Pembangunan yang tidak berpihak pada nilai spiritual akan kehilangan arah. Beton, baja, dan listrik bukanlah ukuran satu-satunya kemajuan. Pembangunan yang sejati adalah yang menjaga keseimbangan antara kemajuan fisik dan kebijaksanaan moral. Tanpa itu, yang tercipta hanyalah kerusakan yang sistematis dan meluas.
Al-Qur’an mengingatkan bahwa ukuran perbaikan bukan pada gemerlapnya kota, melainkan pada keberpihakan kepada keadilan, kejujuran, dan keberlanjutan alam. Kemajuan yang tidak berakar pada nilai ilahiah hanya akan menjadi bencana yang terorganisir.
Mereka yang tidak sadar sedang menyebar kerusakan—itulah yang disebut sebagai “mufsiduuna”. Mereka merasa sedang berbuat baik, tetapi sebenarnya menjadi penyebab utama kehancuran. Mereka inilah yang ditegur keras oleh Al-Qur’an, karena kerusakan mereka tidak hanya tampak secara lahir, tetapi juga merusak batin masyarakat.
Dalam konteks ini, peran umat Islam menjadi penting untuk meluruskan arah pembangunan. Kita tidak boleh diam melihat perusakan lingkungan, pelecehan moral, dan penindasan sosial dibungkus dalam retorika modernisasi. Suara kebenaran harus tetap bergema, meski dibungkam oleh kepentingan ekonomi dan kekuasaan.