Dunia tengah berpacu dengan waktu untuk mencegah krisis iklim yang lebih parah. Berdasarkan laporan studi internasional yang dipublikasikan pada 27 Juni 2025 oleh para peneliti dari University of Leeds dalam jurnal Earth System Science Data, umat manusia hanya memiliki waktu sekitar tiga tahun sebelum anggaran karbon global untuk membatasi pemanasan bumi hingga 1,5°C habis terpakai. Laporan ini menyajikan gambaran yang sangat mengkhawatirkan: perubahan iklim semakin cepat, permukaan laut naik lebih cepat dari sebelumnya, dan bumi menyerap panas dalam jumlah luar biasa yang memicu bencana cuaca ekstrem dan pemanasan laut.
Studi ini menyebutkan bahwa pada awal tahun 2025, sisa anggaran karbon global hanya tinggal sekitar 130 miliar ton karbon dioksida (CO₂). Dengan laju emisi seperti sekarang, jumlah ini bisa habis dalam waktu lebih dari tiga tahun. Bahkan, ambang batas pemanasan 1,6°C hingga 1,7°C diperkirakan akan terlampaui dalam sembilan tahun ke depan jika tidak ada perubahan drastis dalam kebijakan dan tindakan iklim global.
Selama beberapa dekade terakhir, dunia telah berupaya mengurangi emisi polutan, namun kualitas udara belum membaik secepat yang diharapkan. Sebuah studi baru yang dipimpin oleh tim peneliti dari Universitas Hokkaido, Jepang, mengungkap alasan mengapa kadar nitrat di atmosfer tetap tinggi, meski emisi penyebabnya sudah berkurang sejak tahun 1990-an. Temuan ini telah diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada 3 Juni 2025, dan memberikan wawasan penting tentang dinamika kimia di udara serta dampaknya terhadap perubahan iklim.
Dalam penelitian ini, para ilmuwan menyoroti bahwa nitrat, salah satu polutan utama di atmosfer, masih banyak ditemukan meski emisi prekursor nitrat—zat yang membentuk nitrat—telah berkurang secara signifikan. Nitrat sendiri bisa berbentuk gas maupun partikel. Nitrat dalam bentuk gas lebih mudah menghilang dari udara, tetapi dalam bentuk partikel, terutama partikel halus, zat ini bisa bertahan lebih lama dan menyebar jauh dari sumbernya. Inilah yang menyebabkan nitrat tetap berada di atmosfer dalam jangka panjang.
Fenomena meningkatnya perceraian di Indonesia telah menimbulkan dinamika sosial baru yang menyentuh banyak aspek kehidupan, mulai dari relasi suami istri, struktur rumah tangga, hingga peran perempuan dalam masyarakat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Mahkamah Agung (MA) tahun 2024, terdapat 1.478.302 pernikahan dan 394.608 perceraian. Ini berarti sekitar 26,7% pernikahan berakhir dengan perceraian—atau kira-kira 1 dari 4 pasangan. Namun di beberapa provinsi seperti Jawa Barat dan Kalimantan Utara, angka perceraian bahkan mendekati atau melampaui 30%.
Lebih dari sekadar statistik, fenomena ini mencerminkan perubahan signifikan dalam peran sosial perempuan. Cerai gugat—yakni perceraian yang diajukan oleh istri—mencapai 78,3% dari total perceraian tahun 2024. Hal ini menunjukkan meningkatnya kesadaran perempuan terhadap hak-haknya sebagai manusia yang berhak atas kehidupan yang bermartabat dan aman. Dalam pandangan Islam, ini bukanlah bentuk pembangkangan, tetapi bagian dari upaya mewujudkan keadilan sebagaimana yang diajarkan oleh syariat.
Islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah ikatan sakral yang harus dibangun di atas fondasi kasih sayang, ketenangan, dan rahmat. Namun, ketika ikatan ini justru menjadi sumber penderitaan, maka Islam memberikan solusi berupa perceraian sebagai jalan keluar. Cerai bukanlah tujuan, tetapi merupakan pintu darurat yang dibuka oleh syariat ketika pernikahan tidak lagi menghadirkan kemaslahatan. Dalam sejarah Islam, perempuan juga memiliki hak untuk mengajukan cerai (khuluk) jika merasa terzalimi, baik secara fisik, ekonomi, maupun emosional.
Perempuan-perempuan yang menggugat cerai umumnya mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ditelantarkan, atau dikhianati. Dalam Islam, laki-laki wajib menafkahi istri, memperlakukan mereka dengan baik, dan menjadi pemimpin rumah tangga yang adil. Ketika peran ini dilalaikan, perempuan tidak hanya boleh, tetapi dianjurkan untuk menuntut keadilan. Dalam hadis sahih, Rasulullah ﷺ pernah mengabulkan cerai seorang perempuan hanya karena dia tidak sanggup mencintai suaminya, meskipun tidak ada kekerasan—ini menunjukkan bahwa Islam memuliakan perasaan dan martabat perempuan.
Salah satu riwayat paling terkenal adalah kisah Habibah binti Sahl (dalam beberapa riwayat disebut juga Jamilah binti Ubayy) yang datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata:
“Wahai Rasulullah, aku tidak mencela agama dan akhlak suamiku, tetapi aku tidak menyukainya. Aku khawatir jika tetap bersamanya, aku akan berlaku kufur terhadapnya (tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai istri).”
Rasulullah ﷺ kemudian memerintahkan agar ia mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya, dan beliau mengabulkan permintaannya untuk bercerai. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, Kitab Ath-Thalaq, no. 5273.
Namun perceraian membawa konsekuensi besar, khususnya bagi perempuan. Data BKKBN dan BPS tahun 2024 mencatat lebih dari 11,5 juta keluarga dengan kepala keluarga perempuan, banyak di antaranya adalah janda. Tak hanya itu, data dari GoodStats menunjukkan bahwa 31,18% perempuan pencari nafkah utama di Indonesia—atau dikenal dengan istilah female breadwinners—adalah janda. Artinya, mereka tidak hanya menjalani peran sebagai ibu dan pendidik anak, tetapi juga penopang ekonomi keluarga.
Sayangnya, dalam ideologi kapitalisme-sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik, masalah ini dianggap sebagai urusan pribadi. Negara hanya hadir secara administratif—mengurus akta cerai atau bantuan terbatas—tanpa menyentuh akar persoalan. Padahal dalam Islam, problematika rumah tangga dan peran perempuan pasca-cerai bukan sekadar tanggung jawab individu, melainkan tanggung jawab negara.
Negara dalam Islam (Khilafah) memiliki peran penting sebagai pengurus urusan rakyat (raa’in). Negara wajib menyediakan pendidikan pranikah, bimbingan keluarga, pengadilan syar’i yang adil, sistem ekonomi yang memungkinkan perempuan hidup layak, serta sistem sosial yang memuliakan perempuan baik sebagai istri, janda, maupun ibu. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (pemimpin negara) adalah penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” Maka tanggung jawab negara terhadap perempuan tidak berhenti pada pemberian bantuan, tetapi mencakup penciptaan sistem yang mencegah munculnya ketidakadilan sejak awal.
Dalam Islam, perempuan kepala keluarga bukanlah aib atau kegagalan. Justru mereka adalah mujahidah—pejuang—yang menjalani takdir dengan ikhlas dan bertanggung jawab. Sejarah mencatat sosok Khadijah, istri Rasulullah ﷺ yang merupakan janda dan kepala keluarga sebelum menikah, namun tetap dihormati dan dicintai Nabi. Islam tidak memandang status, tetapi ketakwaan dan kontribusi.
Stigma sosial terhadap janda dalam masyarakat Indonesia masih tinggi. Budaya malu (shame culture) membuat banyak perempuan menutupi penderitaannya demi menjaga nama baik keluarga. Akibatnya, kekerasan rumah tangga dan konflik berkepanjangan terus berlangsung dalam senyap. Padahal dalam Islam, menyembunyikan kezaliman bukanlah kemuliaan, dan menuntut keadilan adalah ibadah.
Media saat ini mulai membuka ruang bagi narasi perempuan pasca-cerai. Kisah-kisah janda mandiri mulai muncul sebagai inspirasi. Mereka tidak hanya bertahan hidup, tetapi bangkit, bekerja, menyekolahkan anak-anaknya, dan berkontribusi bagi masyarakat. Inilah potret nyata dari konsep tawakkal dan qana’ah yang diajarkan Islam—berserah diri kepada Allah sambil tetap berikhtiar dengan maksimal.
Namun negara tetap harus hadir. Tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan individu. Sistem hukum Islam memberi teladan bagaimana negara harus memfasilitasi penyelesaian konflik keluarga secara syar’i dan manusiawi. Pengadilan agama harus menjadi tempat yang ramah perempuan, bukan justru tempat yang menyulitkan atau memojokkan mereka. Hak perempuan pasca-cerai seperti nafkah iddah, mut’ah, dan hak asuh anak harus ditegakkan dengan serius oleh negara, sebagaimana dicontohkan oleh para khalifah dalam sejarah Islam (Sanusi et al., 2023).
Pendidikan pranikah juga harus diperkuat. Dalam Islam, menikah bukan hanya persoalan cinta, tetapi juga tanggung jawab, kepemimpinan, dan ibadah. Oleh karena itu, negara wajib menyelenggarakan pendidikan pernikahan yang terintegrasi dengan pemahaman agama, psikologi, dan komunikasi. Ini bagian dari pencegahan perceraian sejak hulu, sebagaimana dianjurkan dalam maqashid syariah untuk menjaga keturunan (hifzh al-nasab) (Sururie et al., 2023).
Fenomena meningkatnya cerai gugat dan janda kepala keluarga bukan sekadar tragedi rumah tangga, tetapi sinyal bagi negara dan masyarakat untuk bertobat dari kelalaian sistemik. Islam telah memberikan solusi komprehensif—mulai dari peran individu, keluarga, hingga negara. Maka negara tidak boleh tinggal diam. Saat negara hadir secara utuh dan syariat dijalankan secara kafah, perempuan tidak perlu memilih antara bertahan dalam ketidakadilan atau berjuang sendiri. Mereka akan hidup dalam lindungan sistem yang adil, mulia, dan berpihak pada yang lemah.[]
Referensi:
Rinaldo, R., Nisa, E. F., & Nurmila, N. (2023). Divorce Narratives and Class Inequalities in Indonesia. Journal of Family Issues.
Wardatun, A., & Smith, B. J. (2020). Woman-Initiated Divorce and Feminist Fiqh in Indonesia: Narrating Male Acts of Nushūz in Marriage. Ulumuna.
Ramadhita, R., Mahrus, A., & Syabbul, B. (2023). Gender Inequality and Judicial Discretion in Muslims Divorce of Indonesia. Cogent Social Sciences, 9.
Saraswati, R. (2020). Shame and Indonesian Women Victims of Domestic Violence in Making the Decision to Divorce. Identities, 27(5), 557–573.
Sanusi, S., Iman, R. Q., Baihaki, R., & Farhan, I. (2023). Judges’ Ijtihad on Women’s Rights after Divorce and its Contribution to Family Law Reform in Indonesia. SMART: Journal of Sharia, Tradition, and Modernity.
Sururie, R., Athoillah, M., & Ulhaq, M. Z. (2023). Strategies to Prevent Increasing Divorce Rates for Muslim Families in Indonesia. Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam.
GoodStats. (2024). Suami atau Istri, Siapa Lebih Banyak Ajukan Perceraian?.
GoodStats. (2024). 14% Perempuan Indonesia Jadi Pencari Nafkah Utama Keluarga.
Pada tahun 638 Masehi, dunia Islam tengah berkembang pesat di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Namun di balik kemajuan itu, muncul satu masalah penting yang cukup mengganggu roda pemerintahan: tidak adanya sistem penanggalan resmi. Surat-surat resmi negara, catatan keuangan, dan penjadwalan berbagai urusan administratif kerap kali membingungkan karena tidak ada patokan waktu yang pasti. Peristiwa-peristiwa penting dicatat tanpa tanggal yang seragam. Bahkan, surat dari Abu Musa Al-Asy’ari—gubernur Basrah—yang diterima Umar menjadi salah satu pemicu keresahan itu. Isi surat tersebut meminta kejelasan waktu dalam dokumen-dokumen resmi karena ia mengalami kesulitan menentukan tanggal-tanggal tertentu.
Menanggapi hal itu, Umar bin Khattab menyadari bahwa sebuah negara besar, apalagi yang berbasis pada agama dan hukum seperti Islam, tak bisa berjalan tanpa sistem kalender yang jelas. Kalender bukan hanya tentang menghitung hari, tapi juga tentang menjaga keteraturan, mengenang sejarah, dan membangun identitas bersama. Umar mengumpulkan para sahabat senior dan mengadakan musyawarah besar guna menentukan sistem penanggalan resmi untuk umat Islam.
Di balik kisah epik Nabi Yusuf AS dalam Al-Qur’an, tersimpan pelajaran luar biasa tentang manajemen pangan yang visioner. Saat Mesir dihadapkan pada ancaman tujuh tahun masa subur diikuti tujuh tahun paceklik, Nabi Yusuf AS bukan hanya menafsirkan mimpi sang raja, tetapi juga memberikan strategi konkret yang cerdas dan berkelanjutan.
Nabi Yusuf AS menyarankan masyarakat untuk tetap bercocok tanam selama masa subur dan menyimpan hasil panen di dalam bulirnya. Hanya sedikit hasil panen yang diambil untuk konsumsi sehari-hari. Langkah ini mencerminkan gabungan pengetahuan praktis dan hikmah yang sangat mendalam.
Penyimpanan biji-bijian dalam bulir menjadi teknik pengawetan alami yang efektif. Bulir berfungsi sebagai pelindung alami dari kelembapan, jamur, dan hama. Teknik sederhana ini menunjukkan keunggulan kearifan lokal yang sering kali melampaui teknologi modern berbasis bahan kimia.
Strategi Nabi Yusuf AS juga menegaskan pentingnya keadilan distribusi dan disiplin sosial. Rakyat didorong untuk mengendalikan konsumsi agar persediaan pangan tetap cukup selama masa krisis. Konsep ini selaras dengan prinsip keadilan pangan yang kini banyak dikaji dalam studi kontemporer.
Di balik kemajuan ekonomi dan teknologi yang terus dikejar, Indonesia seperti banyak negara lain menghadapi krisis sosial yang lebih tersembunyi: hilangnya peran ayah dalam keluarga dan masyarakat. Fenomena ini dikenal dengan istilah fatherless country, yakni kondisi di mana banyak anak tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan figur ayah, baik secara fisik maupun emosional. Ini bukan sekadar problem keluarga, tetapi krisis yang merembet pada tatanan sosial dan masa depan bangsa.
Menurut psikolog Edward Elmer Smith, fatherless country adalah kondisi ketika masyarakat secara kolektif kehilangan peran dan kehadiran ayah dalam pengasuhan anak-anaknya. Penyebabnya beragam: perceraian, budaya patriarki yang menempatkan ayah sebagai pencari nafkah semata, tekanan ekonomi, migrasi kerja, hingga sistem sosial yang belum mendukung peran aktif ayah dalam keluarga. Dampaknya tak hanya dirasakan anak, tetapi juga pada kohesi sosial masyarakat luas.
Amerika Serikat menjadi salah satu contoh negara dengan tingkat fatherlessness yang tinggi. Berdasarkan data U.S. Census Bureau, jutaan anak di AS hidup tanpa ayah di rumah. Faktor utama adalah angka perceraian yang tinggi, kehamilan remaja tanpa pernikahan, serta sistem sosial yang kurang mendukung keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Hasilnya, generasi muda seringkali kehilangan panduan moral dan emosional dari sosok ayah.
Dalam dunia internasional, istilah benefactorship mengacu pada posisi negara-negara maju yang kerap tampil sebagai pihak pemberi manfaat. Negara-negara ini—seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia, dan Kanada—memberikan bantuan dana, teknis, dan program pembangunan kepada negara lain. Bantuan itu disalurkan lewat lembaga seperti USAID, AUSAID, JICA, CIDA, UNDP, dan Bank Dunia. Pada permukaan, semua ini tampak sebagai upaya tulus untuk membantu negara berkembang agar bisa lebih maju dan sejahtera.
Namun, di balik wajah ramah benefactorship, tersimpan kepentingan dan strategi yang jauh lebih dalam. Negara-negara penerima manfaat, yang sebagian besar adalah negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, seringkali menjadi sasaran berbagai program bantuan yang menyasar sektor pembangunan ekonomi dan sosial. Sayangnya, program ini tidak selalu murni untuk kebaikan, melainkan juga menjadi alat untuk mempertahankan pengaruh negara donor.
Sejarahnya, dominasi Barat pada awalnya dijalankan lewat penjajahan langsung. Setelah gelombang dekolonialisasi, strategi ini berubah menjadi neo-imperialisme. Negara-negara seperti Amerika Serikat mulai mengandalkan utang dan bantuan sebagai cara baru untuk mengendalikan negara-negara bekas jajahan. Mereka menawarkan kemerdekaan formal kepada bangsa-bangsa tersebut, tetapi mengikatnya melalui skema utang dan program pembangunan yang diarahkan sesuai kepentingan Barat.
Sejarah sering kali dianggap sebagai catatan masa lalu yang penuh dengan peristiwa dan tokoh-tokoh besar. Namun, tahukah kita bahwa kata sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu syajarah, yang berarti pohon? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejarah diartikan sebagai silsilah, peristiwa masa lampau, atau ilmu yang mempelajari kejadian masa lalu. Artinya, sejarah tidak hanya bercerita tentang peristiwa, tetapi juga tentang hubungan dan asal-usul yang membentuk masa kini.
Herodotus, seorang tokoh Yunani yang dikenal sebagai bapak sejarah, memandang sejarah sebagai kisah naik-turunnya peradaban. Sementara Francis Bacon menekankan bahwa sejarah terkait erat dengan waktu dan tempat. Vico menambahkan bahwa sejarah adalah ilmu pertama yang diciptakan manusia, karena hanya manusia yang mampu memahami ciptaannya sendiri. Di Indonesia, pemikiran Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo juga memberi warna tersendiri dalam memahami sejarah sebagai ilmu yang memaparkan budaya dan fakta unik kehidupan manusia.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, berbagai tindak pidana dan kriminal ditangani dengan sangat bijaksana dan penuh pertimbangan. Salah satu kasus yang terkenal adalah pemalsuan stempel negara oleh Ma’an bin Zaidah. Dengan kepandaiannya, ia berhasil memalsukan stempel dan memperoleh harta dari Baitul Mal. Umar menghukumnya dengan seratus kali cambukan, memenjarakannya, lalu mengasingkannya agar tidak mengulangi perbuatannya.
Kasus lainnya terjadi di Kufah, di mana seseorang mencuri harta Baitul Mal. Umar tidak memotong tangannya, karena menurutnya semua orang memiliki hak atas harta itu. Ia hanya menjatuhkan hukuman ta’zir berupa cambukan. Umar sangat mempertimbangkan keadilan dalam setiap putusan hukuman.
Saat paceklik melanda, beberapa pemuda mencuri unta untuk dimakan. Meski mereka bersalah, Umar tidak menjatuhkan hukum potong tangan karena kondisi darurat. Mereka hanya diwajibkan membayar ganti rugi dua kali lipat harga unta. Hal ini menunjukkan kebesaran jiwa Umar dalam memahami situasi masyarakat.
Umar juga terkenal cermat dalam memilih pegawai. Ia melarang penduduk desa menjadi pemimpin di kota, agar pemimpin dapat memahami karakter masyarakatnya. Beliau selalu mengutamakan keadilan dan kecocokan dalam penempatan pejabat.
Kasih sayang Umar kepada rakyatnya sangat besar. Ia menolak mengangkat pegawai yang keras hati, bahkan memecat komandan perang yang menyebabkan prajuritnya mati karena dipaksa menyeberangi sungai di cuaca dingin. Umar mengingatkan bahwa kasih sayang dan kebijaksanaan adalah sifat yang paling dicintai Allah.
Umar juga menolak mengangkat kerabatnya menjadi pegawai, meskipun mereka cakap dan beriman. Baginya, jabatan adalah amanah, bukan warisan keluarga. Ia juga melarang orang yang meminta jabatan untuk mendudukinya, sebab jabatan bukan sesuatu yang diminta, melainkan amanah yang harus diemban dengan ikhlas.
Para pegawai juga dilarang berdagang agar tidak mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan tugas negara. Umar memeriksa kekayaan pegawai sebelum dan sesudah menjabat untuk mencegah korupsi. Ia menegaskan bahwa pegawai diangkat untuk melayani umat, bukan mencari keuntungan.
Sebelum mengangkat pejabat, Umar mengharuskan mereka bersumpah untuk hidup sederhana, tidak menunggang kuda pemerintah, tidak makan enak, dan selalu membuka pintu untuk rakyat. Umar ingin para pemimpin menjadi teladan dalam kesederhanaan dan tanggung jawab.
Setiap pengangkatan gubernur didahului musyawarah. Umar selalu meminta pendapat sahabat-sahabatnya, agar keputusannya tepat. Ia menguji calon pegawai dalam waktu yang lama, untuk memastikan kejujuran dan keteguhan hati mereka.
Dalam memilih gubernur, Umar sering menunjuk orang dari kalangan mereka sendiri, agar lebih mudah memahami masyarakat yang dipimpin. Keputusan ini menunjukkan kecerdasan Umar dalam membina persatuan.
Umar juga selalu memberikan surat pengangkatan resmi kepada setiap gubernur, disaksikan oleh para sahabat. Surat itu berisi sumpah jabatan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bahkan orang non-Muslim tidak diizinkan menjadi pejabat dalam urusan kaum Muslimin, sebagai bentuk penjagaan terhadap agama dan umat.
Setiap pegawai mendapatkan gaji yang layak, agar tidak tergoda berbuat curang. Umar menegaskan bahwa gaji ini bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk mencukupi kebutuhan agar pegawai fokus pada tugasnya. Gaji diberikan sesuai jabatan, wilayah, dan kebutuhan setempat.
Para pegawai kadang menolak gaji, tapi Umar tetap memerintahkan mereka untuk menerimanya. Sebab, dengan gaji itu mereka dapat menafkahi keluarga dan bersedekah tanpa mengambil hak orang lain. Umar mencontohkan apa yang pernah diajarkan Rasulullah.
Kebijaksanaan Umar juga terlihat saat ia tidak memberi jabatan kepada orang yang memintanya. Bagi Umar, orang yang meminta jabatan biasanya tidak siap menanggung beratnya amanah. Oleh sebab itu, hanya yang teruji dan terpercaya yang diangkat.
Para pegawai dilarang menerima suap atau hadiah dari rakyat, karena itu bisa mencederai keadilan. Umar ingin semua pegawai menjaga integritas dan fokus pada pelayanan umat.
Ia juga melarang pegawai berdagang selama menjabat. Umar tegas mengambil keuntungan dagang pegawainya, agar tak ada yang memanfaatkan jabatan untuk mencari untung.
Umar selalu mengawasi harta pegawainya. Setiap tambahan harta yang mencurigakan akan diselidiki. Jika alasan mereka tidak kuat, harta itu akan diambil negara. Umar ingin menjaga agar pegawai tetap bersih dan amanah.
Umar memaksa para pegawai untuk hidup sederhana, sebagai teladan masyarakat. Kehidupan zuhud para pemimpin diharap mampu mengarahkan masyarakat pada kebaikan.
Umar memberikan gaji tetap agar pegawai tak tergoda untuk menyeleweng. Gaji ini juga disesuaikan dengan kondisi wilayah dan perkembangan zaman. Kebijakan ini mencegah korupsi dan menjaga fokus para pegawai pada tugas mereka.
Sikap Umar yang bijaksana dalam menghukum dan memilih pegawai menjadi contoh kepemimpinan yang penuh hikmah. Ia mendahulukan kepentingan umat, menegakkan keadilan, dan menjaga amanah dengan sepenuh hati.[]
Setiap manusia pasti melakukan berbagai macam aktivitas dalam hidupnya. Namun, sering kali tindakan yang kita ambil hanya berdasarkan keinginan sesaat, dorongan emosi, atau kebutuhan fisik yang mendesak. Padahal, agar sebuah perbuatan benar-benar bermakna, efektif, dan membawa manfaat jangka panjang, ada tiga kaidah penting yang harus dijadikan landasan: berpikir sebelum bertindak, memiliki tujuan yang jelas, dan dilandasi keimanan yang kokoh.
Pertama, setiap perbuatan harus dibangun di atas kesadaran dan pemikiran yang utuh. Artinya, kita perlu memahami dorongan yang muncul dalam diri—baik dorongan naluri maupun kebutuhan jasmani—dengan cara merasakannya, mengamatinya, lalu menghubungkannya dengan informasi dan nilai yang kita miliki. Dalam Islam, keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tidak cukup hanya karena “ingin”, tapi harus didasarkan pada pertimbangan hukum syariat, nilai yang hendak dicapai, dan metode pelaksanaannya. Berpikir di sini bukan sekadar menggunakan logika, tapi mengaitkan realitas dengan hukum Allah melalui proses yang sehat dan sadar.