Indonesia dikenal sebagai negara dengan salah satu tutupan hutan tropis terbesar di dunia, rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna. Namun kini, keberadaan hutan-hutan tersebut menghadapi ancaman serius. Kuota deforestasi nasional yang ditetapkan untuk mendukung komitmen iklim global ternyata sudah habis, bahkan terlampaui, jauh sebelum tenggat waktu yang direncanakan.
Berdasarkan dokumen resmi Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, luas deforestasi Indonesia hingga 2019 telah mencapai 4,8 juta hektare. Angka ini melampaui target pengurangan deforestasi sebesar 4,22 juta hektare yang seharusnya dicapai hingga tahun 2030. Dengan kata lain, Indonesia telah melewati batas kuota sebesar 577 ribu hektare lebih banyak dari yang diperbolehkan.
Situasi ini menjadi peringatan keras bagi upaya pengendalian perubahan iklim yang selama ini digadang-gadang pemerintah. Sektor kehutanan, yang menjadi pilar utama pengurangan emisi karbon nasional, kini justru berada dalam tekanan berat akibat maraknya pembukaan lahan hutan alam, baik secara legal maupun ilegal.
Para ilmuwan dari ETH Zurich berhasil mengembangkan bahan bangunan revolusioner yang tidak hanya hidup tetapi juga mampu menyerap karbon dioksida (CO₂) dari udara. Bahan ini berupa gel cetak yang mengandung bakteri kuno bernama sianobakteri. Dengan bantuan sinar matahari, bakteri ini melakukan fotosintesis untuk menghasilkan biomassa sekaligus memicu pembentukan mineral yang mengurung karbon dalam bentuk stabil. Bahan ini dirancang dengan hidrogel yang mendukung kehidupan mikroba di dalamnya dan mampu bertahan lebih dari setahun. Menariknya lagi, bahan inovatif ini sudah digunakan dalam instalasi arsitektur di Venesia dan Milan, yang menggabungkan desain, keberlanjutan, dan ilmu pengetahuan hidup dalam satu wujud nyata.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Mark Tibbitt dari ETH Zurich memadukan berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan bahan bangunan hidup ini. Mereka berhasil memasukkan sianobakteri ke dalam gel yang bisa dicetak menggunakan printer 3D. Hasilnya adalah bahan yang hidup, tumbuh, dan aktif menyerap CO₂ dari udara. Bahan ini hanya membutuhkan sinar matahari, air laut buatan, dan nutrisi sederhana agar bisa terus berkembang. Bahkan, bahan ini mampu menyerap CO₂ dalam jumlah dua kali lipat dibandingkan dengan yang dihasilkan dari pertumbuhan organiknya, karena karbon juga dikurung dalam bentuk mineral.
Beberapa gunung api bisa meletus secara tiba-tiba tanpa memberikan tanda-tanda yang jelas sebelumnya. Fenomena ini tentu sangat berbahaya, apalagi jika gunung tersebut berada dekat dengan pemukiman atau jalur penerbangan. Salah satu contohnya adalah Gunung Veniaminof di Alaska. Meskipun sudah dipantau ketat, gunung ini tetap bisa meletus tanpa diduga. Baru-baru ini, para ilmuwan dari University of Illinois mengembangkan sebuah model ilmiah untuk memahami bagaimana letusan yang diam-diam ini bisa terjadi, dan hasilnya membuka banyak wawasan baru.
Biasanya, tanda-tanda gunung akan meletus bisa dikenali dari gempa bumi kecil atau perubahan permukaan tanah akibat magma dan gas yang naik ke atas. Tapi pada kasus seperti Veniaminof, tanda-tanda ini sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Peneliti utama, Dr. Yuyu Li, menjelaskan bahwa faktor-faktor seperti aliran magma yang lambat, ruang magma yang kecil, serta batuan di sekitar ruang magma yang hangat, bisa membuat letusan tampak “sembunyi”. Mereka menyebut fenomena ini sebagai stealth eruption atau letusan diam-diam.
Teripang selama ini dikenal sebagai “petugas kebersihan” laut karena perannya dalam membersihkan dasar laut dan mengembalikan nutrisi ke dalam ekosistem laut. Namun, siapa sangka bahwa hewan laut yang tampak sederhana ini ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia pengobatan kanker? Sebuah penelitian terbaru yang dipimpin oleh Universitas Mississippi menemukan bahwa teripang mengandung senyawa gula unik yang mampu menghambat enzim Sulf-2 — enzim yang diketahui membantu penyebaran sel kanker dalam tubuh manusia.
Enzim Sulf-2 ini bekerja dengan memodifikasi struktur glikan, yakni rambut-rambut halus yang menyelimuti permukaan sel dan berperan penting dalam komunikasi antar sel serta sistem imun. Pada sel kanker, enzim ini membuat perubahan pada glikan sehingga kanker bisa berkembang dan menyebar. Para peneliti menemukan bahwa senyawa gula bernama fucosylated chondroitin sulfate yang berasal dari spesies teripang Holothuria floridana bisa secara efektif menghambat enzim tersebut, yang berarti berpotensi memperlambat atau bahkan menghentikan penyebaran kanker.
Selama ini, para ilmuwan telah lama mempelajari arus laut besar yang terlihat jelas, tetapi arus kecil di bawahnya — yang disebut pusaran submesoskal — sering kali luput dari pengamatan. Ukurannya yang hanya beberapa kilometer hingga sekitar 100 kilometer membuatnya sulit dideteksi. Namun kini, dengan bantuan satelit terbaru bernama SWOT (Surface Water and Ocean Topography), misteri arus-arus laut kecil ini mulai terungkap. Data dari satelit ini menunjukkan bahwa arus kecil tersebut jauh lebih kuat dari yang pernah dibayangkan sebelumnya.
Pusaran laut atau eddy bisa dibayangkan seperti pusaran air kecil di belakang batu di sungai, hanya saja ukurannya jauh lebih besar dan kompleks. Di laut, pusaran ini dapat membawa panas, energi, dan nutrisi ke seluruh dunia — peran penting yang berpengaruh besar terhadap iklim, cuaca, dan kehidupan laut. Namun, perhatian selama ini lebih banyak tertuju pada pusaran besar, sedangkan pusaran kecil justru merupakan “potongan puzzle” yang hilang dalam pemahaman sistem laut dunia.
Di kedalaman laut tropis, terdapat pemandangan unik yang menyerupai salon kecantikan bawah air. Di sana, ikan-ikan besar seperti antrean pelanggan menunggu giliran untuk dibersihkan oleh ikan-ikan kecil yang dikenal sebagai ikan pembersih. Salah satu yang paling terkenal adalah ikan gobi pembersih, ikan mungil seukuran jari kelingking dengan garis mencolok di tubuhnya. Mereka tidak hanya membersihkan sisik ikan lain dari parasit dan bakteri, tapi juga memberikan sentuhan menenangkan layaknya pijatan kecil. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa peran mereka mungkin jauh lebih besar: mereka bisa menjadi insinyur mikrobioma laut.
Penelitian yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari University of California, Davis, bekerja sama dengan Woods Hole Oceanographic Institute dan University of Miami Rosenstiel School, menggali lebih dalam tentang dampak keberadaan ikan pembersih terhadap keanekaragaman mikroba di ekosistem terumbu karang. Hasil studi ini diterbitkan dalam jurnal Marine Ecology Progress Series pada Juni 2025. Para peneliti bertanya-tanya, apakah stasiun pembersih ini seperti klinik kesehatan yang bisa menyebarkan penyakit, atau justru pusat penyebaran mikroba yang menguntungkan?
Sebuah desa kecil bernama Acciaroli di wilayah Cilento-Salerno, Italia selatan, telah menjadi perhatian dunia ilmiah karena jumlah penduduknya yang luar biasa banyak yang berusia lebih dari 100 tahun dan tetap sehat secara fisik maupun mental. Studi selama satu dekade yang dinamai Cilento Initiative on Aging Outcomes (CIAO) telah mengungkap sejumlah faktor yang diyakini berperan besar dalam umur panjang para centenarian—sebutan bagi mereka yang berusia lebih dari seabad—yang tinggal di wilayah ini. Penelitian ini dimulai sejak tahun 2015 dan disimpulkan dalam sebuah simposium ilmiah yang berlangsung pada 22-23 Mei 2025. Dalam simposium tersebut, para ilmuwan dari seluruh dunia berkumpul untuk membedah hasil studi ini yang luar biasa.
Hasil studi menunjukkan bahwa pola makan dan gaya hidup merupakan dua faktor utama yang paling konsisten dikaitkan dengan umur panjang. Hampir 90% centenarian di wilayah ini menjalani pola makan Mediterania, yaitu makanan yang kaya akan buah dan sayuran segar, biji-bijian utuh, kacang-kacangan, minyak zaitun, serta konsumsi daging merah dalam jumlah sangat terbatas. Menurut Dr. Salvatore di Somma, peneliti utama dari Italia dalam studi ini dan pendiri Great Health Science, diet Mediterania bukan sekadar menu makanan, tetapi merupakan cara hidup yang memberikan dampak kesehatan yang nyata dalam jangka pendek maupun panjang. Dalam salah satu percobaan, hanya dalam enam hari setelah mengganti pola makan Eropa Utara dengan diet Mediterania, peserta studi mengalami peningkatan senyawa metabolit yang terkait dengan penurunan risiko diabetes tipe 2 dan penyakit jantung, serta penurunan biomarker yang berkaitan dengan konsumsi daging merah.
Selain pola makan, gaya hidup para centenarian ini juga menunjukkan konsistensi luar biasa. Mereka secara rutin aktif secara fisik dan memiliki hubungan sosial yang erat dengan keluarga dan komunitas. Dr. Paola Antonini, kepala medis dan ilmiah di Great Health Science, menjelaskan bahwa banyak dari mereka tetap memiliki fungsi kognitif yang tajam, stabil secara emosional, serta memiliki daya tahan terhadap penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer dan Parkinson. Mereka juga cenderung memiliki tingkat optimisme yang tinggi, kepribadian yang stabil, serta tujuan hidup yang jelas.
Penelitian CIAO juga menggali aspek biologis dengan teknologi canggih seperti epigenomik, metabolomik, dan analisis multi-omics. Salah satu temuan penting adalah bahwa sistem kekebalan tubuh para centenarian menunjukkan respons yang terkoordinasi dengan baik terhadap ancaman kesehatan. Peneliti dari UC San Diego, Dr. Allen Wang, menekankan pentingnya membaca tanda-tanda epigenetik untuk memahami bagaimana faktor lingkungan sepanjang hidup, termasuk diet dan gaya hidup, membentuk kesehatan di usia tua. Dalam analisis awal, ditemukan bahwa sel-sel imun seperti T-cell dan makrofag dari para centenarian memiliki regulasi sitokin yang efisien dan komunikasi yang aktif antar sel, sesuatu yang penting dalam mencegah peradangan kronis.
Studi ini juga menunjukkan bahwa secara biologis, para centenarian ini lebih muda dari usia kronologis mereka. Dengan menganalisis lebih dari 32.000 metabolit dari darah 128 centenarian dan 50 orang kontrol, para ilmuwan menemukan bahwa secara rata-rata, usia biologis para centenarian delapan tahun lebih muda dari usia mereka yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan kemampuan tubuh mereka dalam menjaga kesehatan sel dan organ lebih baik dibandingkan kebanyakan orang lain seusia mereka. Meski demikian, penelitian juga mencatat bahwa para centenarian ini memiliki kadar penanda peradangan yang tinggi, yang biasanya merupakan faktor risiko penyakit. Namun, tampaknya tubuh mereka juga menghasilkan zat anti-peradangan dalam jumlah tinggi yang menetralkan dampak negatif dari peradangan tersebut.
Aspek penting lainnya adalah sirkulasi darah mikro yang tetap baik pada usia tua. Para centenarian dari Cilento menunjukkan sirkulasi darah yang efisien, setara dengan orang yang usianya 30 tahun lebih muda. Kadar hormon bio-ADM (adrenomedulin) dalam darah mereka juga rendah, suatu indikator kesehatan pembuluh darah yang baik. Penelitian lanjutan bahkan mengindikasikan bahwa enzim PAM (dipeptidyl alpha amidating monooxygenase) bisa digunakan untuk meningkatkan kadar bio-ADM dan memperbaiki fungsi pembuluh darah, termasuk pada otak.
Efek positif dari pola hidup ini juga mulai diuji di tempat lain. Di Australia, seorang dokter bernama Robert Hetzel melakukan studi kecil terhadap 23 pasien berusia 55–79 tahun. Mereka diminta mengikuti lima kebiasaan sehat selama tiga tahun, yaitu mengadopsi diet Mediterania, olahraga setiap hari, tidur cukup, aktivitas kreatif yang menstimulasi otak, dan memperkuat hubungan sosial. Hasilnya memang belum konklusif karena jumlah peserta yang kecil, tetapi banyak dari mereka melaporkan penurunan berat badan, peningkatan kesehatan, dan suasana hati yang lebih baik.
Penelitian CIAO yang dipublikasikan oleh Sanford Burnham Prebys pada tanggal 11 Juni 2025 ini merupakan langkah besar dalam memahami rahasia umur panjang. Para peneliti kini berupaya menyatukan seluruh data biologis dan sosial yang telah dikumpulkan dengan bantuan kecerdasan buatan untuk menemukan formula baru dalam memperpanjang usia sehat manusia. Jika rahasia umur panjang benar-benar tersembunyi di darah, otak, dan minyak zaitun masyarakat Acciaroli, maka dunia punya banyak hal untuk dipelajari dari desa kecil ini.[]
Jika anda berkunjung ke Marina Togo Mowondu dalam beberapa bulan terakhir, anda tentu akan melihat sebuah bangunan baru yang mencuri perhatian di tepian laut. Dengan desain modern yang berpadu dengan unsur-unsur lokal, bangunan itu kini berdiri sebagai ikon baru Kabupaten Wakatobi: Maritime Center Wakatobi. Tentu, bangunan ini bukan sekadar hiasan arsitektural. Ia seyogyanya hendak mencerminkan simbol arah pembangunan kelautan Wakatobi.
Bangunan tersebut merupakan bagian dari skema proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Dan sebagai proyek nasional, tentu desain pemanfaatan bangunan ini telah dirancang secara matang sebelum fisiknya dibangun. Ini bukan sekadar gedung kosong atau papan nama tanpa makna—melainkan pusat kegiatan maritim yang tentunya diharapkan menjadi salah satu penggerak ekonomi laut berbasis konservasi atau kepariwisataan.
Lebih dari itu, bangunan ini relevan dengan komitmen Kabupaten Wakatobi dalam mewujudkan visi RPJPD 2025–2045: “Wakatobi menjadi pusat ekonomi maritim yang Sentosa.” Dalam konteks ini, “Sentosa” mencakup kesejahteraan, kelestarian, keamanan, dan harmoni antara masyarakat dengan lautnya. Visi tersebut tidak sekadar menjadi slogan, tetapi menjadi arah pembangunan yang sedang diikhtiarkan secara bertahap dan sistematis, berlandaskan pada potensi nyata yang dimiliki Wakatobi sebagai daerah kepulauan dengan keunggulan ekologisnya.
Peneliti dari Universitas Reading dan Umeå University telah menemukan sebuah pola global yang mengejutkan: di mana pun di Bumi ini, kehidupan mengikuti aturan yang sama. Terlepas dari apakah makhluk hidup itu berupa pohon, capung, burung, atau ikan pari laut, semuanya cenderung berkelompok dalam wilayah kecil yang disebut “titik panas keanekaragaman hayati”, lalu menyebar secara perlahan ke wilayah sekitarnya—namun semakin jauh, semakin sedikit spesies yang bisa bertahan.
Temuan ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati dunia sebenarnya tidak tersebar secara acak, melainkan sangat terorganisir mengikuti pola tertentu. Wilayah-wilayah inti ini—yang menjadi tempat konsentrasi kehidupan tertinggi—memberikan kondisi lingkungan paling ideal bagi spesies untuk berkembang dan bertahan. Dari sinilah kehidupan menyebar, meskipun tidak semua spesies mampu bertahan di luar zona inti tersebut.
Peneliti utama Rubén Bernardo-Madrid dari Umeå University menyatakan bahwa pola ini berlaku di setiap wilayah geografis besar (bioregion) di dunia. Menurutnya, inti wilayah keanekaragaman hayati ini menjadi sumber utama penyebaran spesies, semacam “jantung kehidupan” yang memancarkan keberagaman ke seluruh penjuru wilayah.
Salah satu kesalahan terbesar dalam perumusan kebijakan iklim adalah terlalu fokus pada teknologi dan ekonomi, sementara suara masyarakat justru sering diabaikan. Akibatnya, banyak kebijakan ambisius yang gagal mendapat dukungan publik, dan ini bisa menjadi hambatan serius dalam upaya menghadapi krisis iklim.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Vincent de Gooyert dan timnya dari Radboud University Nijmegen mengungkap bahwa kebijakan iklim di Eropa saat ini lebih menekankan pada solusi teknis seperti teknologi penangkap dan penyimpan karbon (CCS), tanpa mempertimbangkan bahwa masyarakat juga perlu merasa dilibatkan dan dipercaya. Padahal, CCS adalah teknologi penting untuk mencapai target iklim, tetapi perkembangannya terhambat karena tidak ada pihak yang benar-benar mau mengambil langkah pertama. Industri meminta subsidi, pemerintah menunggu dukungan publik, dan masyarakat justru ingin industri menunjukkan komitmen lebih dulu. Alhasil, semua pihak saling menunggu dan kebijakan tidak bergerak.