Community

Kritik Pembangunan dari Surah Al-Baqarah

Pembangunan sering kali dianggap sebagai simbol kemajuan dan keberhasilan suatu bangsa. Gedung-gedung tinggi, jalan tol yang membentang, dan berbagai inovasi teknologi dianggap sebagai bukti nyata perbaikan. Namun, Al-Qur’an mengingatkan kita untuk tidak tertipu oleh penampilan luar yang menawan. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 11–12, Allah menegaskan bahwa ada orang-orang yang mengaku sedang melakukan pembangunan atau perbaikan (islah), padahal sejatinya mereka sedang menebar kerusakan di muka bumi.

Ketika mereka ditegur agar tidak berbuat kerusakan, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanya melakukan perbaikan.” Jawaban ini menyiratkan ironi yang sangat tajam. Mereka merasa benar, padahal sebenarnya menyimpang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Fenomena ini sangat relevan dengan kondisi dunia modern yang sering mengklaim berbagai proyek sebagai wujud kemajuan, padahal justru merusak tatanan kehidupan.

Ambil contoh pembangunan kawasan wisata yang menjadikan hiburan malam dan industri seks sebagai penggerak ekonomi. Meski dianggap menguntungkan secara finansial, aktivitas tersebut melanggar ajaran Islam dan justru menghancurkan moral masyarakat. Banyak tempat hiburan yang merusak nilai keluarga dan menyuburkan gaya hidup hedonistik.

Kritik Pembangunan dari Surah Al-Baqarah Read More »

Kisah Qadhi Syuraih: Hakim Legendaris yang Jadi Teladan Sepanjang Masa

Syuraih bin Harits al-Kindi atau lebih dikenal sebagai Qadhi Syuraih merupakan sosok legendaris dalam sejarah Islam. Ia lahir di Hadhramaut, Yaman, sekitar tahun 593 Masehi. Meskipun ia hidup di masa Rasulullah ﷺ, ia tidak pernah berjumpa langsung dengan beliau. Oleh karena itu, ia tergolong dalam kalangan tabi’in, yaitu generasi setelah para sahabat Nabi.

Syuraih memeluk Islam di masa Nabi Muhammad ﷺ masih hidup. Kendati tidak bertatap muka langsung dengan Rasulullah, kecintaannya terhadap ajaran Islam begitu besar. Ia dikenal sebagai seorang pencari kebenaran dan keadilan, karakter yang kelak membawanya menjadi salah satu hakim paling berpengaruh dalam sejarah dunia Islam.

Namanya mencuat pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Pada masa itu, ia terlibat dalam sengketa jual beli kuda antara Umar dan seorang penjual. Dalam perkara ini, Umar merasa dirugikan karena kudanya mengalami cacat setelah transaksi dilakukan. Umar pun membawa perkara tersebut ke pengadilan.

Dalam keputusan yang mengejutkan banyak orang, Qadhi Syuraih menyatakan bahwa Umar harus menerima kuda tersebut karena kondisinya masih baik saat akad berlangsung. Keputusan ini menegaskan ketegasan dan kejujuran Syuraih dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Ia tidak takut untuk memutuskan perkara meski lawannya adalah seorang khalifah.

Kisah Qadhi Syuraih: Hakim Legendaris yang Jadi Teladan Sepanjang Masa Read More »

Ternyata Kapitalisme Merusak Tata Kelola Kepemilikan dalam Ekonomi

Kapitalisme sering dipuji karena dianggap mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Namun, di balik pencapaian tersebut, tersimpan kekacauan dalam struktur kepemilikan. Kapitalisme menjadikan kepemilikan sebagai hak mutlak individu tanpa batasan sosial atau moral. Hasilnya, kepemilikan yang semestinya ditata demi kesejahteraan bersama justru berubah menjadi alat eksploitasi oleh segelintir orang yang berkuasa.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki sistem kepemilikan yang jelas dan terstruktur. Kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga jenis utama: kepemilikan individu (Milkiyah Fardiyyah), kepemilikan umum (Milkiyah ‘Ammah), dan kepemilikan negara (Milkiyah Daulah). Ketiga jenis kepemilikan ini memiliki peran masing-masing dan disusun untuk memastikan keadilan serta keseimbangan dalam masyarakat.

Kepemilikan individu atau Milkiyah Fardiyyah mencakup segala harta yang diperoleh secara sah oleh seseorang melalui jalur syar’i, seperti warisan, jual beli, hadiah, atau hibah. Contohnya termasuk rumah, kendaraan, pakaian, dan alat kerja. Dalam Islam, kepemilikan ini dilindungi, namun tidak bersifat mutlak. Pemilik tetap memiliki kewajiban sosial seperti membayar zakat dan membantu sesama.

Ternyata Kapitalisme Merusak Tata Kelola Kepemilikan dalam Ekonomi Read More »

Teladan Integritas Penegak Hukum Era Kepemimpinan Islam

Pada masa awal Islam, tepatnya di era Khulafaurrasyidin, penegakan hukum tak hanya dijalankan sebagai kewajiban administratif, tetapi menjadi cermin dari nilai-nilai spiritual dan moral pemimpin. Para khalifah pertama dalam sejarah Islam dikenal tidak hanya karena kepiawaian mereka dalam memimpin, tetapi juga karena ketegasan dan keadilan dalam menjalankan hukum, bahkan kepada orang-orang terdekat mereka. Ini menjadi teladan penting bagi dunia modern dalam membangun sistem hukum yang bersih dan berintegritas.

Khalifah Umar bin Khattab menjadi tokoh yang sangat dikenal dalam konteks penegakan hukum. Ia dikenal tegas, berani, dan tidak pandang bulu dalam menjalankan aturan. Ketika seorang anak pejabat melakukan pelanggaran, Umar tetap menjatuhkan hukuman sebagaimana mestinya, tanpa memberikan keistimewaan sedikit pun. Ia juga menerapkan sistem pengawasan terhadap para pejabat dan hakim, termasuk menerima laporan dari rakyat secara langsung.

Tidak kalah penting adalah peran Abu Bakar As-Siddiq, khalifah pertama, yang meletakkan dasar moral kepemimpinan Islam. Dalam pidato pertamanya, ia menyampaikan bahwa jabatan bukanlah kehormatan, melainkan amanah yang akan dipertanggungjawabkan. Ia memberi ruang kepada rakyat untuk mengkritik dan mengoreksi kebijakan, sebuah praktik yang menggambarkan keterbukaan dan partisipasi publik yang sangat maju untuk zamannya.

Teladan Integritas Penegak Hukum Era Kepemimpinan Islam Read More »

Perjalanan Hukum Tuhan di Bumi, Digugat Hukum Manusia

Sejak awal penciptaannya, manusia telah diangkat sebagai khalifah oleh Allah SWT di muka bumi. Amanah besar ini tidak terlepas dari tanggung jawab utama untuk menegakkan hukum-hukum Allah sebagai pedoman hidup. Sejak Nabi Adam AS, hukum-hukum Allah telah menjadi fondasi kehidupan umat manusia. Dunia ini diciptakan bukan untuk berjalan tanpa aturan, melainkan telah diatur dengan syariat ilahi sejak awal keberadaannya.

Namun, dalam rentang sejarah yang panjang, manusia sering kali menyimpang dari hukum Allah. Ketika wahyu tidak lagi diturunkan, dan para Nabi belum diutus, terjadilah masa yang disebut fatrah, yaitu kekosongan risalah. Pada masa ini, manusia cenderung membuat aturan sendiri, menuruti hawa nafsu, dan kehilangan arah. Kesesatan meluas, dan bumi pun kembali diliputi kerusakan. Maka, sebagai bentuk kasih sayang-Nya, Allah mengutus para Nabi untuk meluruskan kembali jalan umat manusia dengan membawa hukum-Nya.

Seluruh Nabi dan Rasul yang diutus membawa satu misi utama: menyeru kepada tauhid dan menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah umatnya. Mereka tidak pernah membawa ajaran dari hasil pikirannya sendiri. Hukum yang mereka sampaikan adalah wahyu, cahaya yang menerangi jalan manusia. Risalah ini berpuncak pada diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi dan pembawa syariat yang sempurna untuk seluruh umat dan segala zaman.

Perjalanan Hukum Tuhan di Bumi, Digugat Hukum Manusia Read More »

Jangkar Legitimasi Kepemimpinan Islam di Balik Monarki Herediter

Pembahasan mengenai sejarah kepemimpinan Islam, tak bisa dipisahkan dengan Kekhalifahan Islam. Khilafah, secara etimologis berarti “pengganti” atau “wakil”, mengacu pada otoritas kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ideal awal khilafah mencerminkan kepemimpinan yang berbasis musyawarah (syura) dan partisipasi umat melalui bai’at — ikrar loyalitas sebagai legitimasi moral dan sosial. Namun, sejarah mencatat transisi besar dari sistem ini menuju monarki herediter, yaitu warisan kekuasaan melalui jalur keluarga. Yang menarik, dalam perubahan sistem tersebut, para penguasa tetap menggunakan gelar “khalifah”, bukan “raja”. Mengapa? Apa landasan yang memungkinkan gelar khilafah tetap melekat pada sistem pewarisan kekuasaan ini?

Dalam sejarah Islam, bai’at merupakan fondasi utama legitimasi kepemimpinan. Praktik ini telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad SAW lalu Khulafaur Rasyidin, dimulai dengan bai’at kepada Abu Bakar, lalu Umar, Utsman, dan Ali. Bai’at dalam masa ini dilakukan secara sukarela oleh umat dan elite sahabat sebagai wujud penerimaan terhadap pemimpin baru. Praktek ini tidak berhenti di masa Khulafaur Rasyidin, tetapi terus dilestarikan dalam berbagai bentuk oleh dinasti-dinasti sesudahnya, termasuk Umayyah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyyah. Dalam sistem monarki, meskipun proses pewarisan dilakukan secara turun-temurun, bai’at tetap dilaksanakan sebagai ritual penting untuk memperkuat otoritas khalifah, baik di kalangan istana maupun ulama dan masyarakat.

Jangkar Legitimasi Kepemimpinan Islam di Balik Monarki Herediter Read More »

Rahasia di Balik Daya Resiliensi Peradaban Islam

Resiliensi bukan sekadar kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi krisis, tetapi juga mencakup kapasitas untuk beradaptasi, berkembang, dan bangkit kembali setelah mengalami guncangan hebat. Dalam konteks sejarah peradaban, resiliensi mencerminkan daya tahan suatu masyarakat dalam menjaga identitas, nilai-nilai inti, dan struktur fundamentalnya, meskipun diguncang oleh konflik, invasi, ataupun kehancuran besar. Peradaban yang resiliens mampu bertransformasi tanpa kehilangan jati dirinya, terus bergerak maju, dan mempertahankan relevansi meski menghadapi tantangan zaman yang berubah-ubah.

Peradaban Islam adalah contoh nyata dari resiliensi historis yang luar biasa. Selama lebih dari tiga belas abad, umat Islam tidak hanya mempertahankan identitas keagamaannya, tetapi juga menciptakan dan melanjutkan sebuah peradaban global yang terus berkembang, menyesuaikan diri dengan konteks zaman tanpa kehilangan akarnya. Resiliensi tersebut tidak hanya muncul dari bentuk-bentuk institusional seperti negara dan kekuasaan politik, melainkan bersumber dari kekuatan nilai-nilai spiritual, ajaran moral, serta gagasan universal yang membentuk fondasi kehidupan umat Muslim.

Rahasia di Balik Daya Resiliensi Peradaban Islam Read More »

Indonesia Emas Terancam dari Dimensi Literasi?

Ketika Indonesia memancang cita-cita besar menjadi negara maju pada tahun 2045 lewat visi Indonesia Emas, ada satu dimensi dasar yang kerap terpinggirkan: literasi. Kemampuan membaca, memahami informasi, dan berpikir kritis bukan sekadar modal pelengkap—melainkan fondasi utama yang menentukan arah dan kualitas kemajuan bangsa. Tanpa kemampuan tersebut, kemajuan teknologi, pertumbuhan ekonomi, atau kecanggihan industri bisa menjadi bangunan rapuh tanpa dasar yang kokoh.

Menurut catatan UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Itu berarti, dari setiap 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar memiliki kebiasaan membaca. Riset lain mencatat bahwa orang Indonesia rata-rata hanya membaca sekitar 5,91 buku per tahun dan menghabiskan sekitar 129 jam untuk membaca dalam setahun. Padahal secara infrastruktur, Indonesia tergolong siap: perpustakaan tersedia di banyak tempat, akses internet makin luas, dan gawai digital merajalela. Masalahnya bukan pada sarana, tetapi pada budaya—membaca belum menjadi kebiasaan yang hidup dalam keseharian.

Indonesia Emas Terancam dari Dimensi Literasi? Read More »

Sidoharjo: Desa Santri di Jantung Lampung Selatan

Jika ada yang bertanya, “Desa manakah di Indonesia yang layak disebut sebagai desa santri?” maka jawabannya tidak selalu harus dicari di jantung Pulau Jawa.

Selama ini, ketika istilah “desa santri” disebutkan, bayangan banyak orang langsung tertuju pada kawasan pedesaan di Jawa Timur, Jawa Tengah, atau Jawa Barat. Wilayah-wilayah ini memang dikenal dengan tradisi pesantren yang kuat dan kehidupan religius yang mengakar dalam masyarakatnya.

Gambaran tersebut terasa begitu dominan, seolah-olah hanya di Pulau Jawa-lah desa-desa religius dapat tumbuh dan berkembang.

Namun anggapan itu tidak sepenuhnya tepat. Di luar Pulau Jawa, tepatnya di bagian selatan Pulau Sumatera, terdapat sebuah desa yang mampu membalik stereotip tersebut.

Desa Sidoharjo di Lampung Selatan dikenal karena kehidupan keagamaannya yang hidup, keberadaan pesantren yang aktif, serta semangat religius yang meresap dalam keseharian warganya.

Desa ini menjadi bukti bahwa identitas “desa santri” tidak eksklusif milik Jawa.

Meski demikian, Pulau Jawa tetap menyimpan banyak desa yang layak menyandang predikat “desa santri.”

Sidoharjo: Desa Santri di Jantung Lampung Selatan Read More »

Jika Umar bin Khattab Menangani Krisis Iklim, Bagaimana Jadinya?

Dalam suasana reflektif awal Muharram, ketika umat Islam mengenang hijrahnya Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat, kita teringat dengan sosok teladan: Umar bin Khattab. Momentum ini bersamaan dengan maraknya diskusi tentang lingkungan hidup dan krisis iklim. Muncul sebuah pertanyaan yang menggugah: jika Umar bin Khattab hidup di era krisis iklim global seperti sekarang, bagaimana cara beliau memimpinnya?

Dunia saat ini tengah dilanda berbagai bencana akibat pemanasan global—dari gelombang panas ekstrem, banjir bandang, hingga kebakaran hutan yang tak kunjung padam. Di tengah kebingungan moral dan ketidaktegasan politik, teladan Umar sebagai pemimpin yang adil, tegas, dan bertanggung jawab bisa menjadi inspirasi penting.

Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam sejarah Islam, dikenal luas sebagai pemimpin yang bersih, tidak berpihak, dan sangat peduli terhadap keadilan. Dalam konteks krisis iklim, sikapnya yang tidak mentolerir ketimpangan sosial sangat relevan. Hari ini, ketidakadilan iklim tampak nyata: negara-negara berkembang menanggung dampak terbesar dari krisis lingkungan, meski mereka bukanlah penyumbang utama emisi karbon. Sementara itu, negara-negara maju yang lebih banyak mencemari atmosfer sering kali menghindar dari tanggung jawabnya.

Jika Umar bin Khattab Menangani Krisis Iklim, Bagaimana Jadinya? Read More »