Bai’at tidak hanya menjadi tanda loyalitas, tetapi juga merupakan “jangkar simbolik” yang menjembatani antara struktur monarki dan semangat khilafah Islam awal. Dengan tetap adanya prosesi bai’at — meskipun bukan dalam konteks pemilihan bebas — para penguasa menampilkan dirinya sebagai penerus sah dari otoritas Islam. Dalam kasus Muawiyah bin Abu Sufyan, ketika menunjuk putranya Yazid sebagai pewaris, bai’at tetap diminta dari para elite, walaupun tidak semua memberikan persetujuan. Praktik ini menandakan bahwa bai’at bukan dihapus, tetapi difungsikan ulang untuk melanggengkan sistem baru.
Dari segi syariat, pentingnya bai’at ditegaskan secara langsung dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
“Barangsiapa mati dan belum berbai’at kepada seorang imam, maka matinya seperti mati jahiliyyah.”
(HR. Muslim, no. 1851)
Hadis ini menjadi dasar kuat bagi para ulama untuk menegaskan bahwa adanya bai’at kepada seorang pemimpin umat adalah kewajiban syar’i, dan kekosongan kepemimpinan atau pengabaian proses ini dianggap sebagai penyimpangan terhadap perintah agama. Maka, meski penguasa naik melalui warisan dinasti, selama ia mendapatkan bai’at umat — baik melalui elite maupun ulama — maka statusnya sebagai khalifah tetap sah dalam pandangan syariah.