Sunashadi

Badai Petir, Ancaman Baru untuk Hutan Tropis

Pohon-pohon di hutan tropis kini mengalami kematian massal dengan laju yang mengkhawatirkan, dan penyebabnya bukan hanya pemanasan global atau kekeringan. Para ilmuwan menemukan fakta mengejutkan: badai petir biasa, yang sering diabaikan, menjadi salah satu pemicu utama matinya pohon-pohon besar di hutan hujan. Badai-badai ini, meskipun singkat, membawa angin kencang dan petir yang mampu merobohkan pohon-pohon besar hanya dalam hitungan menit.

Penelitian terbaru yang dipimpin oleh Evan Gora, seorang ahli ekologi hutan dari Cary Institute of Ecosystem Studies, menunjukkan bahwa badai petir yang makin sering terjadi akibat perubahan iklim bisa menjadi penyebab utama meningkatnya kematian pohon tropis. Bahkan, di beberapa wilayah, badai petir mungkin bertanggung jawab atas 30 hingga 60 persen kematian pohon, sebuah angka yang jauh lebih tinggi dari dugaan sebelumnya.

Badai ini bukan jenis topan besar atau siklon, melainkan badai konvektif biasa yang sering kali berlangsung singkat namun sangat kuat. Dengan kilat menyambar dan angin menghantam, badai ini menghancurkan kanopi hutan, menjatuhkan ranting, daun, bahkan batang pohon raksasa. Sayangnya, ancaman ini selama ini nyaris tak masuk hitungan dalam penelitian tentang hutan atau model iklim global.

Badai Petir, Ancaman Baru untuk Hutan Tropis Read More »

Kristian Birkeland: Penemu Aurora dan Pelopor Arus Luar Angkasa

Kristian Olaf Birkeland adalah ilmuwan asal Norwegia yang namanya kini diakui dunia karena penjelasannya tentang aurora borealis atau cahaya utara. Ia lahir pada 13 Desember 1867 di Oslo, yang saat itu masih bernama Christiana. Sejak muda, Birkeland dikenal memiliki rasa ingin tahu besar terhadap ilmu pengetahuan. Ia mulai kuliah di Universitas Oslo pada tahun 1885 dan awalnya memilih jurusan kimia serta matematika. Namun, minatnya lebih kuat pada fisika teoretis, dan akhirnya ia lulus pada tahun 1890.

Kehidupan pribadi Birkeland tidak banyak menjadi sorotan, namun ia sempat menikah dengan Ida Charlotte Hammer pada tahun 1905. Sayangnya, pernikahan itu tidak menghasilkan keturunan. Kecintaannya pada penelitian membuat hubungan mereka renggang, dan akhirnya mereka bercerai pada tahun 1911. Birkeland memang dikenal sebagai sosok yang sangat fokus pada pekerjaannya, bahkan rela mengorbankan kehidupan pribadinya.

Kontribusi terbesar Birkeland datang dari rasa penasarannya terhadap fenomena aurora borealis. Ia memimpin serangkaian ekspedisi ke wilayah kutub utara Norwegia antara tahun 1899 hingga 1900 untuk mengamati fenomena itu secara langsung. Dalam ekspedisi ini, ia mendirikan beberapa observatorium untuk mengumpulkan data medan magnet di wilayah lintang tinggi. Dari data ini, Birkeland mulai memahami pola arus listrik di kutub yang menjadi kunci terbentuknya aurora.

Kristian Birkeland: Penemu Aurora dan Pelopor Arus Luar Angkasa Read More »

Perjalanan Hukum Tuhan di Bumi, Digugat Hukum Manusia

Sejak awal penciptaannya, manusia telah diangkat sebagai khalifah oleh Allah SWT di muka bumi. Amanah besar ini tidak terlepas dari tanggung jawab utama untuk menegakkan hukum-hukum Allah sebagai pedoman hidup. Sejak Nabi Adam AS, hukum-hukum Allah telah menjadi fondasi kehidupan umat manusia. Dunia ini diciptakan bukan untuk berjalan tanpa aturan, melainkan telah diatur dengan syariat ilahi sejak awal keberadaannya.

Namun, dalam rentang sejarah yang panjang, manusia sering kali menyimpang dari hukum Allah. Ketika wahyu tidak lagi diturunkan, dan para Nabi belum diutus, terjadilah masa yang disebut fatrah, yaitu kekosongan risalah. Pada masa ini, manusia cenderung membuat aturan sendiri, menuruti hawa nafsu, dan kehilangan arah. Kesesatan meluas, dan bumi pun kembali diliputi kerusakan. Maka, sebagai bentuk kasih sayang-Nya, Allah mengutus para Nabi untuk meluruskan kembali jalan umat manusia dengan membawa hukum-Nya.

Seluruh Nabi dan Rasul yang diutus membawa satu misi utama: menyeru kepada tauhid dan menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah umatnya. Mereka tidak pernah membawa ajaran dari hasil pikirannya sendiri. Hukum yang mereka sampaikan adalah wahyu, cahaya yang menerangi jalan manusia. Risalah ini berpuncak pada diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi dan pembawa syariat yang sempurna untuk seluruh umat dan segala zaman.

Perjalanan Hukum Tuhan di Bumi, Digugat Hukum Manusia Read More »

Birdseye: Kisah Inspiratif Penemu Makanan Beku

Clarence Frank Birdseye II mungkin bukan nama yang sering terdengar, tetapi berkat penemuannya, jutaan orang di seluruh dunia dapat menikmati makanan beku yang praktis dan tahan lama. Birdseye adalah orang di balik lahirnya industri makanan beku modern, dan penemuannya masih digunakan hingga hari ini. Ia bukan hanya seorang penemu, tetapi juga seorang naturalis dan wirausahawan yang tak pernah menyerah menghadapi tantangan.

Lahir pada 9 Desember 1886 di Brooklyn, New York, Birdseye tumbuh di tengah keluarga besar sebagai anak keenam dari sembilan bersaudara. Ia sempat belajar di Amherst College, namun harus keluar karena kendala biaya. Meski begitu, semangat belajarnya tidak padam. Ia mulai bekerja di Departemen Pertanian Amerika Serikat dan mengawali kariernya sebagai ahli pengawetan hewan (taksonomis).

Ia sempat bertugas di Arizona dan New Mexico sebagai naturalis muda. Salah satu tugasnya adalah memburu coyote, hewan sejenis serigala. Ia juga bekerja sama dengan ilmuwan serangga, Willard Von Orsdel King, untuk menangkap ratusan mamalia kecil dan meneliti kutu penyebab demam berbintik Rocky Mountain, sebuah penyakit berbahaya yang sempat menjadi misteri.

Pada tahun 1912, Birdseye pindah ke Labrador, wilayah dingin di Kanada, untuk menjadi penjebak hewan bulu sekaligus meneliti ikan dan satwa liar. Di sanalah ia mulai tertarik pada cara membekukan makanan. Ia belajar langsung dari orang Inuit bagaimana memancing ikan di bawah lapisan es yang sangat tebal. Karena suhu ekstrem hingga -40°C, ikan beku secara alami dan tetap segar saat dicairkan. Ia pun menyadari bahwa makanan beku di New York jauh lebih buruk kualitasnya.

Pengalaman di Labrador membuat Birdseye berpikir untuk menciptakan cara membekukan makanan secara cepat. Saat itu, proses pembekuan masih lambat dan suhu tidak cukup rendah, sehingga kristal es yang terbentuk merusak jaringan makanan. Ia pun mencari cara untuk mempercepat proses pembekuan agar es yang terbentuk lebih kecil dan tidak merusak tekstur makanan.

Pada tahun 1922, Birdseye mulai bereksperimen membekukan ikan di Clothel Refrigerating Company. Ia lalu mendirikan perusahaannya sendiri bernama Birdseye Seafoods Incorporated. Awalnya, ia membekukan ikan dengan udara bersuhu -43°C. Namun bisnis ini tidak langsung sukses dan harus bangkrut dua tahun kemudian karena produk makanan beku belum diminati masyarakat.

Tak patah semangat, di tahun yang sama, Birdseye menciptakan metode baru: ikan dikemas dalam karton, lalu ditekan di antara dua permukaan dingin. Proses ini jauh lebih cepat dan hasilnya lebih baik. Ia kemudian mendirikan perusahaan baru bernama General Seafood Corporation yang menjadi cikal bakal industri makanan beku modern.

Pada tahun 1925, ia memindahkan usahanya ke Gloucester, Massachusetts dan menciptakan mesin baru bernama double belt freezer. Mesin ini menggunakan sabuk baja dingin yang membawa makanan hingga membeku dalam waktu sangat cepat. Penemuannya ini dipatenkan dengan nomor US Patent #1,773,079, dan menjadi tonggak penting dalam sejarah makanan beku.

Birdseye terus berinovasi dan menciptakan berbagai mesin baru untuk mempercepat pembekuan makanan dengan lebih efektif. Ia pun mulai memperluas jenis makanan yang dibekukan, tak hanya ikan, tetapi juga sayuran, ayam, daging, dan buah-buahan. Proses ini mampu menjaga cita rasa dan tekstur makanan lebih baik dibandingkan metode lama.

Pada tahun 1929, ia menjual perusahaannya beserta paten-patennya kepada Goldman Sachs dan Postum Company dengan nilai sekitar 22 juta dolar—jumlah yang sangat besar pada masa itu. Perusahaan itu kemudian menjadi bagian dari General Foods Corporation, dan merek “Birds Eye” masih digunakan hingga kini sebagai salah satu merek makanan beku ternama.

Meski tidak lagi memiliki perusahaannya sendiri, Birdseye tetap bekerja sebagai konsultan dan terus mengembangkan teknologi makanan beku yang lebih baik. Ia bahkan meneliti metode dehidrasi makanan dan menyebutnya sebagai “makanan tanpa air”. Ia selalu berpikir jauh ke depan untuk masa depan makanan praktis.

Dalam kehidupan pribadinya, Birdseye menikah dengan Eleanor Garrett pada tahun 1915 saat tinggal di Labrador. Mereka dikaruniai seorang putra bernama Kellogg. Meski kariernya penuh pencapaian besar, kehidupan keluarganya tetap menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Clarence Birdseye meninggal dunia pada 7 Oktober 1956 di Hotel Gramercy Park, New York, karena serangan jantung. Ia berusia 69 tahun saat wafat. Jenazahnya dikremasi dan abunya disebar di laut lepas dekat Gloucester, kota yang menjadi tempat berkembangnya penemuannya.

Warisan Birdseye tidak hanya hidup dalam bentuk makanan beku yang ada di setiap lemari es, tetapi juga dalam inovasi dan semangat pantang menyerah. Ia membuktikan bahwa ide sederhana yang didapat dari pengalaman di lapangan bisa mengubah dunia. Kini, setiap kali kita membuka freezer dan menikmati makanan beku, kita turut menikmati hasil jerih payah seorang penemu brilian yang tak kenal lelah.

Merek “Birds Eye” tetap menjadi salah satu pemimpin pasar dalam industri makanan beku dunia. Nama itu menjadi simbol dari kenyamanan dan kualitas yang bisa dinikmati banyak keluarga setiap hari, berkat seorang pria yang memulai semuanya dari pengalaman memancing di bawah es kutub.[]

Birdseye: Kisah Inspiratif Penemu Makanan Beku Read More »

Produksi Energi Terbarukan Tidak Serta Merta Mengurangi Produksi Energi Fosil di Amerika

Penambahan kapasitas energi terbarukan di Amerika Serikat ternyata tidak secara otomatis menurunkan produksi bahan bakar fosil. Temuan ini berasal dari sebuah studi yang dilakukan oleh Ryan Thombs, asisten profesor sosiologi pedesaan dari Penn State University.

Dalam riset yang dipublikasikan di Journal of Environmental Studies and Sciences pada 20 Mei 2025, Thombs menganalisis data produksi energi dari 33 negara bagian penghasil bahan bakar fosil di AS, mencakup periode antara tahun 1997 hingga 2020. Amerika sendiri adalah penghasil energi dan pengemisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia.

Hasilnya cukup mengejutkan. Thombs tidak menemukan hubungan langsung antara peningkatan energi terbarukan dan penurunan produksi bahan bakar fosil. Ini berarti bahwa meningkatnya energi dari sumber terbarukan seperti matahari, angin, dan air belum tentu menggantikan energi dari batu bara, minyak bumi, atau gas alam.

Faktor-faktor tetap seperti ketersediaan cadangan bahan bakar fosil di tiap negara bagian ternyata menjelaskan lebih dari 96% variasi dalam produksi energi fosil. Artinya, negara bagian dengan cadangan fosil besar tetap cenderung terus memproduksi bahan bakar tersebut, terlepas dari seberapa banyak mereka berinvestasi dalam energi terbarukan.

Produksi Energi Terbarukan Tidak Serta Merta Mengurangi Produksi Energi Fosil di Amerika Read More »

Jangkar Legitimasi Kepemimpinan Islam di Balik Monarki Herediter

Pembahasan mengenai sejarah kepemimpinan Islam, tak bisa dipisahkan dengan Kekhalifahan Islam. Khilafah, secara etimologis berarti “pengganti” atau “wakil”, mengacu pada otoritas kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ideal awal khilafah mencerminkan kepemimpinan yang berbasis musyawarah (syura) dan partisipasi umat melalui bai’at — ikrar loyalitas sebagai legitimasi moral dan sosial. Namun, sejarah mencatat transisi besar dari sistem ini menuju monarki herediter, yaitu warisan kekuasaan melalui jalur keluarga. Yang menarik, dalam perubahan sistem tersebut, para penguasa tetap menggunakan gelar “khalifah”, bukan “raja”. Mengapa? Apa landasan yang memungkinkan gelar khilafah tetap melekat pada sistem pewarisan kekuasaan ini?

Dalam sejarah Islam, bai’at merupakan fondasi utama legitimasi kepemimpinan. Praktik ini telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad SAW lalu Khulafaur Rasyidin, dimulai dengan bai’at kepada Abu Bakar, lalu Umar, Utsman, dan Ali. Bai’at dalam masa ini dilakukan secara sukarela oleh umat dan elite sahabat sebagai wujud penerimaan terhadap pemimpin baru. Praktek ini tidak berhenti di masa Khulafaur Rasyidin, tetapi terus dilestarikan dalam berbagai bentuk oleh dinasti-dinasti sesudahnya, termasuk Umayyah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyyah. Dalam sistem monarki, meskipun proses pewarisan dilakukan secara turun-temurun, bai’at tetap dilaksanakan sebagai ritual penting untuk memperkuat otoritas khalifah, baik di kalangan istana maupun ulama dan masyarakat.

Jangkar Legitimasi Kepemimpinan Islam di Balik Monarki Herediter Read More »

MRI Ajaib: Mendeteksi Penuaan dan Risiko Demensia Sebelum Gejala Muncul

Bayangkan jika kesehatan masa depan Anda bisa terlihat dari satu pemindaian otak. Kini hal itu bukan lagi sekadar imajinasi. Para ilmuwan dari Duke University, Harvard, dan University of Otago di Selandia Baru telah menciptakan alat pemindai otak berbasis MRI yang dapat mengukur seberapa cepat seseorang menua. Bahkan, alat ini mampu memprediksi risiko penyakit seperti demensia dan penyakit kronis lainnya, jauh sebelum gejala pertama muncul.

Penelitian ini dipublikasikan pada 1 Juli 2025 di jurnal Nature Aging. Dengan menggunakan data dari studi jangka panjang yang melibatkan 1.037 orang sejak mereka lahir di kota Dunedin, Selandia Baru, para peneliti berhasil menciptakan sebuah model bernama DunedinPACNI. Model ini dilatih untuk memperkirakan kecepatan penuaan seseorang hanya melalui satu kali pemindaian otak MRI yang diambil ketika mereka berusia 45 tahun.

Berbeda dari alat ukur penuaan lainnya yang hanya mengandalkan data satu waktu dari kelompok usia berbeda, pendekatan ini menggunakan data riil yang melacak satu individu secara berkelanjutan. Selama hampir dua dekade, para peneliti memantau tekanan darah, indeks massa tubuh, kadar glukosa dan kolesterol, fungsi paru dan ginjal, bahkan kesehatan gigi para peserta studi.

MRI Ajaib: Mendeteksi Penuaan dan Risiko Demensia Sebelum Gejala Muncul Read More »

Alfred Binet: Penemu Tes Kecerdasan yang Mengubah Dunia Pendidikan

Alfred Binet adalah seorang psikolog asal Prancis yang berhasil mengubah cara dunia memandang kecerdasan manusia. Ia dikenal luas sebagai pelopor dalam bidang psikologi pendidikan, terutama karena jasanya menciptakan alat ukur yang kelak dikenal sebagai tes kecerdasan atau intelligence test. Meskipun pada masa hidupnya ia tidak sepenuhnya menyadari betapa besar pengaruh karyanya, nama Binet tetap dikenang sebagai salah satu tokoh besar dalam dunia psikologi modern.

Lahir di Nice, Prancis, pada bulan Juli tahun 1857, Binet tumbuh dalam keluarga yang cukup unik. Ayahnya adalah seorang dokter, sedangkan ibunya seorang seniman. Setelah kedua orang tuanya bercerai, Binet lebih banyak diasuh oleh sang ibu. Ketika berusia 15 tahun, ia sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam bidang sastra dan bahasa, bahkan menerima beberapa penghargaan dari sekolah bergengsi Louis-le-Grand di Paris. Meski menempuh pendidikan hukum hingga lulus, ia memilih untuk tidak menjalani profesi sebagai pengacara.

Minat Binet terhadap psikologi tumbuh secara mandiri. Di usia pertengahan dua puluhan, ia banyak menghabiskan waktu di Perpustakaan Nasional Paris untuk membaca buku-buku psikologi. Ia sangat terinspirasi oleh pemikiran Théodule Ribot dan John Stuart Mill, yang mendorong minatnya terhadap psikologi sensorik dan teori asosiasi.

Langkah awal Binet di dunia ilmiah dimulai ketika ia bertemu dengan ahli saraf ternama, Jean-Martin Charcot, di Rumah Sakit Salpêtrière pada awal tahun 1880-an. Ia pun terlibat dalam penelitian mengenai hipnosis dan histeria. Pengalaman ini memberinya pemahaman mendalam tentang pengaruh sugesti dalam eksperimen psikologis, meskipun ia sempat terjebak dalam teori kontroversial yang kemudian ia koreksi sendiri.

Pada tahun 1884, Binet menikahi Laure Balbiani, putri dari ahli embriologi terkenal Edouard-Gérard Balbiani. Mereka dikaruniai dua putri, Madeleine dan Alice, yang lahir berselang dua tahun. Ketika ia meninggalkan pekerjaannya di rumah sakit pada tahun 1890, Binet memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Ia melakukan berbagai eksperimen di rumah, mencatat perilaku dan reaksi mereka secara sistematis. Hasil pengamatan ini kemudian diterbitkan dalam tiga makalah ilmiah yang mengangkat perbedaan individu dan pengukuran kecerdasan.

Pada tahun 1892, Binet menjadi sukarelawan di Laboratorium Psikologi Eksperimental di Universitas Sorbonne. Tiga tahun kemudian, ia diangkat menjadi direktur laboratorium tersebut dan menjabat hingga akhir hayatnya. Bersama Henri Heaunis dan Théodore Simon, ia mendirikan jurnal psikologi L’Année Psychologique, yang hingga kini masih dianggap sebagai salah satu jurnal terpenting dalam sejarah psikologi.

Di sela-sela aktivitasnya, Binet juga bekerja sama dengan ahli kimia Victor Henri untuk meneliti memori visual dan aspek psikologi individu. Ia turut aktif dalam organisasi bernama Free Society for the Psychological Study of the Child dan menjadi anggota komisi pemerintah yang menangani pendidikan anak-anak dengan keterbelakangan mental.

Pada tahun 1903, Binet menerbitkan buku berjudul L’Étude Expérimentale de l’Intelligence yang merangkum metodenya dalam mengukur kecerdasan. Namun karya terbesarnya baru datang dua tahun kemudian, ketika ia bersama Théodore Simon menciptakan tes untuk mengukur kecerdasan anak-anak. Tes ini terdiri dari 30 soal dengan tingkat kesulitan bertahap. Dari hasilnya, dapat diukur usia mental seorang anak berdasarkan rerata kemampuan pada usia tertentu.

Skala Binet-Simon ini menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan. Dengan bantuan tes ini, guru dan orang tua bisa mengenali anak-anak yang membutuhkan bantuan khusus dalam belajar. Tes ini menjadi sangat populer di berbagai negara, meskipun Binet sendiri menekankan bahwa perkembangan mental tiap anak bisa berbeda-beda dan tidak boleh disamakan satu dengan yang lain.

Kesadaran Binet bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang tetap dan dapat berkembang dari waktu ke waktu menjadikannya sosok ilmuwan yang progresif. Ia menentang pandangan bahwa skor tes semata-mata menentukan nilai seseorang secara mutlak. Dalam pandangannya, tes hanyalah alat bantu untuk memahami potensi anak.

Tes Binet-Simon mengalami dua kali revisi, yaitu pada tahun 1908 dan 1911, yang semakin menyempurnakan struktur dan penerapannya. Sayangnya, pada tahun yang sama ketika revisi ketiga diterbitkan, Binet wafat pada tanggal 18 Oktober 1911. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam di kalangan ilmuwan dan pendidik.

Enam tahun setelah kematiannya, organisasi Free Society for the Psychological Study of the Child secara resmi mengganti nama menjadi La Société Alfred Binet untuk menghormati jasanya yang luar biasa. Ini menjadi simbol betapa besar warisan pemikirannya dalam membentuk sistem pendidikan modern.

Meskipun hidupnya tergolong singkat, pengaruh Alfred Binet sangat luas dan bertahan hingga hari ini. Karyanya menjadi fondasi bagi banyak perkembangan psikologi pendidikan dan pengukuran kecerdasan. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, ia dikenang bukan hanya sebagai penemu tes IQ, tetapi sebagai ilmuwan yang melihat manusia sebagai makhluk yang bisa berkembang dengan dukungan yang tepat.

Warisan Binet terus menginspirasi para psikolog, guru, dan orang tua dalam memahami anak-anak. Ia membuka jalan bagi sistem pendidikan yang lebih manusiawi, di mana setiap anak memiliki kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya. Pemikirannya menjadi bukti bahwa ilmu bisa membawa perubahan nyata dalam kehidupan manusia.[]

Alfred Binet: Penemu Tes Kecerdasan yang Mengubah Dunia Pendidikan Read More »

Rahasia di Balik Daya Resiliensi Peradaban Islam

Resiliensi bukan sekadar kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi krisis, tetapi juga mencakup kapasitas untuk beradaptasi, berkembang, dan bangkit kembali setelah mengalami guncangan hebat. Dalam konteks sejarah peradaban, resiliensi mencerminkan daya tahan suatu masyarakat dalam menjaga identitas, nilai-nilai inti, dan struktur fundamentalnya, meskipun diguncang oleh konflik, invasi, ataupun kehancuran besar. Peradaban yang resiliens mampu bertransformasi tanpa kehilangan jati dirinya, terus bergerak maju, dan mempertahankan relevansi meski menghadapi tantangan zaman yang berubah-ubah.

Peradaban Islam adalah contoh nyata dari resiliensi historis yang luar biasa. Selama lebih dari tiga belas abad, umat Islam tidak hanya mempertahankan identitas keagamaannya, tetapi juga menciptakan dan melanjutkan sebuah peradaban global yang terus berkembang, menyesuaikan diri dengan konteks zaman tanpa kehilangan akarnya. Resiliensi tersebut tidak hanya muncul dari bentuk-bentuk institusional seperti negara dan kekuasaan politik, melainkan bersumber dari kekuatan nilai-nilai spiritual, ajaran moral, serta gagasan universal yang membentuk fondasi kehidupan umat Muslim.

Rahasia di Balik Daya Resiliensi Peradaban Islam Read More »

Benarkah Orang Kidal Lebih Kreatif?

Selama bertahun-tahun, orang sering percaya bahwa orang kidal memiliki bakat kreatif yang lebih besar dibandingkan dengan yang dominan tangan kanan. Namun, penelitian terbaru dari Cornell University justru membantah anggapan tersebut. Tim psikolog yang dipimpin oleh Daniel Casasanto melakukan tinjauan besar terhadap hasil studi yang telah dilakukan selama lebih dari 100 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada bukti konsisten yang mendukung keunggulan kreativitas pada orang kidal. Bahkan, dalam beberapa tes, orang tangan kanan justru menunjukkan keunggulan tipis dalam kemampuan berpikir kreatif.

Dalam studi yang dipublikasikan pada 1 Juli 2025 dalam jurnal Psychonomic Bulletin and Review, Casasanto dan timnya menyaring hampir 1.000 makalah ilmiah sejak tahun 1900. Mayoritas studi tersebut dieliminasi karena tidak menyajikan data secara standar atau hanya melibatkan peserta tangan kanan. Hanya tersisa 17 studi yang dianalisis lebih lanjut, mencakup hampir 50 ukuran efek.

Mereka menemukan bahwa perbedaan dominasi tangan hampir tidak berpengaruh dalam tiga jenis tes laboratorium yang biasa digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir divergen, yaitu kemampuan menghasilkan berbagai ide baru dalam waktu singkat. Dalam beberapa tes, orang tangan kanan bahkan sedikit lebih unggul. Jadi, mitos bahwa orang kidal secara alami lebih kreatif ternyata tidak didukung oleh data ilmiah secara keseluruhan.

Benarkah Orang Kidal Lebih Kreatif? Read More »