Scientist

John Bardeen: Ilmuwan Dua Nobel yang Mengubah Dunia

John Bardeen adalah sosok ilmuwan yang sangat berpengaruh dalam sejarah teknologi modern. Ia bukan hanya seorang fisikawan jenius asal Amerika Serikat, tetapi juga satu-satunya orang yang berhasil meraih dua penghargaan Nobel di bidang Fisika. Penghargaan pertamanya ia dapatkan pada tahun 1956 bersama William Shockley dan Walter Brattain atas penemuan transistor. Penghargaan kedua diraihnya pada tahun 1972 bersama Leon Cooper dan John Schrieffer karena berhasil merumuskan teori tentang superkonduktivitas.

Bardeen lahir di Madison, Wisconsin pada 23 Mei 1908. Ayahnya adalah seorang profesor anatomi dan juga dekan pertama Sekolah Kedokteran di Universitas Wisconsin. Dari kampus yang sama, Bardeen meraih gelar sarjana teknik elektro pada tahun 1928, kemudian melanjutkan ke jenjang magister pada tahun berikutnya. Setelah beberapa tahun bekerja di bidang geofisika, ia kembali menekuni pendidikan di Princeton University dan berhasil meraih gelar doktor di bidang fisika matematis pada tahun 1936.

Setelah lulus, Bardeen menjalani berbagai pekerjaan penelitian, termasuk di Universitas Minnesota dan Harvard. Saat Perang Dunia II, ia bertugas sebagai fisikawan utama di Laboratorium Senjata Angkatan Laut di Washington, DC. Namun titik balik kariernya terjadi saat ia bergabung dengan kelompok fisika benda padat di Bell Labs, New Jersey, pada tahun 1945. Di sana, ia mulai mendalami penelitian tentang semikonduktor dan bersama dua rekannya menemukan efek transistor pada tahun 1947. Penemuan ini menjadi dasar dari revolusi teknologi elektronik modern.

Transistor yang mereka temukan menggantikan tabung vakum yang besar, boros energi, dan mudah rusak. Transistor jauh lebih kecil, hemat daya, dan sangat andal. Penemuan ini memungkinkan terciptanya komputer yang lebih kecil, cepat, dan efisien. Bahkan, berkat transistor, miniaturisasi berbagai perangkat elektronik bisa terjadi dan terus berkembang hingga sekarang.

Pada tahun 1951, Bardeen meninggalkan Bell Labs dan menjadi dosen di Universitas Illinois. Di sanalah ia bekerja sama dengan Leon Cooper dan John Schrieffer untuk merumuskan teori superkonduktivitas secara mikroskopis yang kemudian dikenal sebagai teori BCS (Bardeen-Cooper-Schrieffer). Teori ini menjelaskan bagaimana bahan tertentu bisa menghantarkan listrik tanpa hambatan pada suhu rendah, sesuatu yang sebelumnya masih menjadi misteri. Teori ini membawa Bardeen meraih Nobel keduanya pada tahun 1972.

Bardeen dikenal sebagai ilmuwan yang rendah hati dan lebih suka menghindari sorotan media. Ia menikah dengan Jane Maxwell pada tahun 1938 dan dikaruniai tiga anak. Pada tahun 1991, ia meninggal dunia karena penyakit jantung di Boston pada usia 82 tahun. Pemakamannya dilakukan di Forest Hill Cemetery.

Sebagai penghormatan atas jasanya, Majalah Life memasukkan nama John Bardeen dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di abad ke-20. Penemuan transistor yang dihasilkannya bahkan dianggap sebagai salah satu penemuan paling penting sepanjang sejarah umat manusia. Ia bukan hanya seorang penemu, tetapi juga pembentuk dunia modern yang kita kenal saat ini.[]

John Bardeen: Ilmuwan Dua Nobel yang Mengubah Dunia Read More »

Ramon Barba: Di Balik Rahasia Mangga Berbuah Tiga Kali Setahun

 

 

Ramon Barba, seorang ilmuwan asal Filipina yang lahir pada 31 Agustus 1939, mungkin tidak sepopuler selebritas, tetapi jasanya telah menyentuh kehidupan jutaan orang — terutama para petani mangga. Namanya begitu dihormati dalam dunia pertanian karena penemuannya yang membuat pohon mangga bisa berbuah tiga kali setahun, bukan hanya sekali seperti biasanya. Temuan ini bukan hanya revolusioner secara ilmiah, tetapi juga berdampak besar secara ekonomi bagi masyarakat Filipina.

Sejak kecil, Barba sudah menunjukkan bakat dan semangat belajar yang tinggi. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, dan keluarganya sangat menghargai pendidikan. Ayahnya, Juan Madamba Barba, adalah seorang pengacara, sementara ibunya, Lourdes Cabanos, lulusan Universitas Filipina, sama seperti Ramon kelak. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1951 di Sta. Rosa Academy, Barba melanjutkan kuliah di Universitas Filipina Los Baños dan lulus pada tahun 1958 dengan gelar Sarjana Sains di bidang agronomi dan produksi buah. Ketertarikannya pada dunia tanaman terinspirasi dari kakeknya yang bekerja di Biro Tanaman dan Industri serta Dr. L.G. Gonzales, tokoh hortikultura di Filipina.

Setelah lulus, Barba sempat mengajar sebagai instruktur di bidang tanaman buah, namun kemudian memperoleh beasiswa ke University of Georgia, Amerika Serikat. Di sana ia mempelajari cara merangsang pembungaan tanaman menggunakan pupuk yang mengandung asam giberelin dan kalium nitrat. Ia lulus dengan predikat cum laude dan meraih gelar Master di bidang Hortikultura. Ia melanjutkan pendidikan doktoralnya di East-West Center di Hawaii dan meraih gelar Ph.D. pada tahun 1967, dengan spesialisasi fisiologi tanaman tropis.

Kariernya di bidang penelitian semakin berkembang saat ia kembali ke Filipina. Meski sempat keluar dari dunia akademik, Barba kembali diangkat menjadi profesor dan memimpin laboratorium kultur jaringan di Institut Pemuliaan Tanaman. Namun, penemuan terbesarnya terjadi justru ketika ia mencoba menyederhanakan praktik pertanian rakyat.

Di Filipina, pohon mangga umumnya hanya berbuah sekali setahun, dan untuk mempercepat pembungaan, para petani menggunakan asap dalam proses yang disebut “smudging”. Barba merasa metode ini tidak praktis dan mahal. Ia menyarankan menggunakan bahan kimia seperti Etherel, namun banyak pihak menolak idenya. Untungnya, pasangan pemilik Quimara Farms, Jose dan Lita Quimson, memberinya kesempatan untuk melakukan uji coba pada 400 pohon mangga dewasa. Barba mencampur satu kilogram kalium nitrat dengan seratus liter air dan menyemprotkannya ke cabang-cabang pohon. Hasilnya luar biasa — dalam seminggu, tunas bunga mulai muncul.

Ia kemudian mematenkan temuannya, tetapi tidak menarik royalti agar bisa digunakan secara luas oleh petani. Produk pengembangan lanjutannya, “Flush”, mampu mempercepat siklus pertumbuhan dan membuat pohon mangga berbunga lebih cepat. Hasil panen meningkat tiga kali lipat meski ukuran buah sedikit lebih kecil. Hebatnya, pohon-pohon yang disemprot tetap produktif bahkan setelah 30 tahun.

Barba juga melakukan penelitian lain yang tak kalah penting. Ia menciptakan metode kultur jaringan untuk tanaman pisang dan tebu agar bisa memperbanyak bibit yang sehat dalam jumlah besar. Ia bersama timnya juga berhasil mengembangkan teknik mikropropagasi lebih dari 40 jenis tanaman penting, termasuk tanaman buah, hias, tanaman industri, akuarium, dan pohon hutan.

Kontribusi Ramon Barba terhadap industri pertanian sangat luas. Temuannya tidak hanya menguntungkan para petani mangga, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi bagi sektor lain seperti produksi pestisida, tenaga panen, hingga perdagangan. Bahkan, teknik yang dikembangkannya kemudian diterapkan pula pada tanaman lain seperti jambu mete.

Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pada tahun 2013 Barba dianugerahi gelar Ilmuwan Nasional oleh pemerintah Filipina atas prestasinya dalam bidang fisiologi tanaman, khususnya induksi pembungaan mangga dan mikropropagasi berbagai spesies tanaman penting. Sebelumnya, ia telah menerima berbagai penghargaan seperti anggota Akademi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Filipina sejak 2004, serta penghargaan Ten Outstanding Young Men (TOYM) di bidang pertanian pada tahun 1974.

Ramon Barba telah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan yang sederhana tetapi aplikatif bisa menjadi solusi besar bagi kebutuhan masyarakat. Dedikasinya dalam mencari jalan praktis, murah, dan berdampak luas menjadikan namanya abadi sebagai pelopor perubahan di dunia pertanian tropis.[]

Ramon Barba: Di Balik Rahasia Mangga Berbuah Tiga Kali Setahun Read More »

Dari Kapal ke Kebun Raya: Kisah Hidup Joseph Banks yang Mencintai Alam

 

 

Joseph Banks adalah seorang ilmuwan alam, penjelajah, dan ahli botani asal Inggris yang punya peran besar dalam memperkenalkan berbagai kekayaan alam dari berbagai penjuru dunia kepada masyarakat Eropa. Lahir di London pada 4 Januari 1743 dari keluarga kaya di Lincolnshire, Banks tumbuh dengan kecintaan terhadap alam. Masa kecilnya banyak diisi dengan kegiatan di luar ruangan seperti memancing. Ia mendapat pendidikan di Harrow, lalu melanjutkan ke Eton College pada tahun 1756. Di tahun 1760, ia mulai belajar di Christ Church, Oxford, dan meski tidak menyelesaikan kuliahnya secara formal, ia meninggalkan kampus tersebut pada tahun 1763 dengan pengetahuan mendalam tentang sejarah alam, khususnya botani.

Saat usianya baru 21 tahun, Banks mewarisi Revesby Abbey, sebuah perkebunan besar di Lincolnshire, menjadikannya salah satu orang terkaya di Inggris dengan penghasilan sekitar £6.000 per tahun—jumlah yang sangat besar pada masa itu. Kekayaan ini memberinya kebebasan untuk mendalami kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan penjelajahan.

Pada tahun 1766, Banks terpilih menjadi anggota Royal Society, lembaga ilmiah bergengsi di Inggris. Di tahun yang sama, ia ikut ekspedisi ke Newfoundland dan Labrador dengan kapal HMS Niger untuk meneliti kekayaan alam di sana. Namun, petualangan besar Banks dimulai ketika ia bergabung dalam ekspedisi Kapten James Cook ke Samudra Pasifik menggunakan kapal HMS Endeavour pada tahun 1768. Ia membawa tim yang terdiri dari delapan orang, termasuk sahabatnya Dr. Daniel Solander dan seorang seniman alam bernama Sydney Parkinson. Mereka juga membawa ratusan buku, mikroskop, dan teleskop. Perjalanan yang berlangsung tiga tahun ini membawa mereka ke Brasil, Tahiti, Selandia Baru, hingga Australia. Selama perjalanan, mereka mengumpulkan dan menggambar berbagai jenis tumbuhan yang belum dikenal dunia Barat.

Sayangnya, hanya Banks, Solander, dan dua pelayan yang selamat dari sembilan anggota tim aslinya. Namun, hasil kerja mereka luar biasa. Banks memiliki lebih dari 700 gambar tumbuhan yang digambar oleh Parkinson. Gambar-gambar itu baru dipublikasikan seluruhnya dalam buku “Florilegium” pada tahun 1980-an, lebih dari 150 tahun setelah ekspedisinya.

Tahun 1772, Banks dan Solander kembali menjelajah, kali ini ke Islandia. Mereka mengumpulkan spesimen tumbuhan di sana dan terus memperkaya ilmu botani. Karier Banks semakin bersinar ketika ia diangkat sebagai Presiden Royal Society pada tahun 1777 dan menjabat hingga akhir hayatnya. Ia menjadi sosok penting dalam mendukung para peneliti dan penjelajah ilmiah. Banyak ekspedisi yang mendapat restu dan dukungan darinya.

Joseph Banks dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan tumbuhan seperti akasia, mimosa, eukaliptus, dan banksia (diberi nama dari namanya) ke dunia Barat. Sekitar 80 jenis tumbuhan lainnya juga dinamai untuk menghormatinya. Ia juga menjadi orang pertama yang menunjukkan bahwa mamalia berkantung (seperti kanguru) lebih primitif dibanding mamalia berplasenta.

Atas jasanya, Banks diberi gelar kebangsawanan pada tahun 1781 dan diangkat sebagai anggota Dewan Penasihat Kerajaan (Privy Council) pada 1797. Ia juga menjadi anggota Institut Prancis pada 1802. Beberapa tulisannya yang terkenal antara lain Short Account of the Cause of the Disease in Corn called the Blight, the Mildew, and the Rust (1803) dan Circumstances relative to Merino Sheep (1809).

Di kehidupan pribadi, Banks menikahi Dorothea Hugessen pada Maret 1779. Mereka tinggal di Soho Square, London, bersama saudari Dorothea yang belum menikah. Meski tidak memiliki anak, Banks menjalani hidup yang penuh kontribusi untuk ilmu pengetahuan hingga akhir hayatnya pada tahun 1820 di usia 77 tahun. Ia dimakamkan di Gereja St Leonard’s, Heston, dan dikenang sebagai tokoh yang menjembatani dunia Barat dengan kekayaan hayati dunia.[]

Dari Kapal ke Kebun Raya: Kisah Hidup Joseph Banks yang Mencintai Alam Read More »

John Logie Baird, Sang Penemu Televisi yang Terlupakan

 

 

Banyak dari kita tak bisa membayangkan hidup tanpa televisi. Namun, pernahkah terpikir siapa orang pertama yang berhasil memperlihatkan gambar bergerak kepada dunia melalui layar? Namanya adalah John Logie Baird, seorang insinyur asal Skotlandia yang tak hanya menciptakan salah satu televisi pertama, tapi juga memberikan demonstrasi pertamanya pada tahun 1926 di depan para ilmuwan. Dua tahun kemudian, ia pun berhasil menunjukkan versi awal televisi berwarna.

John Logie Baird lahir pada 14 Agustus 1888 di kota kecil Helensburgh, Skotlandia. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, putra dari Pendeta John Baird dan Jessie Morrison Inglis. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikan terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan. Ia mengenyam pendidikan di Larchfield Academy dan kemudian melanjutkan ke Glasgow and West of Scotland Technical College untuk belajar teknik elektro. Namun, Perang Dunia Pertama mengganggu jalannya studi. Meskipun tidak ikut wajib militer karena alasan kesehatan, ia tidak kembali lagi untuk menyelesaikan kuliahnya.

Meski begitu, semangat Baird untuk mencipta tidak pernah surut. Ia bekerja sebagai kepala teknisi di Clyde Valley Electrical Power Company sebelum kemudian pindah ke Trinidad dan Tobago, tempat ia sempat membuka usaha pabrik selai. Namun, pada tahun 1920 ia kembali ke Inggris dan mulai tertarik pada ide menyiarkan gambar bergerak yang disertai suara—sesuatu yang belum pernah benar-benar berhasil dilakukan sebelumnya.

Dengan semangat tinggi dan peralatan seadanya, ia membuat prototipe awal televisinya—yang ia sebut “televisor”—dari barang-barang bekas seperti karton, lampu sepeda, dan benang. Usahanya membuahkan hasil pada tahun 1925, ketika ia berhasil menampilkan gambar kepala boneka ventriloquist di layar. Dalam pengakuannya, Baird menggambarkan momen itu sebagai sesuatu yang luar biasa dan membuat tubuhnya gemetar karena kegembiraan. Tak lama kemudian, ia pun memperlihatkan temuannya kepada publik di sebuah toko besar di London.

Puncaknya terjadi pada 26 Januari 1926, ketika ia berhasil memperlihatkan tayangan televisi pertama di dunia di hadapan lima puluh ilmuwan. Setahun setelah itu, ia berhasil mengirimkan gambar dan suara televisi sejauh 705 kilometer dari London ke Glasgow menggunakan jaringan telepon.

Pada tahun 1928, ia mendirikan perusahaan Baird Television Development Company (BTDC) dan mencetak sejarah baru dengan mengirimkan siaran televisi lintas benua dari London ke New York. Teknologi Baird pun digunakan oleh BBC dari tahun 1929 hingga 1937. Namun, teknologi televisi mekanik yang ia kembangkan memiliki kelemahan, seperti gambar yang buram dan sering bergetar. Seiring waktu, televisi elektronik pun mulai menggantikan inovasi awalnya.

Meski teknologinya perlahan tergeser, Baird tak berhenti berinovasi. Ia terus menyumbangkan ide-ide penting dalam pengembangan televisi elektronik. Pada tahun 1939, ia memperkenalkan sistem warna hibrida dan pada 1940 ia menunjukkan teknologi “telechrome” yang mendekati warna alami pada layar.

Dalam kehidupan pribadinya, Baird menikah dengan Margaret Albu pada tahun 1931. Mereka dikaruniai dua anak: Diana dan Malcolm. Baird meninggal dunia pada 14 Juni 1946 di Bexhill-on-Sea, Sussex, dalam usia 57 tahun.

John Logie Baird mungkin tidak lagi dikenal secara luas seperti para tokoh teknologi masa kini. Namun, warisannya tak tergantikan. Tanpa keberanian dan keingintahuan seorang Baird, mungkin kita tidak akan menikmati hiburan dan informasi seperti sekarang ini—melalui layar yang dulu hanya mimpi, kini menjadi bagian dari hidup sehari-hari.[]

John Logie Baird, Sang Penemu Televisi yang Terlupakan Read More »

Alexander Bain: Penenun yang Menjadi Pelopor Ilmu Psikologi dan Filsafat Modern

Alexander Bain, yang lahir pada 11 Juni 1818 di Aberdeen, Skotlandia, berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang mantan tentara dan penenun tangan. Bain kecil harus meninggalkan sekolah pada usia sebelas tahun untuk menjadi penenun seperti ayahnya. Namun, kehausannya akan ilmu membuatnya rajin menghadiri kuliah umum di Perpustakaan Umum Aberdeen dan mengikuti kelas malam di Mechanic’s Institute. Pada tahun 1836, ia masuk Marischal College dan mempelajari bahasa klasik, matematika, dan filsafat. Di sanalah ia bertemu Profesor John Cruickshank yang sangat memengaruhi pemikirannya.

Ketika hampir lulus, Bain menulis artikel berjudul The Electrotype and the Daguerrotype untuk Westminster Review, yang menandai awal keterlibatannya dalam dunia tulis-menulis ilmiah. Ia lulus dengan predikat kehormatan tertinggi pada tahun 1840. Setelah itu, ia sempat menjadi dosen pengganti dalam bidang Filsafat Moral dan mulai berkontribusi secara reguler untuk Westminster Review. Bain juga membantu tokoh besar filsafat, John Stuart Mill, dalam merevisi naskah System of Logic, yang kemudian membuat mereka menjadi sahabat seumur hidup.

Alexander Bain: Penenun yang Menjadi Pelopor Ilmu Psikologi dan Filsafat Modern Read More »

Francis Bacon: Peletak Dasar Metode Ilmiah

Bayangkan dunia tanpa metode ilmiah. Tanpa eksperimen, tanpa data, dan hanya mengandalkan logika atau keyakinan lama. Itulah kondisi ilmu pengetahuan sebelum munculnya Francis Bacon — seorang pemikir brilian asal Inggris yang hidup di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.

Lahir di London tahun 1561, Bacon berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah pejabat tinggi kerajaan, dan ibunya seorang cendekiawan religius. Dari usia muda, Bacon telah menunjukkan kecerdasannya. Ia belajar di Cambridge sejak usia 12 tahun, tapi justru di sanalah ia mulai mempertanyakan dominasi pemikiran filsafat Aristoteles yang begitu diagung-agungkan oleh para akademisi.

Alih-alih menerima pemikiran lama secara buta, Bacon menuntut sesuatu yang lebih nyata: pembuktian melalui pengalaman dan eksperimen. Ia merasa frustrasi melihat bahwa meski teknologi seperti kompas, mesiu, dan mesin cetak telah mengubah dunia, pemahaman ilmiah manusia tak kunjung berkembang. Bacon yakin bahwa kunci kemajuan adalah observasi dan eksperimen — bukan spekulasi logis semata.

Francis Bacon: Peletak Dasar Metode Ilmiah Read More »

Charles Babbage: Sang Perintis Komputer yang Dunia Lupa

Pernahkah kamu membayangkan siapa orang pertama yang punya ide menciptakan komputer? Mungkin kita sering mengucapkan terima kasih kepada perusahaan teknologi masa kini, tapi sebenarnya, semua itu bermula dari seorang pria bernama Charles Babbage.

Charles Babbage lahir pada 26 Desember 1791 di Inggris. Ia adalah seorang jenius di banyak bidang—matematika, teknik mesin, penemu, dan juga filsuf. Namun, yang paling membuatnya dikenang adalah gagasan gilanya: menciptakan mesin hitung otomatis, cikal bakal dari komputer modern yang kita pakai saat ini.

Babbage dikenal sebagai “bapak komputer” karena merancang mesin mekanik pertama yang bisa diprogram. Rancangannya menjadi cetak biru untuk mesin-mesin canggih di masa depan. Meskipun belum sempat selesai dibuat pada masanya, rancangan Babbage akhirnya diwujudkan pada tahun 1991 oleh Science Museum di London, berdasarkan desain aslinya. Mesin tersebut memiliki 8.000 bagian, beratnya lima ton, dan panjangnya lebih dari tiga meter!

Sejak kecil, Babbage sudah menunjukkan kecintaan pada matematika. Ia belajar di berbagai sekolah dan akhirnya masuk ke Trinity College, Cambridge. Di sana, ia menjadi mahasiswa matematika terbaik dan aktif dalam berbagai klub ilmiah bersama tokoh-tokoh terkenal seperti John Herschel.

Charles Babbage: Sang Perintis Komputer yang Dunia Lupa Read More »

Ibnu Sina: Sang Jenius Serba Bisa dari Dunia Islam

Ibnu Sina, yang lebih dikenal di dunia Barat dengan nama Avicenna, adalah seorang ilmuwan sejati yang menguasai banyak bidang. Ia memberikan kontribusi besar dalam ilmu kedokteran, psikologi, farmakologi, geologi, fisika, astronomi, kimia, dan filsafat. Selain itu, ia juga seorang penyair, cendekiawan Islam, dan ahli teologi.

Karya paling terkenalnya dalam bidang kedokteran adalah Al-Qanun fi al-Tibb (Hukum Kedokteran), sebuah ensiklopedia medis yang terdiri dari lima jilid dengan lebih dari satu juta kata. Buku ini merangkum pengetahuan medis dari sumber-sumber kuno dan Islam. Karyanya yang lain yang juga sangat penting adalah Kitab al-Shifa (Buku Penyembuhan), yang merupakan ensiklopedia ilmiah dan filosofis.

Ibnu Sina lahir sekitar tahun 980 M di desa Afshana, dekat Bukhara, yang sekarang termasuk wilayah Uzbekistan. Ayahnya berasal dari Balkh (kini di Afghanistan) dan menganut mazhab Ismaili. Sejak kecil, Ibnu Sina sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia menghafal Al-Quran pada usia sepuluh tahun dan pada usia empat belas tahun sudah melampaui pengetahuan para gurunya. Ia kemudian mempelajari hukum Islam, filsafat, dan ilmu alam. Ia juga belajar logika, karya Euclid, dan Almagest karya Ptolemeus.

Ibnu Sina: Sang Jenius Serba Bisa dari Dunia Islam Read More »

Oswald Avery dan Penemuan DNA sebagai Pembawa Warisan Genetik

Oswald Avery adalah seorang ilmuwan yang berperan penting dalam sejarah biologi. Ia memimpin tim yang membuktikan bahwa DNA adalah bahan pembawa sifat keturunan. Artinya, DNA-lah yang menyimpan instruksi kimia kehidupan dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penemuan ini dipublikasikan melalui eksperimen terkenal yang kemudian dikenal sebagai Eksperimen Avery–MacLeod–McCarty, hasil dari penyelidikan ilmiah yang berlangsung lebih dari sepuluh tahun.

Avery lahir di Halifax, Kanada, pada tahun 1877 dari pasangan imigran Inggris. Ketika ia berusia 10 tahun, keluarganya pindah ke New York karena ayahnya, seorang pendeta Baptis, mendapat tugas baru di wilayah yang penuh tantangan sosial. Meskipun tumbuh di lingkungan yang keras, Oswald menunjukkan bakat besar di bidang musik dan bahkan mendapat beasiswa ke konservatori musik, namun tidak ia gunakan.

Awalnya Avery tidak menempuh jalur sains. Ia kuliah jurusan humaniora dan lulus dari Colgate University tanpa banyak mengambil mata kuliah sains. Namun, pada tahun 1900, ia memutuskan masuk sekolah kedokteran di Universitas Columbia. Setelah lulus dan menjadi dokter umum, ia merasa frustrasi karena banyak pasiennya menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Hal ini mendorongnya untuk berganti jalur menjadi ahli mikrobiologi demi mencari solusi terhadap penyakit menular.

Oswald Avery dan Penemuan DNA sebagai Pembawa Warisan Genetik Read More »

Svante Arrhenius: Ilmuwan yang Meramal Pemanasan Global Sejak Awal

Svante Arrhenius adalah seorang ilmuwan jenius asal Swedia yang lahir pada tahun 1859. Sejak kecil, Arrhenius sudah menunjukkan bakat luar biasa—ia bahkan bisa membaca dan menghitung di usia tiga tahun! Ia tumbuh besar di kota Uppsala dan mendapatkan pendidikan terbaik di sana, hingga akhirnya meraih gelar doktor dalam bidang kimia. Perjalanan hidupnya penuh dengan semangat ingin tahu dan dedikasi untuk ilmu pengetahuan.

Salah satu penemuan terpenting dari Arrhenius adalah teorinya tentang bagaimana zat-zat kimia yang disebut elektrolit—misalnya garam dapur—bisa terpecah menjadi bagian-bagian kecil yang disebut ion saat larut dalam air. Teori ini sangat penting karena membantu ilmuwan memahami cara kerja reaksi kimia dalam tubuh manusia, baterai, dan banyak hal lain. Berkat penemuan ini, ia mendapatkan Hadiah Nobel di bidang Kimia pada tahun 1903.

Namun, Arrhenius tidak hanya berhenti di situ. Ia juga menjadi ilmuwan pertama yang meneliti bagaimana gas karbon dioksida di atmosfer bisa memengaruhi suhu bumi. Pada tahun 1896, jauh sebelum pemanasan global menjadi isu besar seperti sekarang, ia sudah memperingatkan bahwa aktivitas manusia bisa membuat bumi semakin panas. Penelitian ini dianggap sebagai cikal bakal ilmu tentang perubahan iklim modern.

Svante Arrhenius: Ilmuwan yang Meramal Pemanasan Global Sejak Awal Read More »