Salah satu ulama terkemuka, Abu Hanifah, bahkan menolak jabatan sebagai hakim karena khawatir tidak bisa bersikap netral dalam tekanan politik. Sikap ini mencerminkan etika tinggi yang dijunjung oleh para ulama dalam menjaga kebebasan dan integritas hukum. Mereka meyakini bahwa keadilan tidak boleh dikendalikan oleh kekuasaan politik.
Pada masa Harun al-Rashid, sistem peradilan mengalami reformasi penting. Jabatan hakim dipisahkan dari peran penguasa. Hakim memiliki otoritas sendiri dan dipilih berdasarkan keilmuan dan ketakwaan, bukan karena kedekatan dengan elit politik. Ini adalah langkah maju dalam menciptakan sistem peradilan yang independen dan kredibel.
Lembaga pendidikan seperti di Baghdad menjadi pusat lahirnya pemikiran hukum Islam yang terstruktur. Para ulama dan cendekiawan merumuskan kerangka hukum berdasarkan prinsip maqashid syariah—yakni keadilan, perlindungan hak, dan kemaslahatan umat. Dengan demikian, hukum Islam tidak hanya membahas halal dan haram, tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan kesejahteraan masyarakat.