilmuwan yang tidak puas hanya dengan teori. Ia suka membuat alat dan eksperimen untuk membuktikan sesuatu. Luis berhasil membuktikan bahwa atom bisa berubah menjadi elemen lain dengan menangkap elektron dari dalam dirinya sendiri. Teori ini sebelumnya hanya dugaan para ilmuwan, tapi Luis-lah yang pertama kali membuktikannya secara nyata.
Peneliti dari Duke University School of Medicine menemukan obat pereda nyeri baru bernama SBI-810 yang dapat meredakan nyeri secara efektif tanpa efek samping berbahaya seperti kecanduan, kantuk, atau sembelit—efek yang sering muncul pada obat opioid seperti morfin.
Obat ini bekerja dengan cara yang sangat berbeda dari opioid. Jika opioid menyebar dan mengaktifkan banyak jalur di tubuh secara tidak terkontrol, SBI-810 justru menargetkan satu jalur tertentu pada sistem saraf, yaitu reseptor neurotensin 1 (NTSR1). Reseptor ini ditemukan di neuron sensorik, otak, dan sumsum tulang belakang, dan berperan dalam pengiriman sinyal nyeri ke otak. Dengan hanya mengaktifkan sinyal tertentu yang disebut β-arrestin-2, SBI-810 dapat meredakan nyeri tanpa memicu efek samping atau euforia yang menyebabkan kecanduan.
Dalam pengujian pada tikus, SBI-810 menunjukkan hasil yang sangat baik untuk mengatasi nyeri setelah operasi, patah tulang, dan cedera saraf. Tikus yang diberi obat ini mengalami penurunan perilaku nyeri seperti meringkuk atau ekspresi wajah kesakitan. Selain itu, SBI-810 tidak menyebabkan kantuk, sembelit, atau penurunan efektivitas setelah penggunaan berulang kali — berbeda dengan opioid yang biasanya membutuhkan dosis yang terus meningkat seiring waktu karena efek toleransi.
Sebuah penelitian terbaru dari Universitas East Anglia di Inggris membuktikan bahwa ChatGPT—mesin pintar yang bisa menulis esai—masih kalah dibanding mahasiswa sungguhan.
Para peneliti membandingkan 145 esai yang ditulis oleh mahasiswa dan 145 esai buatan ChatGPT. Hasilnya cukup mengejutkan: meskipun tulisan dari ChatGPT terlihat rapi dan bahasa Inggrisnya bagus, tetap saja tidak mampu mengalahkan tulisan mahasiswa.
Masalah utama dari esai buatan AI adalah tidak adanya sentuhan pribadi. Tulisan mahasiswa lebih terasa hidup karena mereka sering menyisipkan pertanyaan, komentar pribadi, dan ajakan langsung kepada pembaca. Semua itu membuat tulisan lebih menarik, jelas, dan meyakinkan.
Sementara itu, tulisan dari ChatGPT cenderung kaku. AI memang bisa meniru gaya tulisan akademik, tetapi tidak bisa menunjukkan sudut pandang atau sikap yang jelas terhadap topik yang dibahas. Ini membuat tulisan terasa datar dan tidak terhubung dengan pembaca.
Menurut Prof. Ken Hyland dari Universitas East Anglia, temuan ini penting karena saat ini banyak guru dan dosen khawatir mahasiswa menggunakan AI untuk mencontek. Sayangnya, hingga kini belum ada alat yang benar-benar bisa mendeteksi apakah tulisan dibuat oleh manusia atau mesin.
Para ilmuwan di Inggris (20/05/2025) menemukan teknologi baterai baru yang bisa menyimpan lebih banyak energi dan sekaligus membantu membersihkan udara dari karbon dioksida (CO₂), gas penyebab pemanasan global.
Baterai ini disebut baterai Lithium-CO₂. Yang membuatnya istimewa, baterai ini bisa menghasilkan listrik sambil menyerap CO₂ dari udara — seolah-olah “bernafas”. Teknologi ini bisa menjadi pengganti baterai lithium-ion yang saat ini banyak digunakan di HP, laptop, dan mobil listrik.
Namun selama ini, baterai Lithium-CO₂ punya masalah: cepat rusak, susah diisi ulang, dan mahal karena perlu bahan langka seperti platina. Tapi sekarang, tim peneliti dari University of Surrey menemukan solusi murah dan efektif. Mereka menggunakan bahan yang jauh lebih murah bernama CPM (caesium phosphomolybdate). Bahan ini membantu baterai bekerja lebih lama dan lebih efisien, tanpa perlu energi besar untuk mengisi ulang.
Bayangkan mengayuh sepeda menanjak. Itulah gambaran bagaimana baterai lama perlu “tenaga ekstra” untuk bekerja. Dengan bahan CPM ini, tanjakan itu menjadi lebih landai, sehingga baterai lebih mudah diisi dan tidak cepat rusak.
Bayangkan ada sebuah chip kecil yang bisa melihat seperti mata manusia, berpikir seperti otak, dan langsung mengingat apa yang dilihatnya tanpa bantuan komputer. Kedengarannya seperti sesuatu dari masa depan, tapi ini benar-benar nyata. Para peneliti dari RMIT University di Australia telah menciptakan teknologi luar biasa ini. Mereka menyebutnya perangkat neuromorfik — yaitu alat yang dirancang meniru cara kerja otak manusia dalam memproses penglihatan.
Perangkat ini bisa mendeteksi gerakan tangan, menyimpannya sebagai memori, dan memproses informasi dalam waktu sekejap. Hebatnya lagi, semua itu dilakukan tanpa perlu komputer tambahan atau energi besar. Chip ini terbuat dari bahan yang disebut molybdenum disulfide (MoS₂), yaitu senyawa logam yang sangat tipis — hanya beberapa atom tebalnya. Yang menarik, para ilmuwan justru memanfaatkan cacat kecil di tingkat atom dalam bahan ini untuk mendeteksi cahaya dan mengubahnya menjadi sinyal listrik. Cara kerjanya meniru neuron dalam otak kita, yang memungkinkan chip ini mengenali dan mengingat gambar atau gerakan secara langsung.
Di balik penemuan-penemuan besar dalam ilmu pengetahuan, sering kali tersimpan kisah sederhana yang penuh keajaiban. Salah satunya adalah kisah tentang Zangenite, kristal berongga yang belum pernah terlihat sebelumnya di dunia ini. Kristal ini ditemukan oleh Shihao Zang, seorang mahasiswa doktoral di New York University (NYU). Karena keunikan dan keistimewaan bentuknya, kristal ini diberi nama Zangenite, untuk menghormati penemunya.
Zangenite bukan sekadar kristal biasa. Ia memiliki struktur berongga di bagian dalamnya — saluran-saluran kecil yang membentang dari ujung ke ujung. Hal ini sangat tidak biasa karena pada umumnya, kristal memiliki struktur padat dan teratur. Temuan ini mengejutkan para ilmuwan, sebab hingga saat itu, belum ada catatan satu pun tentang kristal semacam ini, baik secara alami maupun sintetis.
Proses ditemukannya Zangenite sendiri merupakan hasil dari penelitian tentang pembentukan kristal dari partikel kecil yang disebut koloid. Karena ukurannya lebih besar dari atom, partikel ini bisa diamati langsung melalui mikroskop. Para ilmuwan pun dapat menyaksikan bagaimana partikel-partikel itu berkumpul, dari bentuk amorf tak beraturan, lalu perlahan berubah menjadi struktur kristal yang sangat teratur. Mereka menyebut proses ini sebagai dua tahap kristalisasi. Apa yang dulunya dianggap hanya bisa terjadi secara langsung dan klasik, ternyata bisa terjadi dengan cara yang jauh lebih kompleks — seolah-olah alam punya caranya sendiri untuk menyusun keteraturan dari kekacauan.
Bayangkan sebuah benda yang bisa melipat dirinya sendiri, bergerak, berubah bentuk, dan mengikuti perintah dari jauh — bukan robot seperti biasa, dan bukan pula alat elektronik dengan motor. Inilah Metabot, sebuah penemuan luar biasa dari para insinyur di Universitas Princeton, Amerika Serikat. Penemuan ini baru saja diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature pada 23 April 2025 (Zhao et al., 2025).
Metabot bukan robot pada umumnya. Ia adalah metamaterial, yaitu material buatan yang memiliki kemampuan khusus bukan karena bahan kimianya, melainkan karena bentuk dan susunan strukturnya. Metabot terbuat dari campuran plastik dan bahan magnetik, dirancang agar dapat mengembang, melipat, memutar, dan bergerak hanya dengan dikendalikan menggunakan medan magnet — tanpa motor, tanpa roda gigi, dan tanpa kabel.
Dalam publikasi resminya, para peneliti menyebut teknologi ini sangat mirip dengan adegan dari film Transformers, di mana robot seperti Optimus Prime atau Bumblebee dapat berubah bentuk dari mobil menjadi robot hanya dalam hitungan detik. Dalam film, perubahan itu terjadi seolah logam bisa melipat dan menyusun dirinya sendiri. Metabot mengusung konsep yang serupa, meskipun masih dalam skala mikro dan belum sekompleks transformasi kendaraan ke robot. Namun prinsip intinya sama: benda padat yang bisa bergerak dan berubah bentuk dari perintah luar, tanpa perangkat mekanik internal. Teknologi yang sebelumnya hanya ada di dunia fiksi kini mulai menjadi kenyataan.
Metabot dirancang dengan inspirasi dari origami, seni melipat kertas tradisional Jepang. Struktur dasarnya terdiri dari tabung-tabung plastik dengan pola khusus yang disebut Kresling Pattern. Tabung-tabung ini memiliki struktur lipatan yang memungkinkan bagian tertentu melipat saat dikenai medan magnet. Dua tabung dengan bentuk cermin satu sama lain disatukan, menciptakan silinder yang bisa melipat dari dua arah yang berbeda.
Material ini disusun dari modul-modul kecil yang dapat diprogram ulang dan bergerak secara mandiri. Saat medan magnet diterapkan ke bagian tertentu, modul tersebut dapat melipat atau membuka, menciptakan berbagai gerakan kompleks dari instruksi yang sangat sederhana.
Salah satu prototipe Metabot yang dibuat hanya setebal 100 mikron, sedikit lebih tebal dari sehelai rambut. Dengan ukuran sekecil ini, potensi penggunaannya dalam dunia medis sangat besar. Teknologi ini memungkinkan pengiriman obat ke lokasi tertentu di dalam tubuh, atau bahkan membantu dalam prosedur bedah mikro untuk memperbaiki jaringan atau tulang.
Penelitian ini juga memperlihatkan kemampuan Metabot sebagai pengatur suhu. Dalam uji coba, permukaannya dapat diubah dari hitam penyerap panas menjadi permukaan reflektif, memungkinkan pengaturan suhu dari 27°C hingga 70°C hanya dengan cahaya matahari. Potensi aplikasinya juga mencakup perangkat optik seperti lensa, antena, dan pemroses cahaya.
Keunggulan lain dari Metabot adalah kemampuannya untuk merespons perintah dengan urutan yang berbeda — suatu fenomena yang dikenal dalam fisika sebagai histeresis. Sistem ini dapat “mengingat” urutan pergerakan yang sebelumnya diberikan. Bahkan, Metabot juga dapat mensimulasikan perilaku logika seperti pada sirkuit komputer, namun bukan dengan transistor dan kabel, melainkan melalui gerakan fisik dan medan magnet.
Penemuan Metabot menunjukkan bahwa batas antara benda mati dan teknologi pintar mulai kabur. Material ini bukan hanya benda pasif, melainkan struktur aktif yang dapat beradaptasi, merespons, dan bahkan berfungsi seperti robot. Di masa depan, teknologi ini bisa menjadi kunci untuk membangun material cerdas, struktur lipat otomatis, hingga sistem logika fisik yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.[]
Kota terapung adalah konsep inovatif yang dirancang sebagai solusi terhadap berbagai tantangan urbanisasi dan perubahan iklim. Berbeda dengan kota konvensional yang dibangun di daratan, kota terapung didesain untuk berada di atas permukaan air dan mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Konsep ini telah menarik perhatian banyak pihak sebagai alternatif hunian masa depan yang lebih fleksibel dan ramah lingkungan.
Kota-kota di dunia saat ini menghadapi berbagai masalah serius, seperti kepadatan penduduk, keterbatasan lahan, serta dampak negatif perubahan iklim. Urbanisasi yang cepat menyebabkan tingginya permintaan akan ruang tempat tinggal, sementara kenaikan permukaan laut semakin memperparah risiko banjir di wilayah pesisir. Selain itu, masalah lingkungan seperti polusi dan kerusakan habitat akibat pembangunan kota yang tidak berkelanjutan menjadi tantangan besar. Kota terapung hadir sebagai solusi inovatif yang mampu mengatasi sebagian dari permasalahan tersebut dengan menawarkan hunian yang lebih adaptif dan berkelanjutan.
Sejumlah proyek kota terapung telah mulai dikembangkan di berbagai negara. Maldives Floating City, yang mulai dibangun pada tahun 2022, merupakan salah satu contoh utama. Kota ini didesain menyerupai struktur karang dan mampu menampung sekitar 20.000 penduduk, memberikan solusi terhadap ancaman kenaikan permukaan air laut yang dihadapi Maladewa. Selain itu, ada Oceanix Busan, yang diperkenalkan pada 2023 sebagai prototipe kota terapung berkelanjutan di Korea Selatan. Kota ini dikembangkan dengan sistem berbasis energi bersih dan pengelolaan limbah yang lebih efisien. Sementara itu, Seasteading Institute Project adalah eksperimen yang mencoba membangun komunitas terapung dengan sistem ekonomi dan politik yang lebih independen, yang diuji sejak pertengahan 2010-an.
Seasteading Institute Project adalah sebuah inisiatif yang bertujuan untuk menciptakan kota terapung dengan tingkat otonomi politik yang tinggi. Proyek ini dikembangkan oleh The Seasteading Institute, yang berbasis di Sunnyvale, California, Amerika Serikat. Organisasi ini mempromosikan konsep kota terapung sebagai solusi terhadap berbagai tantangan global, termasuk kenaikan permukaan laut, kepadatan penduduk, dan pemerintahan yang tidak efektif. Seasteading Institute telah mengembangkan berbagai proyek yang bertujuan untuk menciptakan komunitas terapung yang mandiri dan berkelanjutan.
Selain proyek-proyek modern tersebut, pemukiman terapung sebenarnya telah ada sejak lama, salah satunya adalah pemukiman Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut pengembara yang telah lama menjadikan laut sebagai tempat tinggal mereka. Salah satu pemukiman terapung mereka yang terkenal adalah Desa Torosiaje, yang terletak di Teluk Tomini, Gorontalo, Indonesia. Pemukiman ini telah ada sejak tahun 1901 dan dihuni oleh masyarakat Bajo yang telah terbiasa hidup di atas laut. Rumah-rumah mereka dibangun di atas perairan dengan struktur yang adaptif terhadap perubahan iklim dan kondisi lingkungan pesisir. Suku Bajo telah lama dikenal sebagai kelompok yang memiliki kearifan lokal dalam memanfaatkan laut sebagai ruang hidup, menjadikan mereka sebagai salah satu contoh nyata dari konsep kota terapung tradisional.
Seperti halnya konsep lain, kota terapung memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan utama mencakup kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, penggunaan energi bersih, serta pemanfaatan ruang perairan sebagai alternatif terhadap daratan yang semakin terbatas. Di sisi lain, tantangan utama kota terapung mencakup tingginya biaya pembangunan, potensi dampak cuaca ekstrem seperti gelombang tinggi dan badai, serta aspek sosial dan ekonomi yang membutuhkan perubahan budaya serta sistem kehidupan masyarakat.
Ke depan, kota terapung berpotensi menjadi alternatif utama bagi wilayah pesisir yang menghadapi ancaman perubahan iklim. Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, biaya pembangunan diharapkan menjadi lebih terjangkau dan sistem keberlanjutannya lebih efektif. Pemerintah dan investor di berbagai negara telah mulai menunjukkan ketertarikan terhadap konsep ini sebagai bagian dari solusi urbanisasi dan perubahan lingkungan. Kota terapung berpeluang menjadi model hunian masa depan yang tidak hanya inovatif tetapi juga lebih harmonis dengan alam.[]
Bayangkan kalau gas buangan yang biasanya mencemari udara, seperti karbon dioksida (CO₂) dan metana (CH₄), bisa diubah menjadi bahan bakar yang bermanfaat. Inilah yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Tiongkok—mereka menemukan cara untuk menyulap gas “sampah” menjadi “emas kimia”. Tapi, tunggu dulu… yang dimaksud “emas kimia” di sini bukan emas sungguhan ya, melainkan sesuatu yang sangat berharga di dunia industri: yaitu syngas.
Lalu, apa itu syngas? Singkatnya, syngas (singkatan dari synthesis gas) adalah campuran dua gas penting: hidrogen (H₂) dan karbon monoksida (CO). Kedua gas ini bisa digunakan untuk membuat banyak hal penting, mulai dari bahan bakar bersih, pupuk, plastik, bahkan bahan kimia untuk industri. Itulah kenapa syngas disebut sebagai “emas” — karena walau bentuknya gas, nilai gunanya luar biasa!
Biasanya, untuk mendapatkan syngas, perlu proses mahal dan rumit. Tapi sekarang, berkat teknologi baru bernama super-dry reforming, syngas bisa dihasilkan langsung dari gas buangan yang kaya CO₂ dan metana. Hebatnya lagi, proses ini tidak hanya efisien, tapi juga murah dan ramah lingkungan. Para peneliti menggunakan alat bernama SOEC (Solid Oxide Electrolysis Cell) yang bisa bekerja pada suhu tinggi dan memecah gas menjadi komponen pentingnya. Hasilnya? Konversi gas hampir sempurna, dan yang keluar adalah syngas murni siap pakai!
Para ilmuwan baru saja mencapai pencapaian besar dalam pemahaman tentang keterikatan kuantum—sebuah fenomena aneh namun sangat kuat dalam dunia fisika kuantum. Dengan menemukan cara untuk memetakan secara lengkap statistik yang dapat dihasilkan oleh keterikatan kuantum, mereka akhirnya bisa “mendekode” bahasa dari dunia kuantum yang selama ini membingungkan. Temuan ini membuka banyak kemungkinan baru, terutama untuk teknologi dunia nyata, seperti komunikasi kuantum, enkripsi, dan komputasi kuantum yang lebih aman dan efisien.
Bayangkan dua partikel yang sangat kecil, seperti foton, yang terbuat dalam keadaan kuantum bersama. Meskipun kedua partikel ini bisa terpisah sangat jauh satu sama lain, mereka tetap terhubung dan saling memengaruhi. Misalnya, ketika salah satu partikel diukur, hasilnya akan berhubungan langsung dengan pengukuran partikel lainnya, meskipun keduanya berada di tempat yang sangat jauh. Ini adalah inti dari keterikatan kuantum, yang selama ini dianggap misterius dan sulit dipahami.