Scientist

Penemu Bedah Jantung Modern: Kisah Inspiratif Alfred Blalock dan Operasi Bayi Biru

 

 

 

Alfred Blalock adalah seorang dokter bedah asal Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor bedah jantung modern. Ia lahir pada 5 April 1899 di Culloden, Georgia, dari pasangan George dan Martha Blalock. Sejak kecil, Blalock dikenal aktif, mencintai alam, dan memiliki semangat belajar tinggi. Ia menempuh pendidikan di Georgia Military Academy dan melanjutkan kuliah di Universitas Georgia, di mana ia lulus sebagai sarjana pada usia 19 tahun. Blalock kemudian diterima di Johns Hopkins School of Medicine dan mulai menemukan minatnya dalam bidang bedah.

Setelah lulus dari sekolah kedokteran pada tahun 1922, Blalock ingin menjadi residen bedah, tetapi karena nilai akademiknya tidak cukup tinggi, ia harus puas dengan magang di bidang urologi. Namun, ketekunannya membuahkan hasil dan tahun berikutnya ia mendapatkan posisi asisten residen di layanan bedah umum. Ia juga sempat menjalani eksternship di bidang THT dan melanjutkan pelatihan bedah di Boston sebelum akhirnya pindah ke Rumah Sakit Vanderbilt di Nashville.

Di Vanderbilt, Blalock bekerja sama dengan Profesor Barney Brooks dan kemudian menjalin kolaborasi penting dengan Vivien Thomas, yang awalnya bekerja sebagai petugas kebersihan. Blalock menyadari kemampuan luar biasa Thomas dan melatihnya sebagai teknisi bedah. Kemitraan ini menjadi sangat penting dalam banyak penemuan ilmiah Blalock. Salah satu penemuan penting mereka adalah pemahaman bahwa shock disebabkan oleh kehilangan darah atau cairan tubuh dan dapat diatasi dengan transfusi darah atau plasma, metode yang menyelamatkan ribuan nyawa dalam Perang Dunia II.

Pada tahun 1938, Blalock diangkat menjadi profesor penuh karena keberhasilannya dalam riset dan eksperimen bedah. Ia dan Thomas kemudian mengembangkan teknik bedah pembuluh darah dan jantung. Pada tahun 1941, Blalock kembali ke Johns Hopkins sebagai profesor bedah dan kepala bedah rumah sakit. Ia membawa Thomas bersamanya, menjadikan mereka satu tim yang tak terpisahkan, baik secara profesional maupun pribadi.

Di Johns Hopkins, Blalock mulai fokus pada bedah jantung. Ia bereksperimen pada anjing untuk menyempurnakan teknik menyambungkan arteri subklavia ke arteri pulmonalis, sebagai cara mengatasi penyempitan aorta. Teknik ini kemudian disempurnakan bersama dokter anak Helen Taussig untuk menangani kondisi “Tetralogy of Fallot”, lebih dikenal sebagai sindrom bayi biru.

Kondisi bayi biru terjadi ketika bayi kekurangan oksigen dalam darah akibat kelainan jantung bawaan. Kulit bayi menjadi kebiruan karena darahnya tidak cukup teroksigenasi. Pada 29 November 1944, Blalock, Thomas, dan Taussig melakukan operasi pertama pada seorang bayi perempuan berusia 15 bulan bernama Eileen. Operasi ini menghubungkan arteri dari jantung ke paru-paru agar darah dapat membawa oksigen.

Operasi ini berhasil secara medis. Warna kulit Eileen mulai kembali normal saat darahnya mulai menerima oksigen. Sayangnya, meskipun operasi berhasil, Eileen kemudian meninggal dunia. Namun keberhasilan teknik ini menjadi kabar besar dan banyak orang tua mulai membawa anak mereka ke Johns Hopkins untuk mendapatkan prosedur yang sama.

Kesuksesan prosedur Blalock-Taussig menjadi tonggak penting dalam sejarah bedah jantung. Teknik ini tetap digunakan hingga saat ini sebagai dasar pengobatan penyakit jantung bawaan pada anak-anak. Blalock juga dikenal sebagai pengajar yang berdedikasi. Selama masa jabatannya sebagai kepala bedah di Johns Hopkins, ia melatih 38 kepala residen yang kemudian menjadi ahli bedah terkemuka.

Dalam kehidupan pribadinya, Blalock menikah dengan Mary Chambers O’Bryan dan memiliki tiga anak. Setelah istrinya meninggal pada tahun 1958, ia menikah lagi dengan Alice Waters pada tahun 1959. Pada tahun 1949, ia menerima penghargaan René Leriche dari International Society of Surgery sebagai ahli bedah pembuluh darah terbaik di dunia. Namanya diabadikan pada Gedung Ilmu Klinis Alfred Blalock di Rumah Sakit Hopkins pada tahun 1955.

Blalock pensiun pada Juli 1964 dan hanya dua bulan kemudian, pada 15 September 1964, ia meninggal dunia akibat kanker pada usia 65 tahun. Meskipun telah tiada, warisannya dalam dunia kedokteran, terutama dalam bidang bedah jantung, tetap hidup dan memberi harapan baru bagi jutaan pasien di seluruh dunia.

Nama Alfred Blalock tidak hanya dikenang karena keahliannya sebagai ahli bedah, tetapi juga karena kolaborasinya dengan Vivien Thomas yang melampaui batas rasial dan sosial pada zamannya. Kolaborasi mereka menjadi simbol penting bahwa kecerdasan, dedikasi, dan rasa hormat dapat mengatasi segala perbedaan.

Inovasi dan keberanian Blalock dalam mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya telah membuka jalan bagi berbagai prosedur medis modern. Ia bukan hanya dokter yang menyelamatkan nyawa, tapi juga sosok yang mengubah sejarah dunia kedokteran.

Hingga kini, operasi Blalock-Taussig masih diajarkan sebagai teknik dasar dalam pendidikan kedokteran. Keberanian melakukan inovasi medis pada masa itu adalah salah satu sumbangan terbesar Blalock bagi dunia kesehatan. Namanya akan terus dikenang dalam sejarah medis dunia sebagai pelopor revolusi dalam bedah jantung.[]

Penemu Bedah Jantung Modern: Kisah Inspiratif Alfred Blalock dan Operasi Bayi Biru Read More »

Elizabeth Blackwell: Pelopor Perempuan Pertama di Dunia Medis

Elizabeth Blackwell lahir pada 3 Februari 1821 di Bristol, Inggris, dalam keluarga religius dan makmur. Ayahnya, Samuel Blackwell, adalah pengusaha gula yang juga aktif dalam gerakan penghapusan perbudakan. Kehidupan masa kecil Elizabeth bahagia dan penuh dengan semangat belajar, di mana ia lebih banyak dididik oleh guru privat dibandingkan sekolah formal. Kecintaannya pada buku mengisi hari-harinya dan membentuk cita-cita besarnya di kemudian hari.

Pada tahun 1832, keluarganya pindah ke Amerika Serikat setelah bisnis ayahnya terbakar habis. Mereka mencoba membangun hidup baru, namun nasib berkata lain. Ayah Elizabeth meninggal dunia enam tahun kemudian, membuat keluarga mereka berada di ambang kebangkrutan. Demi menyambung hidup, Elizabeth dan kakak-kakaknya membuka sekolah kecil untuk anak-anak perempuan di Cincinnati.

Meskipun memiliki daya tarik terhadap laki-laki, Elizabeth memutuskan untuk tidak bergantung pada pernikahan. Ia memilih hidup mandiri dan menjadi guru di negara bagian bagian selatan yang masih memberlakukan perbudakan. Di sana, ia mengalami pergolakan batin karena menyaksikan ketidakadilan terhadap para budak. Pengalaman ini memperkuat prinsip moral dan sosial yang ia pegang sepanjang hidupnya.

Elizabeth Blackwell: Pelopor Perempuan Pertama di Dunia Medis Read More »

Penemu Beta Blocker: Kisah James Black Menyelamatkan Jutaan Nyawa

James Black adalah sosok luar biasa di dunia kedokteran modern. Ia menciptakan dua kelompok obat revolusioner yang telah menyelamatkan jutaan nyawa: beta blocker untuk penyakit jantung dan histamin antagonis untuk sakit maag. Berkat penemuan ini, ia dianugerahi Penghargaan Nobel di bidang Kedokteran pada tahun 1988.

Black bukan sekadar ilmuwan biasa. Ia memperkenalkan pendekatan baru dalam menciptakan obat, yaitu dengan merancang molekul sintetis yang mampu menghalangi molekul alami penyebab penyakit di dalam tubuh. Pendekatan ini bukan hanya inovatif, tetapi juga menjadi fondasi bagi banyak penemuan obat modern setelahnya.

Obat ciptaannya, propranolol dan cimetidine, bukan hanya populer, tetapi menjadi yang paling banyak diresepkan pada masanya. Cimetidine bahkan mencetak sejarah sebagai obat resep pertama yang menghasilkan penjualan lebih dari satu miliar dolar.

Lahir pada 14 Juni 1924 di kota kecil Uddingston, Skotlandia, James Black tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya seorang mantan penambang yang kemudian menjadi insinyur pertambangan lewat pendidikan malam. Ibunya seorang penganut Baptis yang taat, namun keluarga mereka tetap hangat dan penuh musik.

Penemu Beta Blocker: Kisah James Black Menyelamatkan Jutaan Nyawa Read More »

Kristian Birkeland: Penemu Aurora dan Pelopor Arus Luar Angkasa

Kristian Olaf Birkeland adalah ilmuwan asal Norwegia yang namanya kini diakui dunia karena penjelasannya tentang aurora borealis atau cahaya utara. Ia lahir pada 13 Desember 1867 di Oslo, yang saat itu masih bernama Christiana. Sejak muda, Birkeland dikenal memiliki rasa ingin tahu besar terhadap ilmu pengetahuan. Ia mulai kuliah di Universitas Oslo pada tahun 1885 dan awalnya memilih jurusan kimia serta matematika. Namun, minatnya lebih kuat pada fisika teoretis, dan akhirnya ia lulus pada tahun 1890.

Kehidupan pribadi Birkeland tidak banyak menjadi sorotan, namun ia sempat menikah dengan Ida Charlotte Hammer pada tahun 1905. Sayangnya, pernikahan itu tidak menghasilkan keturunan. Kecintaannya pada penelitian membuat hubungan mereka renggang, dan akhirnya mereka bercerai pada tahun 1911. Birkeland memang dikenal sebagai sosok yang sangat fokus pada pekerjaannya, bahkan rela mengorbankan kehidupan pribadinya.

Kontribusi terbesar Birkeland datang dari rasa penasarannya terhadap fenomena aurora borealis. Ia memimpin serangkaian ekspedisi ke wilayah kutub utara Norwegia antara tahun 1899 hingga 1900 untuk mengamati fenomena itu secara langsung. Dalam ekspedisi ini, ia mendirikan beberapa observatorium untuk mengumpulkan data medan magnet di wilayah lintang tinggi. Dari data ini, Birkeland mulai memahami pola arus listrik di kutub yang menjadi kunci terbentuknya aurora.

Kristian Birkeland: Penemu Aurora dan Pelopor Arus Luar Angkasa Read More »

Birdseye: Kisah Inspiratif Penemu Makanan Beku

Clarence Frank Birdseye II mungkin bukan nama yang sering terdengar, tetapi berkat penemuannya, jutaan orang di seluruh dunia dapat menikmati makanan beku yang praktis dan tahan lama. Birdseye adalah orang di balik lahirnya industri makanan beku modern, dan penemuannya masih digunakan hingga hari ini. Ia bukan hanya seorang penemu, tetapi juga seorang naturalis dan wirausahawan yang tak pernah menyerah menghadapi tantangan.

Lahir pada 9 Desember 1886 di Brooklyn, New York, Birdseye tumbuh di tengah keluarga besar sebagai anak keenam dari sembilan bersaudara. Ia sempat belajar di Amherst College, namun harus keluar karena kendala biaya. Meski begitu, semangat belajarnya tidak padam. Ia mulai bekerja di Departemen Pertanian Amerika Serikat dan mengawali kariernya sebagai ahli pengawetan hewan (taksonomis).

Ia sempat bertugas di Arizona dan New Mexico sebagai naturalis muda. Salah satu tugasnya adalah memburu coyote, hewan sejenis serigala. Ia juga bekerja sama dengan ilmuwan serangga, Willard Von Orsdel King, untuk menangkap ratusan mamalia kecil dan meneliti kutu penyebab demam berbintik Rocky Mountain, sebuah penyakit berbahaya yang sempat menjadi misteri.

Pada tahun 1912, Birdseye pindah ke Labrador, wilayah dingin di Kanada, untuk menjadi penjebak hewan bulu sekaligus meneliti ikan dan satwa liar. Di sanalah ia mulai tertarik pada cara membekukan makanan. Ia belajar langsung dari orang Inuit bagaimana memancing ikan di bawah lapisan es yang sangat tebal. Karena suhu ekstrem hingga -40°C, ikan beku secara alami dan tetap segar saat dicairkan. Ia pun menyadari bahwa makanan beku di New York jauh lebih buruk kualitasnya.

Pengalaman di Labrador membuat Birdseye berpikir untuk menciptakan cara membekukan makanan secara cepat. Saat itu, proses pembekuan masih lambat dan suhu tidak cukup rendah, sehingga kristal es yang terbentuk merusak jaringan makanan. Ia pun mencari cara untuk mempercepat proses pembekuan agar es yang terbentuk lebih kecil dan tidak merusak tekstur makanan.

Pada tahun 1922, Birdseye mulai bereksperimen membekukan ikan di Clothel Refrigerating Company. Ia lalu mendirikan perusahaannya sendiri bernama Birdseye Seafoods Incorporated. Awalnya, ia membekukan ikan dengan udara bersuhu -43°C. Namun bisnis ini tidak langsung sukses dan harus bangkrut dua tahun kemudian karena produk makanan beku belum diminati masyarakat.

Tak patah semangat, di tahun yang sama, Birdseye menciptakan metode baru: ikan dikemas dalam karton, lalu ditekan di antara dua permukaan dingin. Proses ini jauh lebih cepat dan hasilnya lebih baik. Ia kemudian mendirikan perusahaan baru bernama General Seafood Corporation yang menjadi cikal bakal industri makanan beku modern.

Pada tahun 1925, ia memindahkan usahanya ke Gloucester, Massachusetts dan menciptakan mesin baru bernama double belt freezer. Mesin ini menggunakan sabuk baja dingin yang membawa makanan hingga membeku dalam waktu sangat cepat. Penemuannya ini dipatenkan dengan nomor US Patent #1,773,079, dan menjadi tonggak penting dalam sejarah makanan beku.

Birdseye terus berinovasi dan menciptakan berbagai mesin baru untuk mempercepat pembekuan makanan dengan lebih efektif. Ia pun mulai memperluas jenis makanan yang dibekukan, tak hanya ikan, tetapi juga sayuran, ayam, daging, dan buah-buahan. Proses ini mampu menjaga cita rasa dan tekstur makanan lebih baik dibandingkan metode lama.

Pada tahun 1929, ia menjual perusahaannya beserta paten-patennya kepada Goldman Sachs dan Postum Company dengan nilai sekitar 22 juta dolar—jumlah yang sangat besar pada masa itu. Perusahaan itu kemudian menjadi bagian dari General Foods Corporation, dan merek “Birds Eye” masih digunakan hingga kini sebagai salah satu merek makanan beku ternama.

Meski tidak lagi memiliki perusahaannya sendiri, Birdseye tetap bekerja sebagai konsultan dan terus mengembangkan teknologi makanan beku yang lebih baik. Ia bahkan meneliti metode dehidrasi makanan dan menyebutnya sebagai “makanan tanpa air”. Ia selalu berpikir jauh ke depan untuk masa depan makanan praktis.

Dalam kehidupan pribadinya, Birdseye menikah dengan Eleanor Garrett pada tahun 1915 saat tinggal di Labrador. Mereka dikaruniai seorang putra bernama Kellogg. Meski kariernya penuh pencapaian besar, kehidupan keluarganya tetap menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Clarence Birdseye meninggal dunia pada 7 Oktober 1956 di Hotel Gramercy Park, New York, karena serangan jantung. Ia berusia 69 tahun saat wafat. Jenazahnya dikremasi dan abunya disebar di laut lepas dekat Gloucester, kota yang menjadi tempat berkembangnya penemuannya.

Warisan Birdseye tidak hanya hidup dalam bentuk makanan beku yang ada di setiap lemari es, tetapi juga dalam inovasi dan semangat pantang menyerah. Ia membuktikan bahwa ide sederhana yang didapat dari pengalaman di lapangan bisa mengubah dunia. Kini, setiap kali kita membuka freezer dan menikmati makanan beku, kita turut menikmati hasil jerih payah seorang penemu brilian yang tak kenal lelah.

Merek “Birds Eye” tetap menjadi salah satu pemimpin pasar dalam industri makanan beku dunia. Nama itu menjadi simbol dari kenyamanan dan kualitas yang bisa dinikmati banyak keluarga setiap hari, berkat seorang pria yang memulai semuanya dari pengalaman memancing di bawah es kutub.[]

Birdseye: Kisah Inspiratif Penemu Makanan Beku Read More »

Alfred Binet: Penemu Tes Kecerdasan yang Mengubah Dunia Pendidikan

Alfred Binet adalah seorang psikolog asal Prancis yang berhasil mengubah cara dunia memandang kecerdasan manusia. Ia dikenal luas sebagai pelopor dalam bidang psikologi pendidikan, terutama karena jasanya menciptakan alat ukur yang kelak dikenal sebagai tes kecerdasan atau intelligence test. Meskipun pada masa hidupnya ia tidak sepenuhnya menyadari betapa besar pengaruh karyanya, nama Binet tetap dikenang sebagai salah satu tokoh besar dalam dunia psikologi modern.

Lahir di Nice, Prancis, pada bulan Juli tahun 1857, Binet tumbuh dalam keluarga yang cukup unik. Ayahnya adalah seorang dokter, sedangkan ibunya seorang seniman. Setelah kedua orang tuanya bercerai, Binet lebih banyak diasuh oleh sang ibu. Ketika berusia 15 tahun, ia sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam bidang sastra dan bahasa, bahkan menerima beberapa penghargaan dari sekolah bergengsi Louis-le-Grand di Paris. Meski menempuh pendidikan hukum hingga lulus, ia memilih untuk tidak menjalani profesi sebagai pengacara.

Minat Binet terhadap psikologi tumbuh secara mandiri. Di usia pertengahan dua puluhan, ia banyak menghabiskan waktu di Perpustakaan Nasional Paris untuk membaca buku-buku psikologi. Ia sangat terinspirasi oleh pemikiran Théodule Ribot dan John Stuart Mill, yang mendorong minatnya terhadap psikologi sensorik dan teori asosiasi.

Langkah awal Binet di dunia ilmiah dimulai ketika ia bertemu dengan ahli saraf ternama, Jean-Martin Charcot, di Rumah Sakit Salpêtrière pada awal tahun 1880-an. Ia pun terlibat dalam penelitian mengenai hipnosis dan histeria. Pengalaman ini memberinya pemahaman mendalam tentang pengaruh sugesti dalam eksperimen psikologis, meskipun ia sempat terjebak dalam teori kontroversial yang kemudian ia koreksi sendiri.

Pada tahun 1884, Binet menikahi Laure Balbiani, putri dari ahli embriologi terkenal Edouard-Gérard Balbiani. Mereka dikaruniai dua putri, Madeleine dan Alice, yang lahir berselang dua tahun. Ketika ia meninggalkan pekerjaannya di rumah sakit pada tahun 1890, Binet memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Ia melakukan berbagai eksperimen di rumah, mencatat perilaku dan reaksi mereka secara sistematis. Hasil pengamatan ini kemudian diterbitkan dalam tiga makalah ilmiah yang mengangkat perbedaan individu dan pengukuran kecerdasan.

Pada tahun 1892, Binet menjadi sukarelawan di Laboratorium Psikologi Eksperimental di Universitas Sorbonne. Tiga tahun kemudian, ia diangkat menjadi direktur laboratorium tersebut dan menjabat hingga akhir hayatnya. Bersama Henri Heaunis dan Théodore Simon, ia mendirikan jurnal psikologi L’Année Psychologique, yang hingga kini masih dianggap sebagai salah satu jurnal terpenting dalam sejarah psikologi.

Di sela-sela aktivitasnya, Binet juga bekerja sama dengan ahli kimia Victor Henri untuk meneliti memori visual dan aspek psikologi individu. Ia turut aktif dalam organisasi bernama Free Society for the Psychological Study of the Child dan menjadi anggota komisi pemerintah yang menangani pendidikan anak-anak dengan keterbelakangan mental.

Pada tahun 1903, Binet menerbitkan buku berjudul L’Étude Expérimentale de l’Intelligence yang merangkum metodenya dalam mengukur kecerdasan. Namun karya terbesarnya baru datang dua tahun kemudian, ketika ia bersama Théodore Simon menciptakan tes untuk mengukur kecerdasan anak-anak. Tes ini terdiri dari 30 soal dengan tingkat kesulitan bertahap. Dari hasilnya, dapat diukur usia mental seorang anak berdasarkan rerata kemampuan pada usia tertentu.

Skala Binet-Simon ini menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan. Dengan bantuan tes ini, guru dan orang tua bisa mengenali anak-anak yang membutuhkan bantuan khusus dalam belajar. Tes ini menjadi sangat populer di berbagai negara, meskipun Binet sendiri menekankan bahwa perkembangan mental tiap anak bisa berbeda-beda dan tidak boleh disamakan satu dengan yang lain.

Kesadaran Binet bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang tetap dan dapat berkembang dari waktu ke waktu menjadikannya sosok ilmuwan yang progresif. Ia menentang pandangan bahwa skor tes semata-mata menentukan nilai seseorang secara mutlak. Dalam pandangannya, tes hanyalah alat bantu untuk memahami potensi anak.

Tes Binet-Simon mengalami dua kali revisi, yaitu pada tahun 1908 dan 1911, yang semakin menyempurnakan struktur dan penerapannya. Sayangnya, pada tahun yang sama ketika revisi ketiga diterbitkan, Binet wafat pada tanggal 18 Oktober 1911. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam di kalangan ilmuwan dan pendidik.

Enam tahun setelah kematiannya, organisasi Free Society for the Psychological Study of the Child secara resmi mengganti nama menjadi La Société Alfred Binet untuk menghormati jasanya yang luar biasa. Ini menjadi simbol betapa besar warisan pemikirannya dalam membentuk sistem pendidikan modern.

Meskipun hidupnya tergolong singkat, pengaruh Alfred Binet sangat luas dan bertahan hingga hari ini. Karyanya menjadi fondasi bagi banyak perkembangan psikologi pendidikan dan pengukuran kecerdasan. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, ia dikenang bukan hanya sebagai penemu tes IQ, tetapi sebagai ilmuwan yang melihat manusia sebagai makhluk yang bisa berkembang dengan dukungan yang tepat.

Warisan Binet terus menginspirasi para psikolog, guru, dan orang tua dalam memahami anak-anak. Ia membuka jalan bagi sistem pendidikan yang lebih manusiawi, di mana setiap anak memiliki kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya. Pemikirannya menjadi bukti bahwa ilmu bisa membawa perubahan nyata dalam kehidupan manusia.[]

Alfred Binet: Penemu Tes Kecerdasan yang Mengubah Dunia Pendidikan Read More »

Homi Jehangir Bhabha: Ilmuwan Brilian di Balik Energi Nuklir India

Homi Jehangir Bhabha adalah seorang fisikawan nuklir asal India yang dikenal sebagai bapak program nuklir India. Ia memainkan peran penting dalam pengembangan teori kuantum dan penelitian radiasi kosmik. Kiprahnya tidak hanya mencakup laboratorium, tetapi juga kebijakan energi negara. Sebagai ketua pertama Komisi Energi Atom India, ia memimpin banyak terobosan ilmiah yang membawa negaranya menjadi pemain utama dalam dunia nuklir.

Ia lahir pada 30 Oktober 1909 di Mumbai, dalam keluarga kaya yang memiliki pengaruh besar di India bagian barat. Ayahnya, Jehangir Hormusji Bhabha, adalah seorang pengacara. Sejak kecil, Bhabha mendapat pendidikan berkualitas di Sekolah Katedral, lalu melanjutkan ke Elphinstone College saat usianya baru lima belas tahun. Ia kemudian melanjutkan studi ke Royal Institute of Science di Bombay.

Keluarga Bhabha, khususnya ayah dan pamannya Sir Dorab Tata, menginginkan agar ia menjadi insinyur dan bekerja di perusahaan besar Tata Iron and Steel Company. Oleh karena itu, pada 1927, ia berangkat ke Universitas Cambridge untuk belajar teknik mesin sesuai keinginan keluarga.

Homi Jehangir Bhabha: Ilmuwan Brilian di Balik Energi Nuklir India Read More »

Hans Bethe: Ilmuwan Bom Atom yang Kemudian Menjadi Pejuang Perdamaian

Hans Bethe adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah fisika modern. Ia lahir di Strasbourg, Jerman, pada tanggal 2 Juli 1906. Sejak kecil, Bethe dikenal sebagai anak yang sangat cerdas, terutama dalam bidang matematika. Kecerdasannya ini kemudian mengantarnya untuk belajar fisika di Universitas JWG Frankfurt, dan meraih gelar doktor di Universitas Munich.

Bakat ilmiahnya membawanya menjelajah dunia. Ia sempat bekerja di Cambridge, Inggris, dan di laboratorium fisikawan terkenal Enrico Fermi di Roma, Italia. Dari sinilah awal kiprahnya sebagai fisikawan teoritis yang akan berkontribusi besar pada abad ke-20.

Pada tahun 1939, Bethe menikah dengan Rose Ewald, putri dari profesor universitasnya, Paul Peter Ewald. Namun, kehidupan rumah tangganya tidak sepenuhnya tenang karena pilihan profesinya kemudian menimbulkan dilema moral yang besar bagi keluarganya.

Ketika Perang Dunia II pecah, Bethe menerima ajakan J. Robert Oppenheimer untuk bergabung dalam Proyek Manhattan. Ia menjadi direktur divisi fisika teoretis dan bertugas merancang prinsip kerja bom atom. Meski istrinya sangat khawatir dengan keterlibatannya dalam proyek senjata pemusnah massal, Bethe terus melanjutkan tugasnya.

Hans Bethe: Ilmuwan Bom Atom yang Kemudian Menjadi Pejuang Perdamaian Read More »

Henry Bessemer: Sang Jenius di Balik Revolusi Baja Dunia

Henry Bessemer adalah salah satu tokoh penting yang membawa perubahan besar dalam sejarah industri dunia. Ia bukan hanya seorang insinyur asal Inggris, tapi juga penemu dan pengusaha yang cerdas. Inovasinya dalam dunia baja telah membuka jalan bagi kemajuan teknologi dan pembangunan infrastruktur modern. Berkat ide-idenya, produksi baja menjadi jauh lebih cepat dan murah, sehingga industri bisa tumbuh pesat.

Lahir di Charlton, Hertfordshire, Inggris, pada tanggal 19 Januari 1813, Henry Bessemer dibesarkan dalam keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan. Ayahnya, Anthony Bessemer, juga seorang insinyur dan penemu, bahkan menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Prancis karena keberhasilannya menyempurnakan mikroskop optik. Lingkungan keluarga yang ilmiah ini sangat memengaruhi perkembangan Henry kecil.

Sejak usia muda, Henry sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam menciptakan sesuatu. Ia tidak menempuh pendidikan formal secara penuh, tetapi belajar langsung dari pengalaman, terutama di bengkel percetakan milik ayahnya. Di tempat itu, ia mulai mengenal ilmu logam dan belajar membuat rantai emas, sebuah proses yang menuntut ketelitian dan keterampilan tinggi.

Henry Bessemer: Sang Jenius di Balik Revolusi Baja Dunia Read More »

Jacob Berzelius: Perintis Kimia Modern dari Swedia

Jöns Jacob Berzelius lahir pada 20 Agustus 1779 di Väversunda, Swedia, dari keluarga guru dan pendeta. Kehidupannya penuh perjuangan sejak kecil. Ayahnya meninggal saat ia baru berusia empat tahun, dan ibunya meninggal beberapa tahun kemudian. Ia sempat diasuh oleh ayah tiri dan kemudian pindah ke rumah pamannya, di mana ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk menghindari suasana yang tidak menyenangkan. Meskipun kehidupannya sulit, semangat belajarnya tidak padam.

Saat remaja, Berzelius mulai bersekolah di Linköping dan membiayai hidupnya sendiri dengan mengajar anak-anak kaya. Ia lebih tertarik pada dunia alam daripada pelajaran agama di sekolah. Hobinya mengoleksi serangga dan berburu menunjukkan kecintaannya pada alam sejak dini. Di masa libur sekolah, ia bekerja di ladang sambil tetap belajar. Ia pernah menulis dalam buku hariannya tentang pengalaman hidup sederhana, bahkan harus mencuci rambut dengan larutan garam karena kutu.

Pada usia 18 tahun, Berzelius diterima di Universitas Uppsala, salah satu kampus terbaik di dunia untuk bidang kimia. Ia awalnya tertarik pada kedokteran karena melihatnya sebagai jalan menuju stabilitas ekonomi. Namun, kecintaannya pada ilmu alam membuatnya tekun bereksperimen, bahkan di lemari kamarnya sendiri. Ketika ia berhasil menciptakan gas oksigen dan menyalakan api di ruang gelapnya, ia menggambarkannya sebagai momen penuh kebahagiaan.

Jacob Berzelius: Perintis Kimia Modern dari Swedia Read More »