Islam & Eco-Arsitektural

Pada era Kekhilafahan Umayyah (661–750 M), kota seperti Damaskus mulai berkembang pesat. Meski bukti arsitektur yang spesifik untuk hewan belum banyak ditemukan, nilai etika terhadap makhluk hidup tetap hidup dalam praktik masyarakat sehari-hari, terutama dalam pertanian dan perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran ekologis sudah tumbuh sejak dini, meski belum tampak dominan secara visual.

Peningkatan yang signifikan terjadi pada masa Kekhilafahan Abbasiyah (750–1258 M). Di Baghdad, yang menjadi pusat ilmu dan budaya, fasilitas publik seperti tempat teduh dan penyediaan air untuk hewan di pasar mulai diperhatikan. Selain itu, berkembang pula ilmu kedokteran hewan dan zoologi. Ilmuwan seperti Al-Jahiz menulis tentang perilaku hewan, dan Ibn al-Baitar mengembangkan pengobatan untuk binatang. Di sini terlihat bahwa etika dan ilmu pengetahuan berjalan seiring.

Puncak perhatian arsitektural terhadap hewan terjadi di masa Dinasti Mamluk (1250–1517 M) dan lebih spektakuler lagi pada masa Kekhilafahan Utsmaniyah (1299–1924 M). Di Kairo, air mancur umum (sabil) dilengkapi dengan saluran air (hawd) khusus untuk hewan seperti keledai dan anjing liar. Di Istanbul, praktik ini dikembangkan menjadi sistem yang lebih kompleks melalui wakaf. Wakaf tidak hanya membiayai masjid atau madrasah, tetapi juga mendanai pembangunan rumah-rumah kecil, tempat makan, dan perlindungan bagi kucing jalanan. Kucing dihormati dalam budaya Islam, dan hal ini tercermin dalam arsitektur kota yang menyediakan celah, jendela kecil, dan area teduh untuk mereka.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *