Lingkungan

Manusia di Balik Titik Balik Global Ketiga

Selama puluhan juta tahun, herbivora besar seperti mastodon, rusa raksasa, dan nenek moyang gajah modern telah menjadi arsitek utama lanskap Bumi. Mereka merumput, merobek tumbuhan, dan membuka jalur yang memengaruhi kehidupan makhluk lain. Menakjubkannya, meskipun kelompok-kelompok ini mengalami kepunahan berulang kali, jaringan ekologis yang mereka bentuk tetap bertahan teguh—hingga sekarang.

Penelitian terbaru mengungkap bahwa hanya dua peristiwa besar dalam 60 juta tahun terakhir yang benar-benar mengguncang komunitas herbivora besar. Yang pertama terjadi sekitar 21 juta tahun lalu ketika terbentuk jembatan darat antara Afrika dan Eurasia, yang memungkinkan terjadinya migrasi besar-besaran antarspesies seperti gajah, babi, rusa, dan badak. Yang kedua terjadi sekitar 10 juta tahun lalu ketika iklim Bumi menjadi lebih kering dan lebih dingin. Perubahan ini memunculkan padang rumput luas, menghilangkan hutan, dan menyebabkan punahnya banyak spesies penghuni hutan. Namun, meski banyak spesies hilang, struktur ekologi komunitas tetap utuh. Spesies baru menggantikan peran lama, menjaga keseimbangan fungsi dalam ekosistem, seperti tim sepak bola yang mengganti pemain tapi tetap memakai formasi yang sama.

Manusia di Balik Titik Balik Global Ketiga Read More »

Molekul Super – Itaconate

Para ilmuwan menemukan bahwa sebuah molekul yang dikenal dalam sistem kekebalan hewan, yaitu itaconate, ternyata juga memiliki peran penting dalam pertumbuhan tanaman. Penemuan ini membuka kemungkinan baru dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman pangan secara alami dan berkelanjutan. Dalam studi terbaru yang dilakukan oleh para peneliti dari University of California San Diego, mereka membuktikan bahwa itaconate tidak hanya ada di dalam sel tumbuhan, tetapi juga mampu merangsang pertumbuhan tanaman, seperti menjadikan bibit jagung tumbuh lebih tinggi. Ini merupakan temuan mengejutkan karena selama ini itaconate lebih dikenal sebagai senyawa pelindung dalam tubuh hewan terhadap virus dan peradangan.

Dengan menggunakan teknik pencitraan kimia dan spektrometri massa, para ilmuwan mendeteksi keberadaan itaconate di dalam sel tumbuhan, khususnya pada bagian-bagian yang sedang tumbuh. Mereka menyiram tanaman jagung dengan larutan yang mengandung itaconate dan mengamati bahwa bibit-bibit tersebut tumbuh lebih tinggi dibandingkan tanaman yang tidak diberi perlakuan. Hal ini mendorong penelitian lebih lanjut untuk memahami bagaimana molekul ini bekerja bersama protein tumbuhan dan apa saja dampak positifnya.

Molekul Super – Itaconate Read More »

Virus Raksasa di Laut Bisa Kendalikan Fotosintesis dan Picu Ledakan Alga

Para ilmuwan dari University of Miami telah menemukan lebih dari 230 jenis virus raksasa baru yang hidup di lautan. Penemuan ini mengejutkan karena virus-virus ini tidak hanya besar dan kompleks, tapi juga punya kemampuan unik: mereka bisa membajak proses fotosintesis pada alga laut. Fotosintesis adalah proses penting di mana alga mengubah cahaya matahari menjadi energi, yang juga menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida dari udara. Ketika virus-virus ini menginfeksi alga, mereka dapat mengubah cara alga berfotosintesis, bahkan membuat alga berkembang biak secara tak terkendali. Akibatnya, bisa terjadi ledakan populasi alga atau algal bloom yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan.

Penelitian ini dipublikasikan pada 21 April 2025 di jurnal ilmiah Nature npj Viruses. Dalam studi tersebut, para peneliti menggunakan teknologi superkomputer dan alat baru bernama BEREN untuk memindai jutaan data DNA dari laut yang tersedia secara publik. Hasilnya, mereka menemukan ratusan genom virus raksasa yang sebelumnya belum pernah diketahui. Di dalam genom tersebut, ditemukan lebih dari 500 protein baru, termasuk sembilan protein yang terlibat dalam fotosintesis—hal yang sebelumnya hanya ditemukan pada tumbuhan dan mikroorganisme.

Virus Raksasa di Laut Bisa Kendalikan Fotosintesis dan Picu Ledakan Alga Read More »

Lumut dalam Perencanaan Kota

Lumut, tanaman kecil hijau yang sering kita temui di tembok lembap atau pinggir jalan, ternyata punya potensi besar untuk membuat kota menjadi lebih bersih, sejuk, dan ramah lingkungan. Dalam dunia perencanaan kota modern, lumut kini mulai dilirik sebagai solusi hijau yang murah, efisien, dan alami.

Lumut bisa menyerap polusi udara seperti logam berat dan debu halus. Teknologi “dinding lumut” bahkan sedang dikembangkan sebagai sistem penyaring udara di kota-kota padat penduduk (Inelova et al., 2022; Ernwein & Palmer, 2024). Lumut juga dapat digunakan di atap dan dinding bangunan sebagai bagian dari “green roofing” untuk menyerap panas dan menurunkan suhu sekitar (Marsaglia et al., 2023).

Selain itu, lumut bisa dijadikan “sensor alami” untuk mendeteksi keberadaan logam berat dan polutan di udara kota (Chaudhuri & Roy, 2023; Sfetsas et al., 2024).

Lumut dapat ditempel di dinding gedung sebagai elemen estetika dan penyaring udara. Pada atap bangunan, lumut cocok digunakan karena ringan, tahan panas, dan bisa tumbuh hanya dengan air hujan (Marttinen et al., 2020). Bahkan inovasi seperti “moss concrete” sedang dikembangkan untuk menciptakan beton yang bisa ditumbuhi lumut dan menyerap CO₂ tanpa perawatan tambahan (Qureshi et al., 2025; Veeger et al., 2025).

Lumut dalam Perencanaan Kota Read More »

Dampak Sosial Pencairan Glester

Kita sering mendengar bahwa es di kutub dan gunung-gunung tinggi sedang mencair akibat perubahan iklim. Tapi, pernahkah anda berpikir bagaimana dampaknya terhadap kehidupan manusia secara langsung? Tidak hanya soal suhu yang makin panas, ternyata hilangnya gletser juga membawa dampak besar pada kehidupan sosial dan budaya banyak komunitas di dunia.

Dua antropolog dari Rice University, Cymene Howe dan Dominic Boyer, mengangkat persoalan ini dalam sebuah komentar ilmiah yang diterbitkan pada 29 Mei 2025 di jurnal ternama Science. Dalam tulisan mereka, Howe dan Boyer mengajak kita untuk tidak hanya melihat pencairan gletser dari sisi ilmiah atau fisik semata, tetapi juga dari sisi kemanusiaan.

Menurut penelitian terbaru yang dimuat dalam jurnal yang sama, jika kita tetap menjalankan kebijakan iklim seperti sekarang, lebih dari 75% es gletser di seluruh dunia bisa lenyap sebelum abad ini berakhir. Ini bukan hanya soal angka yang besar—dampaknya bisa sangat terasa bagi masyarakat yang hidup di sekitar gletser.

Dampak Sosial Pencairan Glester Read More »

Selamatkan Glester Bumi!

Bayangkan jika sebagian besar gletser di dunia — bongkahan es raksasa yang menjadi sumber air bagi jutaan orang — mencair dan hilang selamanya. Ini bukan fiksi ilmiah. Ini kenyataan yang mungkin terjadi jika kita gagal membatasi pemanasan global.

Sebuah studi ilmiah internasional terbaru yang diterbitkan pada 29 Mei 2025 dalam jurnal Science oleh tim dari ETH Zurich dan 10 institusi lainnya menunjukkan bahwa kita bisa menyelamatkan dua kali lebih banyak es gletser jika pemanasan global dibatasi hingga 1,5°C, dibandingkan dengan skenario suhu naik hingga 2,7°C sebagaimana yang diproyeksikan oleh kebijakan iklim saat ini.

Peneliti dari sepuluh negara menggunakan delapan model komputer untuk mensimulasikan masa depan lebih dari 200.000 gletser di luar wilayah kutub Greenland dan Antarktika. Hasilnya sangat mengkhawatirkan: bahkan jika suhu global stabil di tingkat saat ini (sekitar 1,2°C), sekitar 39% massa es gletser tetap akan mencair. Jika pemanasan mencapai 2,7°C, kita akan kehilangan lebih dari setengah es gletser dunia. Namun, jika kita berhasil menjaga pemanasan hingga hanya 1,5°C, maka lebih dari 54% es tersebut masih bisa diselamatkan.

Selamatkan Glester Bumi! Read More »

10 Burung Baru Ditemukan di Pulau-Pulau Kecil Dekat Sulawesi

Pada awal tahun 2020, sebuah penemuan luar biasa dilakukan oleh tim peneliti dari National University of Singapore (NUS) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Mereka menemukan 10 jenis burung baru — terdiri dari 5 spesies dan 5 subspesies — di beberapa pulau kecil di sekitar Sulawesi, Indonesia.

Penemuan ini dianggap sangat istimewa karena burung merupakan hewan yang paling dikenal di dunia, dan sejak tahun 1999, biasanya hanya sekitar 5 atau 6 spesies baru yang ditemukan setiap tahun. Namun dalam satu kali ekspedisi, tim ini berhasil menemukan jumlah yang luar biasa banyak.

Penemuan burung-burung ini dilakukan di wilayah yang disebut Wallacea, yaitu kumpulan pulau-pulau di antara Asia dan Australia. Wilayah ini dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang sangat unik. Nama Wallacea diambil dari Sir Alfred Wallace, seorang penjelajah terkenal yang dahulu mengoleksi spesimen dari kawasan ini.

Tim peneliti melakukan ekspedisi selama enam minggu, dari November 2013 hingga Januari 2014. Mereka menyusuri pulau-pulau Taliabu, Peleng, dan Togian. Pulau-pulau ini sangat terpencil dan belum banyak dieksplorasi oleh peneliti sebelumnya.

10 Burung Baru Ditemukan di Pulau-Pulau Kecil Dekat Sulawesi Read More »

Lautan Semakin Gelap

Selama dua dekade terakhir, para ilmuwan menemukan bahwa lebih dari seperlima lautan dunia — mencakup wilayah seluas lebih dari 75 juta kilometer persegi — telah mengalami fenomena yang disebut “penggelapan laut”. Temuan ini berasal dari penelitian terbaru yang dilakukan oleh University of Plymouth dan Plymouth Marine Laboratory, dan dipublikasikan pada 27 Mei 2025 di situs resmi University of Plymouth.

Penggelapan laut terjadi ketika cahaya dari matahari atau bulan tidak bisa menembus laut sedalam biasanya. Ini disebabkan oleh perubahan sifat optik air laut, seperti meningkatnya kandungan sedimen, bahan organik, atau ganggang mikroskopis. Zona laut yang biasanya mendapat cahaya — dikenal sebagai zona fotik — adalah tempat tinggal bagi 90% kehidupan laut. Jika zona ini menjadi lebih dangkal, banyak makhluk laut yang akan kehilangan habitat dan sumber makanannya.

Dengan menggunakan data satelit NASA dan pemodelan komputer, peneliti menganalisis perubahan kedalaman zona fotik dari tahun 2003 hingga 2022. Hasilnya menunjukkan bahwa 21% lautan global mengalami penurunan pencahayaan. Bahkan, lebih dari 9% wilayah laut — setara dengan luas benua Afrika — mengalami penurunan cahaya lebih dari 50 meter. Sekitar 2,6% dari lautan bahkan mengalami penurunan lebih dari 100 meter.

Lautan Semakin Gelap Read More »

Peta Polusi Dunia: Kota Mana yang Makin Bersih, Mana yang Makin Kotor?

Sebuah studi besar yang dilakukan oleh para peneliti dari George Washington University bersama Washington University di St. Louis dan University of North Carolina di Chapel Hill mengungkap gambaran lengkap tentang polusi udara dan emisi karbon di lebih dari 13.000 kota di seluruh dunia. Hasil penelitian ini menunjukkan kondisi lingkungan perkotaan yang sangat beragam, tergantung pada wilayah dan kebijakan lingkungan di masing-masing kota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa parah polusi udara dan seberapa besar emisi karbon di berbagai kota dunia. Data ini sangat penting untuk membantu pemerintah, ilmuwan, dan aktivis lingkungan dalam mengambil langkah nyata mengurangi polusi dan dampaknya terhadap kesehatan manusia serta perubahan iklim. Penelitian ini mencakup data dari tahun 2005 hingga 2019, menggunakan teknologi pengamatan satelit, pengukuran langsung di darat, serta model komputer untuk menghitung emisi karbon di tingkat kota.

Salah satu temuan penting dalam penelitian ini adalah bahwa lebih dari 50% kota yang diteliti menunjukkan bahwa berbagai jenis polusi—seperti nitrogen dioksida dan karbon dioksida—berasal dari sumber yang sama, yaitu kendaraan bermotor, aktivitas industri, dan pembangkit listrik. Artinya, jika pemerintah dan masyarakat dapat mengendalikan sumber utama ini, maka beberapa jenis polusi bisa dikurangi secara bersamaan. Pendekatan terpadu ini dapat menjadi strategi yang efisien dalam upaya membersihkan udara di kawasan perkotaan.

Peta Polusi Dunia: Kota Mana yang Makin Bersih, Mana yang Makin Kotor? Read More »

Salim Ali: Si “Manusia Burung” dari India

Salim Ali adalah seorang ilmuwan luar biasa yang dikenal sebagai “manusia burung dari India”. Ia adalah orang yang sangat mencintai burung dan menjadi salah satu tokoh paling penting dalam dunia penelitian burung (ornitologi), tidak hanya di India, tapi juga di dunia.

Salim Ali lahir pada 12 November 1896. Ia adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Sayangnya, ayahnya meninggal ketika Salim masih bayi, dan ibunya pun wafat saat ia baru berumur tiga tahun. Ia kemudian dibesarkan oleh bibi dan pamannya di Mumbai.

Sejak kecil, Salim sudah tertarik pada burung. Suatu hari, ketika berumur 10 tahun, ia menembak seekor burung kecil dan penasaran ingin tahu jenisnya. Karena pamannya tidak tahu, mereka pergi ke Bombay Natural History Society. Di sana, Salim bertemu dengan orang yang sangat memahami burung, dan sejak saat itu, minatnya terhadap dunia burung semakin besar.

Salim Ali pernah kuliah, tapi tidak menyelesaikan gelar universitas. Ia sempat tinggal di Burma (sekarang Myanmar) untuk membantu saudaranya, tapi lebih suka mengamati burung di sana. Ia akhirnya kembali ke India dan melanjutkan studi di bidang zoologi (ilmu hewan).

Salim Ali: Si “Manusia Burung” dari India Read More »