Salah satu hal yang sangat unik adalah bahwa ritual bai’at ini tidak ditemukan secara identik dalam sistem kepemimpinan manapun di luar Islam. Sistem monarki di Romawi, Persia, Cina, atau Eropa umumnya bergantung pada garis keturunan dan pengakuan aristokrasi, tetapi tidak memiliki kontrak religius-politik eksplisit seperti bai’at umat kepada imam atau khalifah. Islam memadukan unsur keagamaan dengan kewarganegaraan umat dalam ikatan suci bai’at, menjadikannya satu-satunya peradaban yang menjadikan partisipasi akidah sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik. Inilah yang membuat khilafah tetap memiliki identitas tersendiri, meskipun bentuk pemerintahannya menyerupai kerajaan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam sistem negara-bangsa (nation-state) modern di dunia Islam hari ini, praktik bai’at secara formal sudah tidak lagi diterapkan. Negara-negara Islam kontemporer — seperti Mesir, Arab Saudi, Turki, Indonesia, Pakistan, dan lainnya — menjalankan sistem kepemimpinan berbasis konstitusi nasional, pemilu, kerajaan, atau sistem presidensial, tanpa ritual bai’at keagamaan terhadap kepala negara sebagaimana pernah berlaku dalam sistem khilafah.
Dengan hilangnya praktik ini, kepemimpinan umat Islam secara global tidak lagi disatukan di bawah satu ikrar bai’at kepada satu pemimpin, melainkan tersebar dalam kerangka kedaulatan nasional masing-masing negara. Ini menandai berakhirnya peran bai’at sebagai legitimasi transnasional dan religius universal, yang dahulu menjadi poros utama sistem kekhalifahan.