Community

Kepemimpinan Daerah di Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq

Setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, kekuasaan umat Islam berada di tangan sahabat dekat beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dalam mengelola wilayah kekuasaan Islam yang luas, Abu Bakar menunjukkan kebijakan dan kehati-hatian yang luar biasa. Ia tidak serta merta mengganti para pemimpin daerah yang telah ditunjuk oleh Rasulullah. Justru, ia mempertahankan mereka selama tidak ada masalah atau kebutuhan mendesak untuk dipindah. Bahkan ketika ada perpindahan tugas, Abu Bakar selalu melibatkan diskusi langsung dengan orang yang bersangkutan dan tidak pernah memaksakan kehendaknya. Salah satu contohnya adalah ketika Amr bin Al-‘Ash diminta memimpin Palestina, ia terlebih dahulu dimintai persetujuan.

Dalam menunjuk pemimpin daerah atau panglima pasukan, Abu Bakar selalu bermusyawarah dengan para sahabat terpercaya seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Ia memegang prinsip konsultasi dan persetujuan dalam setiap keputusan penting. Para pemimpin daerah, yang disebut wali, memiliki tanggung jawab besar dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka memimpin shalat Jumat dan shalat harian sebagai simbol kepemimpinan spiritual. Mereka juga memimpin peperangan, menjaga keamanan wilayah, menunjuk hakim dan pejabat lokal, serta mengurus administrasi dan pengelolaan sumber daya.

Para wali mengambil baiat dari penduduk untuk menunjukkan kesetiaan kepada Khalifah. Mereka juga bertugas mengumpulkan zakat dari umat Islam, menarik jizyah dari non-Muslim, dan menyalurkan dana tersebut sesuai aturan agama. Beberapa wali memperbarui perjanjian lama yang pernah dibuat Rasulullah, seperti yang dilakukan oleh wali Najran atas permintaan kaum Nasrani di sana. Dalam menjalankan hukum, mereka menggunakan ijtihad jika tidak menemukan dalil yang jelas. Mereka juga aktif mengajar masyarakat, terutama di masjid-masjid, dalam bentuk majelis ilmu yang rutin diadakan.

Salah satu wali yang aktif mengajar adalah Ziyad bin Labid dari Hadhramaut. Ia dikenal mengajarkan Al-Qur’an setiap pagi kepada masyarakat. Jika seorang wali berhalangan, ia wajib menunjuk pengganti sementara. Misalnya, ketika Al-Muhajir bin Abu Umayyah sakit dan belum bisa ke Kindah, ia meminta Ziyad menggantikannya hingga ia sembuh. Semua tindakan ini selalu mendapat persetujuan dari Khalifah Abu Bakar.

Dalam setiap pengangkatan, Abu Bakar mengirimkan surat mandat yang berisi penunjukan dan petunjuk arah perjalanan jika daerah yang dituju belum sepenuhnya dikuasai. Kadang ia juga menggabungkan wilayah-wilayah tertentu setelah situasi stabil, seperti ketika wilayah Kindah digabung ke dalam otoritas Hadhramaut di bawah kepemimpinan Ziyad bin Labid. Hubungan antara Abu Bakar dan para wali sangat erat, saling menghormati, dan dijalankan tanpa tekanan. Komunikasi antara pusat dan daerah sangat aktif. Para wali rutin mengirim laporan, meminta nasihat, dan menerima tanggapan dalam bentuk surat balasan dari Khalifah. Mereka juga saling berkomunikasi satu sama lain, terutama dalam urusan militer dan strategi bersama.

Nasihat-nasihat Abu Bakar kepada para wali juga menunjukkan perhatian besar pada spiritualitas. Ia mendorong para wali untuk hidup sederhana, tidak cinta dunia, dan lebih mementingkan akhirat. Banyak dari nasihat tersebut disampaikan dalam surat resmi yang dikirim kepada para wali, panglima, dan pejabat lainnya.

Pada masa Abu Bakar, wilayah kekuasaan Islam terbagi dalam beberapa daerah administratif. Madinah sebagai ibu kota dipimpin langsung oleh beliau. Makkah dipimpin oleh ‘Attab bin Usaid, Tha’if oleh Utsman bin Abu Al-Ash, Shan’a oleh Muhajir bin Abu Umayyah, dan Hadhramaut oleh Abu Musa Al-Asy’ari. Selain itu, wilayah-wilayah seperti Khaulan dan Al-Jund dipimpin oleh Mu’adz bin Jabal, Najran oleh Jarir bin Abdullah, Bahrain oleh Al-‘Ala bin Al-Hadhrami, serta Irak dan Syam yang berada di bawah komando para panglima militer. Seluruh sistem ini berjalan dengan harmonis berkat kepemimpinan Abu Bakar yang bijak, transparan, dan penuh semangat ukhuwah.[]

Kepemimpinan Daerah di Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq Read More »

Teladan Gaji

Saat membicarakan pemimpin ideal, banyak dari kita membayangkan sosok yang adil, sederhana, dan tidak memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Sosok seperti itu bukan hanya impian, tetapi benar-benar pernah ada dalam sejarah Islam. Salah satu contohnya adalah Umar bin Khattab, Khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Umar adalah pemimpin besar yang disegani karena keadilan dan kesederhanaannya. Ketika beliau menjabat sebagai khalifah, beliau tidak langsung mengambil gaji dari Baitul Mal (kas negara). Waktunya tersita untuk urusan umat, sementara kegiatan berdagang — yang dulu menjadi sumber nafkahnya — tidak lagi cukup untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya. Pada titik itu, Umar mengajak para sahabat bermusyawarah: “Apa yang boleh saya ambil dari tugas ini?”

Para sahabat menjawab dengan jujur dan tegas: ambillah secukupnya dari Baitul Mal untuk makan dan kebutuhan keluarga. Bahkan Ali bin Abi Thalib berkata, “Ambillah untuk makan siang dan makan malammu.” Akhirnya, Umar pun menerima gaji yang layak, hanya sebatas untuk mencukupi kebutuhan dasar — tidak lebih.

Umar menyamakan dirinya seperti wali anak yatim yang mengelola harta, dan jika butuh, ia hanya mengambilnya dengan cara yang baik. Ia tidak merasa dirinya lebih berhak atas harta negara daripada rakyatnya. Dalam satu perjalanan, Umar sempat bertanya kepada para sahabatnya, “Apa yang halal untuk saya dari harta ini?” Mereka menyerahkan jawabannya kepada Umar sendiri. Maka Umar pun menjelaskan: ia hanya mengambil tunggangan untuk haji dan umrah, pakaian musim dingin dan panas, bekal secukupnya untuk keluarga, dan bagian yang sah dari rampasan perang — karena ia juga bagian dari kaum muslimin.

Kisah-kisah tentang Umar penuh dengan keteladanan. Ia pernah ditegur oleh seorang sahabat karena hidup terlalu sederhana. Saat itu Umar sedang makan makanan kasar seperti rakyat biasa. Sahabat itu berkata bahwa Umar pantas mendapat makanan enak, baju mewah, dan tunggangan terbaik. Tapi Umar langsung memukulnya pelan dengan pelepah kurma sambil berkata, “Demi Allah, ucapanmu bukan karena Allah. Kamu hanya ingin mengambil hatiku.”

Lalu ia menjelaskan, dirinya hanyalah seperti bendahara dalam rombongan musafir. Jika seseorang ditunjuk untuk memegang uang belanja, bolehkah ia mengambil bagian lebih besar dari yang lain? “Tidak boleh,” jawab sahabat itu. “Itulah aku,” kata Umar.

Para ulama fikih menyimpulkan dari kisah para khalifah bahwa seorang pemimpin boleh menerima gaji dari kas negara atas tugasnya. Bahkan menurut beberapa ulama, mengambil gaji itu lebih baik agar ia dapat menjalankan tugasnya secara maksimal tanpa terganggu oleh urusan pribadi.

Namun, penting dicatat bahwa gaji yang diterima seorang pemimpin bukanlah “upah kemewahan”, melainkan kompensasi atas waktu dan tenaga yang ia curahkan demi urusan umat. Seperti yang dilakukan Umar, ia hanya mengambil sekadar untuk makan, pakaian, dan kebutuhan keluarganya. Tidak lebih.

Kisah Umar bin Khattab memberi pelajaran besar bahwa memimpin bukanlah jalan untuk mencari kenyamanan, tapi untuk melayani umat. Umar tidak menuntut hak istimewa. Ia bahkan menghindari kelebihan yang bisa menjauhkan dirinya dari rakyat.

Teladan seperti ini sangat langka, bahkan di zaman modern sekalipun. Maka, mempelajari kepemimpinan Umar bukan hanya memperkaya wawasan sejarah, tapi juga memberi kita gambaran nyata tentang bagaimana pemimpin seharusnya bersikap terhadap kekuasaan, harta, dan tanggung jawab.[]

Teladan Gaji Read More »

Gaji Pemimpin

Pernahkah kita membayangkan bagaimana sistem pemerintahan dan penggajian pemimpin dijalankan di masa awal Islam? Ternyata, jauh sebelum dunia modern mengenal sistem manajemen keuangan negara yang transparan, para pemimpin Islam telah menunjukkan prinsip yang luar biasa dalam hal tanggung jawab, akuntabilitas, dan keadilan.

Salah satu contoh terbaik adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang menjadi khalifah pertama umat Islam setelah wafatnya Rasulullah. Saat memimpin, Abu Bakar tidak hanya membentuk sistem pemerintahan yang rapi, tapi juga menetapkan sistem penggajian yang jujur dan terbuka, termasuk untuk dirinya sendiri.

Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar adalah seorang pedagang. Ia terbiasa pergi ke pasar untuk berdagang, mencari nafkah bagi keluarganya. Namun, ketika ia resmi diangkat menjadi pemimpin umat, waktunya tersita untuk mengurus berbagai urusan negara dan rakyat. Ia masih sempat berdagang, sampai akhirnya Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah — dua sahabat yang juga dipercaya memegang jabatan penting — menemuinya dan menyarankan agar ia tidak lagi berdagang, dan menerima gaji dari Baitul Mal (kas negara), agar ia bisa fokus menjalankan tugas kepemimpinan.

Awalnya, gaji Abu Bakar ditetapkan sebesar 250 dinar setahun dan seekor kambing yang diambil bagian perut, kepala, dan kakinya setiap hari. Namun, ternyata jumlah ini belum mencukupi kebutuhan keluarganya. Maka gajinya dinaikkan menjadi 300 dinar per tahun, dan kambing yang diberikan setiap hari pun diberikan secara utuh. Yang luar biasa, Abu Bakar tidak langsung menerima gaji ini begitu saja. Ia mengumumkannya kepada masyarakat dan meminta persetujuan dari umat Islam. Ketika rakyat setuju, barulah ia menerima gaji tersebut.

Langkah ini menunjukkan bahwa jabatan bagi Abu Bakar bukanlah sumber kekayaan, tetapi amanah yang berat. Gaji hanyalah bentuk kompensasi karena ia tidak sempat lagi mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Bagi Abu Bakar, memimpin adalah bentuk pengabdian, bukan jalan menuju kemewahan.

Lebih jauh, sistem kepegawaian dan penggajian di masa Abu Bakar menunjukkan kualitas luar biasa. Ia menunjuk sahabat-sahabat terbaik untuk menduduki posisi penting: Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menjadi bendahara (menteri keuangan), Umar bin Khattab mengurusi bidang kehakiman, dan Zaid bin Tsabit menjadi sekretaris (semacam menteri komunikasi). Bahkan, sesekali tugas-tugas ini dijalankan langsung oleh Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.

Bandingkan dengan kekaisaran besar pada masa itu seperti Romawi atau Persia. Di sana, konsep penggajian pemimpin tidak dikenal. Raja adalah penguasa absolut. Apa yang milik negara, dianggap milik pribadi raja. Ungkapan terkenal “Aku adalah negara dan negara adalah aku,” yang diucapkan oleh Raja Louis XV dari Prancis, sangat bertolak belakang dengan prinsip Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang menempatkan dirinya sebagai pelayan umat, bukan penguasa mutlak.

Abu Bakar juga memberi perhatian khusus pada keadilan. Ia terus mengawasi para pejabat negara, menegakkan hukum dengan sungguh-sungguh, dan menjaga keutuhan manhaj kenabian dalam setiap langkahnya. Baginya, kekuasaan bukanlah hak istimewa, tapi beban tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Dari kisah ini kita belajar, bahwa penggajian pemimpin bukanlah untuk memperkaya diri, tapi sebagai dukungan agar mereka bisa mengabdi dengan penuh tanggung jawab, tanpa terganggu oleh urusan pribadi. Dan yang paling penting, seluruh proses dilakukan secara terbuka, melibatkan persetujuan rakyat — sebuah nilai luhur yang sangat relevan hingga hari ini.[]

Gaji Pemimpin Read More »

Brain Rot

Fenomena “brain rot” bukanlah hal baru. Konsep ini telah muncul sejak Henry David Thoreau mengkritik masyarakat pada abad ke-19 yang mulai kehilangan kedalaman intelektual. Kini, di era digital, istilah ini kembali populer untuk menggambarkan bagaimana media sosial dan informasi instan dapat mengikis kemampuan berpikir mendalam. Pada tahun 1854, Thoreau menerbitkan Walden, sebuah refleksi tentang kehidupan sederhana di alam. Dalam bukunya, ia mengkritik masyarakat yang terobsesi dengan berita dan gosip, menyebutnya sebagai bentuk “pembusukan otak.” Bagi Thoreau, banyak orang kehilangan koneksi dengan pemikiran mendalam karena mereka terpaku pada hal-hal yang tidak esensial. Ia menekankan pentingnya kontemplasi dan pemikiran reflektif, bukan sekadar konsumsi informasi yang dangkal dan berulang.

Seiring berkembangnya teknologi, muncul kekhawatiran baru tentang pengaruh media terhadap otak manusia. Pada 1950-an, televisi menjadi sumber utama hiburan dan berita, tetapi pakar pendidikan mulai mengkritik dampaknya terhadap konsentrasi dan imajinasi. Pada tahun 1985, Neil Postman dalam bukunya Amusing Ourselves to Death menyatakan bahwa televisi telah menurunkan standar diskusi intelektual. Ia berpendapat bahwa format visual yang cepat membuat pemirsa kurang mampu berpikir secara kritis dibanding mereka yang membaca buku atau berdiskusi mendalam. Memasuki abad ke-21, kehadiran internet dan media sosial semakin memperkuat konsep “brain rot.” Kini, banyak orang menghabiskan waktu untuk scrolling tanpa henti di aplikasi seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Fenomena seperti doomscrolling dan binge-watching membuat otak terbiasa dengan gratifikasi instan, yang mengurangi kemampuan fokus dan berpikir mendalam.

Doomscrolling adalah kebiasaan menghabiskan waktu berjam-jam membaca berita negatif atau informasi yang menimbulkan kecemasan, biasanya di media sosial. Fenomena ini membuat seseorang terjebak dalam siklus informasi yang memperburuk suasana hati, meningkatkan stres, dan mengurangi kesejahteraan mental. Misalnya, seseorang yang terus menggulir berita tentang krisis global atau bencana tanpa henti bisa mengalami kecemasan berlebih dan kesulitan untuk berpikir positif.

Di sisi lain, binge-watching adalah kebiasaan menonton episode demi episode dari sebuah serial televisi atau video tanpa henti dalam satu waktu, sering kali berlangsung selama berjam-jam atau bahkan semalaman. Meskipun aktivitas ini bisa terasa menyenangkan dan menghibur, terlalu sering melakukannya dapat menyebabkan kelelahan mental, gangguan pola tidur, dan berkurangnya produktivitas. Studi menunjukkan bahwa binge-watching berlebihan dapat menghambat kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi pada tugas lain karena otak terbiasa dengan gratifikasi instan dari hiburan terus-menerus.

Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan memori jangka pendek, kecemasan, dan kesulitan berkonsentrasi. Bahkan, beberapa studi menyamakan efeknya dengan kecanduan. Meski teknologi terus berkembang, tantangan utama tetap sama: bagaimana menjaga keseimbangan antara konsumsi informasi dan pemikiran reflektif. Beberapa cara untuk menghindari “brain rot” antara lain membaca buku untuk melatih fokus, menulis jurnal guna mengasah refleksi, mengurangi screen time agar otak punya waktu untuk berpikir lebih dalam, serta berinteraksi langsung dengan orang lain untuk meningkatkan koneksi sosial. Seperti yang pernah dikatakan Thoreau, kualitas hidup ditentukan oleh bagaimana kita memilih untuk mengisi pikiran kita. Jadi, apakah kita akan membiarkan otak kita membusuk dalam aliran informasi instan, atau mengambil kendali atas apa yang kita konsumsi?[]

Brain Rot Read More »

Otak Tua

Kita semua pasti ingin punya otak yang tetap sehat dan tajam sampai tua. Tapi tahukah kita, ada kebiasaan sehari-hari yang diam-diam bisa bikin otak kita menua lebih cepat? Sebuah penelitian besar di Tiongkok yang berlangsung selama 16 tahun mengungkap bahwa beberapa faktor gaya hidup dan kondisi kesehatan bisa mempercepat proses penuaan otak. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti scan otak dan kecerdasan buatan (AI) untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada otak.

Hasilnya menunjukkan bahwa ada lima hal yang terbukti sangat berisiko mempercepat penuaan otak. Pertama, tekanan darah tinggi atau hipertensi. Kondisi ini menjadi faktor paling kuat yang merusak struktur otak. Orang dengan hipertensi punya “usia otak” yang jauh lebih tua dibanding usia sebenarnya. Kedua, kadar gula darah yang tinggi atau hiperglikemia. Terlalu banyak gula dalam darah dapat mengganggu cara kerja otak dan mempercepat kerusakan otak. Ketiga, kadar kreatinin yang tinggi dalam tubuh, yang menandakan masalah pada fungsi ginjal. Jika ginjal tidak bekerja optimal, efeknya ternyata bisa sampai ke otak.

Keempat, kebiasaan merokok. Rokok sudah lama dikenal buruk untuk kesehatan, tapi kini terbukti juga mempercepat penuaan otak. Orang yang merokok secara rutin cenderung punya otak yang lebih cepat menua. Kelima, tingkat pendidikan yang rendah. Ini mungkin terdengar mengejutkan, tapi ternyata orang yang tidak banyak belajar atau kurang mendapat pendidikan formal lebih berisiko mengalami penuaan otak lebih cepat. Aktivitas belajar yang konsisten penting untuk menjaga otak tetap aktif dan sehat.

Para peneliti membagi peserta studi ke dalam beberapa kelompok, mulai dari yang paling sehat sampai yang memiliki banyak faktor risiko. Hasilnya sangat jelas: semakin banyak faktor risiko yang dimiliki, semakin cepat otaknya menua. Orang yang memiliki empat sampai lima dari faktor risiko ini memiliki “usia otak” yang jauh lebih tua dari usia mereka yang sebenarnya. Artinya, meskipun kamu masih muda, kalau gaya hidupmu buruk, otakmu bisa saja menua jauh lebih cepat.

Namun kabar baiknya, penuaan otak bisa dicegah. Caranya cukup sederhana. Rutinlah memeriksa tekanan darah dan jaga agar tetap normal. Kurangi konsumsi gula dan jaga pola makan. Minum air yang cukup dan perhatikan kesehatan ginjal. Jika kamu merokok, berhentilah sekarang juga. Dan yang tak kalah penting, teruslah belajar dan aktif berpikir. Membaca, berdiskusi, atau mengikuti kursus bisa membantu otak tetap terlatih dan tajam.

Penuaan otak bukan cuma soal umur. Gaya hidup dan kondisi kesehatan sangat memengaruhi kecepatan otak menua. Dengan memperbaiki kebiasaan-kebiasaan kecil dalam hidup sehari-hari, kita bisa menjaga otak tetap muda dan sehat lebih lama. Otak yang sehat akan membuat hidup terasa lebih jernih, produktif, dan menyenangkan.[]

Otak Tua Read More »

Muslim Dali Kombe

Di tengah panasnya pasir Gurun Sahara, jauh dari hiruk-pikuk kota dan gemerlap dunia, terdapat sebuah desa kecil yang sangat istimewa. Namanya Dali Kombe. Di tempat yang nyaris tidak terlihat di peta ini, tinggal sebuah komunitas Muslim yang seluruhnya tunanetra. Mereka tidak bisa melihat dunia, tapi dunia bisa banyak belajar dari cara mereka hidup.

Dali Kombe bukanlah desa biasa. Mereka yang tinggal di sana menghadapi dua tantangan besar sekaligus: kehidupan di gurun yang keras dan keterbatasan penglihatan. Tapi yang luar biasa, mereka tetap hidup dengan penuh semangat, iman, dan persatuan. Mereka tidak menyerah, tidak menyalahkan takdir, dan tidak pernah putus harapan.

Meskipun tidak bisa melihat, warga Dali Kombe mampu menjalani kehidupan sehari-hari dengan mandiri. Mereka bekerja, beribadah, membesarkan anak-anak, dan saling membantu satu sama lain. Mereka memiliki cara-cara unik untuk beraktivitas, menggunakan indera lain seperti pendengaran dan sentuhan untuk mengenali lingkungan sekitar. Tapi kekuatan utama mereka bukan hanya pada kemampuan fisik—melainkan pada keimanan yang begitu kuat kepada Allah.

Di zaman sekarang, ketika banyak orang mengeluh karena hal kecil, kisah Muslim Dali Kombe seperti tamparan lembut yang menyentuh hati. Mereka hidup dalam keterbatasan, tapi tidak pernah mengeluh. Mereka tinggal di wilayah tandus tanpa fasilitas modern, tapi tetap bersyukur. Di tengah dunia yang sering menilai manusia dari apa yang bisa dilihat, mereka justru mengajarkan makna hidup dari apa yang tidak terlihat: ketabahan, kasih sayang, dan keimanan.

Dali Kombe adalah bukti nyata bahwa kekuatan manusia tidak tergantung pada penglihatan, uang, atau teknologi, melainkan pada hati yang sabar dan iman yang teguh. Komunitas ini telah melampaui batas fisik mereka dan membuktikan bahwa dengan kebersamaan dan iman, segala hal yang sulit bisa dihadapi.

Dunia perlu mengenal mereka. Bukan karena kasihan, tapi karena mereka adalah inspirasi. Kisah mereka bukan cerita sedih, tapi cerita kekuatan. Dali Kombe bukan hanya desa tunanetra—mereka adalah cahaya di tengah gurun, pelajaran hidup bagi siapa pun yang masih bisa melihat, tapi kadang lupa untuk benar-benar “melihat”.[]

Muslim Dali Kombe Read More »

Depopulasi China

China telah lama menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi yang dominan di dunia. Namun, di balik kemajuan pesat dalam berbagai sektor, negara ini menghadapi tantangan serius berupa krisis demografi yang semakin mengkhawatirkan. Penurunan angka pernikahan dan kelahiran berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang serta memperburuk ketidakseimbangan populasi. Pada tahun 2024, jumlah pendaftaran pernikahan di China turun hingga 20,5%, angka terendah sejak pencatatan dimulai pada tahun 1978.

Fenomena ini memiliki dampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi, seperti menurunnya angka kelahiran yang mempercepat penuaan populasi dan semakin membebani sistem pensiun serta layanan kesehatan, serta ketidakseimbangan tenaga kerja yang dapat memperlambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Seiring bertambahnya jumlah lansia, China akan menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menopang industri dan teknologi.

Beberapa alasan utama yang menyebabkan generasi muda China enggan menikah dan memiliki anak antara lain tekanan ekonomi dan biaya hidup yang tinggi, harga rumah yang tidak terjangkau, biaya pendidikan yang mahal, serta ketidakpastian ekonomi yang membuat banyak anak muda lebih memilih hidup sendiri dan fokus pada karier daripada membangun keluarga. Tingkat pengangguran kaum muda yang mencapai lebih dari 20% di beberapa daerah semakin memperkuat keengganan mereka untuk mengambil tanggung jawab finansial yang lebih besar dengan menikah dan memiliki anak.

Selain itu, pergeseran peran perempuan dalam masyarakat juga berkontribusi terhadap tren ini. Perempuan muda semakin mandiri secara finansial dan tidak lagi merasa harus menikah demi stabilitas hidup. Banyak dari mereka memilih kebebasan, karier, serta kehidupan yang tidak terikat pada peran tradisional. Bahkan, istilah “wanita sisa” yang dulunya berkonotasi negatif kini telah berevolusi menjadi “wanita sisa emas,” simbol kesuksesan dan kemandirian perempuan modern.

Kemajuan teknologi yang pesat juga berkontribusi terhadap pergeseran pola pikir masyarakat China. Automasi dan digitalisasi telah mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manusia, semakin memperparah ketidakseimbangan populasi karena permintaan akan pekerja manusia semakin berkurang. Budaya digital dan gaya hidup modern yang dipromosikan oleh influencer di media sosial semakin memperkuat tren hidup mandiri tanpa pernikahan atau anak.

Di samping itu, pekerjaan berbasis teknologi memungkinkan individu untuk bekerja secara fleksibel tanpa harus membangun keluarga demi stabilitas finansial. Banyak anak muda lebih memilih investasi dalam karier dan aset digital daripada berumah tangga. Pemerintah telah berupaya membalikkan tren ini dengan berbagai kebijakan, seperti subsidi pernikahan dan kelahiran untuk meringankan beban ekonomi pasangan muda, cuti melahirkan yang lebih panjang untuk memberikan perlindungan bagi perempuan pekerja, serta pemangkasan birokrasi dalam proses administrasi pernikahan dan kelahiran. Namun, hingga saat ini, langkah-langkah tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan. Jika tren penurunan angka pernikahan dan kelahiran terus berlanjut, China mungkin menghadapi konsekuensi ekonomi dan sosial yang lebih serius dalam beberapa dekade mendatang.[]

Depopulasi China Read More »

Kota Terapung

Kota terapung adalah konsep inovatif yang dirancang sebagai solusi terhadap berbagai tantangan urbanisasi dan perubahan iklim. Berbeda dengan kota konvensional yang dibangun di daratan, kota terapung didesain untuk berada di atas permukaan air dan mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Konsep ini telah menarik perhatian banyak pihak sebagai alternatif hunian masa depan yang lebih fleksibel dan ramah lingkungan.

Kota-kota di dunia saat ini menghadapi berbagai masalah serius, seperti kepadatan penduduk, keterbatasan lahan, serta dampak negatif perubahan iklim. Urbanisasi yang cepat menyebabkan tingginya permintaan akan ruang tempat tinggal, sementara kenaikan permukaan laut semakin memperparah risiko banjir di wilayah pesisir. Selain itu, masalah lingkungan seperti polusi dan kerusakan habitat akibat pembangunan kota yang tidak berkelanjutan menjadi tantangan besar. Kota terapung hadir sebagai solusi inovatif yang mampu mengatasi sebagian dari permasalahan tersebut dengan menawarkan hunian yang lebih adaptif dan berkelanjutan.

Sejumlah proyek kota terapung telah mulai dikembangkan di berbagai negara. Maldives Floating City, yang mulai dibangun pada tahun 2022, merupakan salah satu contoh utama. Kota ini didesain menyerupai struktur karang dan mampu menampung sekitar 20.000 penduduk, memberikan solusi terhadap ancaman kenaikan permukaan air laut yang dihadapi Maladewa. Selain itu, ada Oceanix Busan, yang diperkenalkan pada 2023 sebagai prototipe kota terapung berkelanjutan di Korea Selatan. Kota ini dikembangkan dengan sistem berbasis energi bersih dan pengelolaan limbah yang lebih efisien. Sementara itu, Seasteading Institute Project adalah eksperimen yang mencoba membangun komunitas terapung dengan sistem ekonomi dan politik yang lebih independen, yang diuji sejak pertengahan 2010-an.

Seasteading Institute Project adalah sebuah inisiatif yang bertujuan untuk menciptakan kota terapung dengan tingkat otonomi politik yang tinggi. Proyek ini dikembangkan oleh The Seasteading Institute, yang berbasis di Sunnyvale, California, Amerika Serikat. Organisasi ini mempromosikan konsep kota terapung sebagai solusi terhadap berbagai tantangan global, termasuk kenaikan permukaan laut, kepadatan penduduk, dan pemerintahan yang tidak efektif. Seasteading Institute telah mengembangkan berbagai proyek yang bertujuan untuk menciptakan komunitas terapung yang mandiri dan berkelanjutan.

Selain proyek-proyek modern tersebut, pemukiman terapung sebenarnya telah ada sejak lama, salah satunya adalah pemukiman Suku Bajo. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut pengembara yang telah lama menjadikan laut sebagai tempat tinggal mereka. Salah satu pemukiman terapung mereka yang terkenal adalah Desa Torosiaje, yang terletak di Teluk Tomini, Gorontalo, Indonesia. Pemukiman ini telah ada sejak tahun 1901 dan dihuni oleh masyarakat Bajo yang telah terbiasa hidup di atas laut. Rumah-rumah mereka dibangun di atas perairan dengan struktur yang adaptif terhadap perubahan iklim dan kondisi lingkungan pesisir. Suku Bajo telah lama dikenal sebagai kelompok yang memiliki kearifan lokal dalam memanfaatkan laut sebagai ruang hidup, menjadikan mereka sebagai salah satu contoh nyata dari konsep kota terapung tradisional.

Seperti halnya konsep lain, kota terapung memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan utama mencakup kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, penggunaan energi bersih, serta pemanfaatan ruang perairan sebagai alternatif terhadap daratan yang semakin terbatas. Di sisi lain, tantangan utama kota terapung mencakup tingginya biaya pembangunan, potensi dampak cuaca ekstrem seperti gelombang tinggi dan badai, serta aspek sosial dan ekonomi yang membutuhkan perubahan budaya serta sistem kehidupan masyarakat.

Ke depan, kota terapung berpotensi menjadi alternatif utama bagi wilayah pesisir yang menghadapi ancaman perubahan iklim. Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, biaya pembangunan diharapkan menjadi lebih terjangkau dan sistem keberlanjutannya lebih efektif. Pemerintah dan investor di berbagai negara telah mulai menunjukkan ketertarikan terhadap konsep ini sebagai bagian dari solusi urbanisasi dan perubahan lingkungan. Kota terapung berpeluang menjadi model hunian masa depan yang tidak hanya inovatif tetapi juga lebih harmonis dengan alam.[]

Kota Terapung Read More »

Kita Semua Adalah Buruh!

Untung saja kita sadar lebih awal: bahkan di dunia akademik, semua adalah buruh. Di zaman modern ini, istilah buruh tidak lagi terbatas pada pekerja pabrik yang memproduksi barang fisik. Dalam kenyataannya, hampir semua profesi adalah buruh dalam makna yang lebih luas: mereka menjual tenaga, waktu, dan pikiran untuk menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai di mata pasar atau institusi. Tak terkecuali dosen dan peneliti. Mereka adalah buruh akademik yang bekerja di sebuah “pabrik” besar bernama universitas atau lembaga penelitian.

Dalam dunia akademik saat ini, publikasi dan produk riset telah menjadi komoditas. Dosen dan peneliti dituntut untuk terus menghasilkan artikel ilmiah, buku, laporan penelitian, dan paten. Mereka harus memenuhi kuota publikasi demi akreditasi institusi, pendanaan riset, dan kenaikan pangkat. Kampus dan lembaga riset telah menjadi lini produksi pengetahuan, dengan dosen dan peneliti sebagai operatornya. Publikasi ilmiah bukan lagi sekadar sarana berbagi pengetahuan, melainkan menjadi mata uang yang menentukan reputasi pribadi dan institusi.

Bahkan slogan “publish or perish” (publikasikan atau lenyap) semakin menguat. Dosen dan peneliti harus terus memproduksi karya ilmiah agar tidak terpinggirkan. Waktu untuk mengajar, membimbing mahasiswa, atau merenung mencari ide-ide orisinal semakin tergerus oleh tekanan administrasi dan target produktivitas. Ironisnya, semakin tinggi capaian akademik seseorang, semakin besar pula beban manajerial dan tuntutan output yang dibebankan.

Mengapa disebut buruh akademik? Karena prinsip dasarnya sama dengan buruh di sektor industri: tenaga kerja ditukar dengan imbalan finansial berupa gaji, keamanan kerja melalui jabatan tetap, dan insentif seperti hibah atau penghargaan. Bedanya, alih-alih merakit mobil atau pakaian, buruh akademik memproduksi pengetahuan. Namun, seperti buruh di pabrik lainnya, mereka sering tidak memiliki kendali penuh atas hasil akhir produksinya. Kebijakan pendidikan tinggi, agenda pendanaan, dan tuntutan pasar menentukan arah dan isi produksi ilmiah.

Fenomena ini juga menimbulkan efek psikologis. Banyak dosen dan peneliti yang mengalami kelelahan intelektual atau intellectual burnout. Tekanan untuk terus menghasilkan karya tanpa jeda bisa mengikis makna sejati dari penelitian itu sendiri: yaitu, rasa ingin tahu dan keinginan untuk memecahkan persoalan manusia. Namun, penting diingat bahwa menjadi buruh akademik tidak selalu berarti menjadi korban. Banyak dosen dan peneliti yang berhasil menggunakan sistem ini untuk menciptakan perubahan sosial, menginspirasi generasi baru, dan mengembangkan teknologi yang bermanfaat. Kesadaran bahwa kita adalah buruh akademik justru bisa menjadi kekuatan untuk menuntut sistem yang lebih adil dan manusiawi.

Jika buruh industri berhasil memperjuangkan hak-haknya melalui serikat pekerja dan advokasi kebijakan, buruh akademik juga mulai bergerak ke arah yang sama. Museum UGM menjadi saksi lahirnya Serikat Pekerja Gadjah Mada (SEJAGAD), serikat pekerja kampus pertama di Indonesia. Didirikan untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh kampus dan kebebasan akademik, SEJAGAD menandai babak baru gerakan buruh di lingkungan pendidikan tinggi. Diselenggarakan pada Jumat, 25 April, di Ruang Utama Museum UGM, Kongres SEJAGAD dihadiri sivitas akademik UGM dan perwakilan serikat pekerja dari berbagai sektor. Kongres SEJAGAD pertama ini juga menjadi bentuk peresmian SEJAGAD, pembacaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi, serta pemilihan Dewan Formatur.

SEJAGAD menjadi tonggak penting bahwa gerakan buruh tidak hanya milik pabrik, pelabuhan, atau kantor-kantor industri. Dunia kampus, yang selama ini dianggap menara gading, pun memiliki para pekerja yang hak-haknya perlu diperjuangkan bersama. Ini adalah sinyal bahwa kesadaran kelas buruh telah meluas ke ranah intelektual dan akademik.

Pada akhirnya, baik buruh di pabrik maupun buruh akademik sama-sama bekerja untuk membangun peradaban. Hanya saja, produk mereka berbeda bentuk—barang fisik di satu sisi, dan pengetahuan serta inovasi di sisi lain. Keduanya sama-sama berharga bagi kemajuan umat manusia.

Hari Buruh Internasional, atau May Day, diperingati setiap tanggal 1 Mei di seluruh dunia. Perayaan ini berakar dari perjuangan buruh di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 yang menuntut jam kerja yang lebih manusiawi, yaitu delapan jam kerja per hari. Pada 1 Mei 1886, ribuan buruh di Chicago melakukan mogok kerja yang kemudian memicu peristiwa Haymarket Affair, sebuah aksi protes yang berakhir tragis namun menjadi simbol perjuangan hak-hak buruh di seluruh dunia. Sejak saat itu, 1 Mei diperingati sebagai hari solidaritas buruh internasional.

Selamat Hari Buruh 1 Mei 2025! Mari kita rayakan dan hormati setiap bentuk kerja—baik yang menghasilkan barang, jasa, maupun pengetahuan. Kita semua adalah buruh. Dan bersama, kita bisa menciptakan dunia kerja yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat.[]

Kita Semua Adalah Buruh! Read More »

Mengedit Manusia

Teknologi de-extinction telah menarik perhatian dunia, terutama setelah perusahaan Colossal Biosciences mengumumkan keberhasilan mereka dalam “menghidupkan kembali” dire wolf, spesies serigala purba yang terkenal dari serial Game of Thrones. Proyek ini merupakan salah satu terobosan terbesar dalam bidang bioteknologi dan genetika. De-extinction adalah teknik pemulihan spesies yang telah punah melalui rekayasa genetika, dengan menggunakan DNA fosil sebagai dasar untuk menciptakan individu baru yang menyerupai spesies aslinya. Proyek ini dikembangkan oleh Colossal Biosciences, sebuah perusahaan bioteknologi asal Texas yang fokus pada de-extinction. Anak dire wolf pertama, Romulus dan Remus, lahir pada Oktober 2024, disusul anak betina Khaleesi pada Januari 2025. Proses ini dilakukan di laboratorium genetika Colossal di Texas, Amerika Serikat. Tujuan utama de-extinction adalah untuk mengembalikan spesies yang telah punah dan menjaga keseimbangan ekosistem. Selain itu, teknologi ini juga dapat digunakan untuk membantu konservasi spesies yang terancam punah.

De-extinction dire wolf dimulai dari ekstraksi DNA fosil gigi berusia 13.000 tahun dan tengkorak berusia 72.000 tahun. DNA tersebut kemudian dibandingkan dengan genom canid modern seperti serigala abu-abu, sebelum diedit dan dimasukkan ke dalam sel telur donor. Sel telur ini kemudian dikembangkan hingga akhirnya menghasilkan anak dire wolf yang sehat. Proyek ini tidak hanya berfokus pada dire wolf, tetapi juga turut mengkloning dua kelompok anak red wolf, spesies yang saat ini menghadapi ancaman kepunahan. CEO Colossal, Ben Lamm, menyatakan bahwa pencapaian ini membuktikan bahwa teknologi de-extinction benar-benar dapat digunakan secara praktis.

Konsep de-extinction telah lama menjadi bagian dari penelitian bioteknologi dan genetika. Salah satu contoh awal adalah kloning domba Dolly pada 1996, yang menunjukkan bahwa DNA dari satu individu bisa digunakan untuk menciptakan individu baru dengan karakteristik yang sama. Dalam konteks manusia, penerapan de-extinction masih menjadi perdebatan ilmiah dan etika. Secara teoritis, jika ada cukup DNA fosil dari manusia purba, teknologi serupa bisa digunakan untuk menciptakan kembali individu yang menyerupai manusia zaman dulu. Beberapa proyek penelitian bahkan telah mempertimbangkan kemungkinan menghidupkan kembali Neanderthal, manusia purba yang telah punah lebih dari 40.000 tahun yang lalu.

Teknik yang bisa diterapkan pada manusia mencakup beberapa tahapan. Pertama, para ilmuwan perlu menemukan sampel DNA manusia purba yang cukup terawetkan, seperti dari fosil tulang atau gigi. DNA yang ditemukan akan dibandingkan dengan genom manusia modern untuk mengidentifikasi perbedaan utama. Kemudian, teknologi CRISPR-Cas9 digunakan untuk memungkinkan pengeditan DNA dengan mengganti atau memodifikasi gen tertentu agar lebih menyerupai manusia purba. Setelah diedit, DNA dimasukkan ke dalam sel telur donor, yang kemudian dikembangkan menjadi embrio melalui teknik fertilisasi in vitro (IVF). Jika berhasil, embrio dapat ditanamkan dalam rahim manusia atau dikembangkan dalam lingkungan laboratorium hingga menjadi individu yang hidup.

Namun, sebelum langkah ini bisa dilakukan secara nyata, ada tantangan besar dalam aspek etika dan agama yang harus dipertimbangkan. Pengeditan genetika pada manusia memunculkan berbagai dilema moral, etika, dan kepercayaan agama. Beberapa pertanyaan yang sering muncul dalam diskusi ini meliputi: Apakah manusia berhak “menghidupkan kembali” spesies yang sudah punah? Apakah manusia yang diciptakan melalui teknologi ini memiliki hak dan status yang sama dengan manusia biasa? Bagaimana dampaknya terhadap tatanan sosial jika seseorang “dihidupkan kembali” dari DNA purba? Apakah ini bertentangan dengan ajaran agama yang menyatakan bahwa penciptaan makhluk hidup adalah hak Tuhan?

Dalam pandangan etika, ada risiko besar bahwa teknologi ini dapat disalahgunakan, seperti untuk menciptakan individu yang “dioptimalkan” dengan kecerdasan atau kekuatan fisik yang lebih tinggi, sehingga menimbulkan ketidaksetaraan sosial. Beberapa ahli juga khawatir bahwa de-extinction manusia bisa membuka jalan bagi eksperimen genetik yang tidak terkendali. Dalam perspektif agama, banyak ajaran yang menegaskan bahwa kehidupan adalah anugerah Tuhan yang tidak bisa direkayasa manusia. Beberapa tokoh agama menyatakan bahwa menciptakan manusia melalui teknologi ini bisa dianggap sebagai bentuk campur tangan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Namun, ada pula pandangan yang menyebutkan bahwa jika teknologi ini digunakan untuk menyelamatkan nyawa atau menghindari penyakit genetik, maka penerapannya dapat dipertimbangkan lebih lanjut.

De-extinction telah membuka kemungkinan baru dalam dunia bioteknologi, baik dalam pelestarian spesies yang telah punah maupun dalam penelitian genetika manusia. Meskipun teknologi ini sudah menunjukkan hasil yang signifikan, seperti pada dire wolf dan red wolf, penerapannya pada manusia masih jauh dari kenyataan karena tantangan etis dan agama yang kompleks. Jika suatu hari teknologi ini benar-benar digunakan pada manusia, maka perlu ada regulasi yang ketat serta diskusi mendalam tentang dampak sosialnya. Dunia masih terus mencari keseimbangan antara kemajuan ilmiah dan moralitas, dan pertanyaan besar tetap ada: apakah manusia siap menghadapi era genetika yang bisa mengubah konsep kehidupan itu sendiri?[]

Mengedit Manusia Read More »