Jejak Bijak Hukum di Zaman Khulafaur Rasyidin

Contohnya, seperti yang disampaikan oleh Maimun bin Mahran, jika Abu Bakar atau Umar menghadapi persoalan yang tidak ada jawabannya dalam Al-Qur’an atau Sunnah, maka mereka akan mengumpulkan para sahabat pilihan untuk dimintai pendapat. Jika para sahabat sepakat, maka keputusan itu dijalankan. Pendekatan serupa juga dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib.

Menurut Ibnu Mas’ud, seseorang yang dimintai fatwa harus memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur’an. Jika tidak ada dalam Al-Qur’an atau belum pernah diputuskan oleh Rasulullah, maka ia boleh menggunakan pendapat orang-orang saleh atau berijtihad dengan akalnya—selama tetap menghindari hal-hal yang meragukan.

Pada masa Abu Bakar dan Umar, para sahabat di Madinah menjadi rujukan utama dalam urusan ijtihadiyah (yang memerlukan pemikiran mendalam). Tidak ditemukan keterangan bahwa para sahabat yang berada di luar Madinah turut diundang secara khusus untuk memberikan pendapat, meski pendapat mereka tetap dihargai dan dicatat.

Dari sinilah terlihat urutan sumber hukum Islam yang mereka gunakan: (1) Al-Qur’an sebagai sumber utama, (2) As-Sunnah sebagai pedoman Nabi Muhammad SAW, (3) Ijma’ sebagai kesepakatan para sahabat, dan (4) Qiyas sebagai alat berpikir logis dengan mempertimbangkan maslahat dan mudharat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *