Pendidikan tentang peran ayah seharusnya masuk dalam kurikulum pendidikan karakter sejak sekolah dasar. Anak-anak perlu diajak memahami bahwa menjadi ayah bukan hanya soal memberi nafkah, tetapi juga soal hadir, mendidik, dan menjadi teladan. Ini menjadi investasi jangka panjang untuk membangun generasi yang menghargai pentingnya peran ayah.
Selain negara, komunitas juga perlu bergerak. Program seperti sekolah ayah, komunitas parenting, dan konseling keluarga harus diperluas agar para ayah mendapatkan dukungan untuk lebih hadir secara emosional dalam keluarga. Gerakan-gerakan ini bisa menjadi pendorong perubahan budaya secara perlahan namun pasti.
Di era digital, teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk mendekatkan hubungan ayah dan anak, terutama bagi ayah yang harus bekerja jauh dari rumah. Video call, pesan singkat, dan berbagai aplikasi parenting bisa menjadi jembatan untuk menghadirkan figur ayah dalam kehidupan anak meskipun terpisah jarak.
Krisis fatherless bukan masalah yang bisa diselesaikan dalam semalam. Perlu upaya kolektif dari keluarga, masyarakat, dan negara untuk membangun kembali sosok ayah yang utuh: hadir secara fisik, emosional, dan spiritual. Ini adalah pekerjaan besar, tetapi penting untuk memastikan masa depan generasi Indonesia yang lebih kuat dan seimbang.