Fenomena fatherlessness tak cukup diatasi di tingkat keluarga saja. Negara perlu hadir melalui kebijakan yang mendukung peran ayah dalam pengasuhan. Cuti ayah yang adil, pendidikan tentang peran ayah di sekolah, serta kampanye publik yang menyeimbangkan maskulinitas dengan empati menjadi langkah penting membangun ulang peran ayah dalam masyarakat.
Sayangnya, hingga kini kebijakan cuti ayah di Indonesia masih sangat minim dan belum memadai untuk mendukung keterlibatan ayah sejak awal kelahiran anak. Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa keterlibatan ayah sejak dini berperan penting dalam perkembangan psikologis dan sosial anak. Indonesia perlu mencontoh negara-negara Skandinavia yang sukses dengan kebijakan cuti ayah yang progresif.
Media massa dan institusi pendidikan juga memiliki tanggung jawab besar untuk membentuk narasi baru tentang ayah. Maskulinitas tak boleh lagi dimaknai sebatas otoritas atau kekuatan fisik. Empati, kepedulian, dan kehadiran emosional harus menjadi bagian dari citra ayah masa kini. Narasi ini penting untuk membentuk budaya baru yang lebih mendukung keluarga utuh.