Dalam musyawarah tersebut, hadir tokoh-tokoh besar seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, dan para sahabat lainnya. Mereka mendiskusikan dengan serius kapan sebaiknya kalender Islam dimulai. Beberapa usulan muncul. Ada yang mengusulkan agar kalender dimulai dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada pula yang menyarankan peristiwa turunnya wahyu pertama sebagai titik nol. Namun, gagasan yang paling kuat justru datang dari Ali bin Abi Thalib, yang mengusulkan agar kalender Islam dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Umar menyambut usulan ini dengan sepenuh hati. Baginya, hijrah bukan sekadar perpindahan geografis. Itu adalah momen transformasi besar dalam sejarah umat Islam—saat umat yang tertekan di Makkah berpindah ke Madinah dan membentuk masyarakat baru yang bebas, adil, dan berdaulat. Hijrah adalah titik awal berdirinya negara Islam, dan itu menjadi alasan yang sangat logis dan penuh makna untuk dijadikan permulaan kalender.
Setelah menyepakati bahwa awal kalender Islam harus dihitung dari tahun hijrah (622 Masehi), musyawarah kemudian membahas penentuan bulan pertama dalam kalender tersebut. Meskipun hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabiul Awal, namun yang dipilih sebagai bulan pertama adalah Muharram. Hal ini bukan keputusan yang sembarangan. Muharram adalah bulan suci yang telah dihormati bahkan sejak masa Jahiliah. Selain itu, bulan ini datang setelah umat Islam menunaikan ibadah haji di bulan Zulhijjah—momen spiritual yang sangat kuat. Dengan dimulainya tahun baru pada bulan suci ini, diharapkan umat Islam memulai tahun mereka dalam keadaan bersih dan penuh tekad baru.