Ayam-Ayam Stalin
Ada sebuah cerita yang sering beredar dan dikaitkan dengan Josef Stalin, pemimpin Soviet. Cerita ini menggambarkan bagaimana Stalin mencabuti bulu ayam hidup untuk menunjukkan betapa mudahnya mengendalikan orang-orang yang tidak cerdas.
Cerita ini bermula dari sebuah anekdot yang ditulis oleh penulis Soviet/Kyrgyz anti-Stalin, Chingiz Aitmatov, pada pertengahan 1980-an. Dalam anekdot tersebut, Stalin disebutkan memanggil para rekan terdekatnya dan mengatakan, “Saya mengerti kalian bertanya-tanya bagaimana saya bisa mengendalikan rakyat sehingga setiap orang… menganggap saya sebagai tuhan yang hidup. Sekarang saya akan mengajari kalian sikap yang benar terhadap rakyat.” Lalu, Stalin memerintahkan agar seekor ayam dibawa kepadanya. Dia mencabuti bulu ayam itu di depan mereka semua, hingga tinggal kulit merah dan sisik di kepala ayam tersebut.
“Sekarang perhatikan,” kata Stalin, lalu melepaskan ayam itu. Ayam tersebut sebenarnya bisa pergi ke mana saja, tetapi dia tidak pergi kemana-mana. Dia hanya bisa menekan dirinya ke sepatu bot Stalin. Lalu, Stalin melemparkan sedikit biji-bijian, dan ayam itu mengikutinya ke mana pun dia pergi. Jika tidak, ayam itu akan jatuh karena kelaparan. “Itulah,” kata Stalin kepada murid-muridnya, “cara kalian mengendalikan rakyat kita.”
Cerita ini tampaknya berasal dari Aitmatov, dan seperti yang dicatat dalam artikel New Yorker dan obituari Reuters 2008 untuk Aitmatov, dia menulis dengan cara yang “eliptis, alegoris,” dan karyanya “seringkali memadukan mitos dan cerita rakyat populer untuk menciptakan tema alegoris yang dihuni oleh karakter-karakter yang realistis.” Aitmatov sendiri mengakui hal ini, menulis dalam pengantar novelnya “The Day Lasts More Than a Hundred Years”.
Meski demikian, cerita ini seringkali beredar di media sosial dan digunakan untuk mengkritik berbagai hal, termasuk kebijakan penanganan COVID-19. Namun, perlu diingat bahwa cerita ini hanyalah sebuah anekdot yang ditulis puluhan tahun setelah kematian Stalin oleh seorang penulis anti-Stalin yang menggunakan alegori dalam karyanya. Seorang biografer Stalin bahkan menyatakan bahwa anekdot ini adalah palsu.
Namun, Cerita tentang Stalin dan ayam tersebut dapat digunakan sebagai analogi untuk memahami fenomena yang terjadi dalam kontestasi politik, termasuk di Indonesia. Ada fenomena praktek politik ‘ayam-ayam Stalin’ pada setiap musim politik.
Praktek politik ‘ayam-ayam Stalin’ menyasar strata sosial menengah ke bawah. Bahkan bisa juga ‘menyundul’ kelas atas. Tentu saja stuktur piramidanya didominasi oleh warga kelas bawah, sebagai warga yang dipersepsikan lemah, miskin, dan bodoh.
Sama seperti Stalin yang mencabuti bulu ayam dan kemudian memberinya makan, politisi sering kali menggunakan taktik serupa untuk mempengaruhi pemilih. Mereka menjanjikan berbagai manfaat dan fasilitas publik selama kampanye, yang bisa dianggap sebagai ‘biji-bijian’ bagi rakyat.
Ayam dalam cerita tersebut menjadi tergantung pada Stalin untuk makanan dan perlindungan, mirip dengan bagaimana sebagian rakyat mungkin merasa tergantung pada pemimpin atau partai politik tertentu. Ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti adanya program bantuan sosial atau kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu.
Dalam cerita tersebut, Stalin menggunakan rasa sakit dan ketakutan ayam untuk mengendalikannya. Dalam konteks politik, taktik serupa bisa digunakan, seperti menakut-nakuti rakyat dengan konsekuensi negatif jika mereka tidak memilih pemimpin atau partai tertentu.
Inilah realisme politik, bahkan bertentangan dengan realitas atribut sosial masyarakat. Realisme politik memandang politik tentang kekuasaan dan kepentingan diri an sich. Dalam pandangan ini, taktik apa pun yang efektif, termasuk yang kotor dan manipulatif, dapat diterima.
Pada saat yang sama, realitas atribut sosial masyarakat (Indonesia) menganut norma dan moral agama. Dan Islam sebagai atribut dominan.
Islam memandang politik adalah bagian integral dari kehidupan dan bukan sesuatu yang kotor atau tidak baik, serta memiliki relasi dengan kehidupan akhirat. Islam menekankan pentingnya berpolitik berdasarkan aturan dan moral agama. Sehingga, dalam konteks kepemimpinan, pemimpin harus berusaha meraih kekuasaan dengan cara yang halal, dan tidak semata-mata mengenai kekuasaan saja.
Islam mengajarkan bahwa kekuasaan dan kedudukan bukanlah tujuan utama dalam politik. Sebaliknya, politik harus fokus pada memelihara, mengatur, dan menata agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik, sehingga harus dicapai dengan metode dan cara yang benar. Islam menolak segala bentuk manipulasi dalam politik. Sebaliknya, Islam mendorong transparansi dan kejujuran dalam semua aspek kehidupan, termasuk politik.
Inilah realitas politik masa kini yang dikangkangi oleh Ideologi Kapitalisme. Mayoritas negara di dunia termasuk aktor politiknya adalah rombongan besar peserta kapitalisme. Masyarakatnya? Tentu saja ikut serta. Wallahu A’lam Bishawab. []