Khalifah dalam Islam tidak hanya dipahami sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai pemersatu umat, simbol kontinuitas syariat, dan penjaga hukum Islam. Oleh karena itu, sepanjang khalifah tetap mendapatkan bai’at — baik secara eksplisit dari masyarakat atau simbolik dari para ulama — maka klaimnya atas gelar tersebut tetap diterima dalam kerangka tradisional Islam. Bahkan ketika kekuasaan khalifah menjadi simbolis dan tidak lagi memiliki kontrol politik nyata, seperti pada masa akhir Abbasiyah atau era Utsmaniyyah, gelar itu tetap dijaga karena nilai historis, teologis, dan identitasnya sebagai pemimpin umat global.
Dengan demikian, alasan utama mengapa monarki herediter dalam sejarah Islam tetap disebut khilafah terletak pada keberlangsungan ritual bai’at, yang menjadikan transformasi sistem pemerintahan tetap terhubung dengan akar normatif Islam. Bai’at menjadi landasan transisional antara musyawarah dan monarki, menjembatani antara ideal dan realitas, antara keinginan umat dan mekanisme kekuasaan yang berkembang dalam sejarah panjang peradaban Islam. Kini, dengan berakhirnya praktik tersebut dalam sistem politik modern, makna khilafah sebagai institusi religio-politik transnasional telah tergantikan oleh sistem negara-bangsa, meninggalkan bai’at sebagai bagian dari memori historis umat, bukan lagi realitas politik kontemporer.[]