
Penambahan kapasitas energi terbarukan di Amerika Serikat ternyata tidak secara otomatis menurunkan produksi bahan bakar fosil. Temuan ini berasal dari sebuah studi yang dilakukan oleh Ryan Thombs, asisten profesor sosiologi pedesaan dari Penn State University.
Dalam riset yang dipublikasikan di Journal of Environmental Studies and Sciences pada 20 Mei 2025, Thombs menganalisis data produksi energi dari 33 negara bagian penghasil bahan bakar fosil di AS, mencakup periode antara tahun 1997 hingga 2020. Amerika sendiri adalah penghasil energi dan pengemisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia.
Hasilnya cukup mengejutkan. Thombs tidak menemukan hubungan langsung antara peningkatan energi terbarukan dan penurunan produksi bahan bakar fosil. Ini berarti bahwa meningkatnya energi dari sumber terbarukan seperti matahari, angin, dan air belum tentu menggantikan energi dari batu bara, minyak bumi, atau gas alam.
Faktor-faktor tetap seperti ketersediaan cadangan bahan bakar fosil di tiap negara bagian ternyata menjelaskan lebih dari 96% variasi dalam produksi energi fosil. Artinya, negara bagian dengan cadangan fosil besar tetap cenderung terus memproduksi bahan bakar tersebut, terlepas dari seberapa banyak mereka berinvestasi dalam energi terbarukan.