Kemudian secara sosial, pencapaian kesejahteraan itu dapat divaluasi numeriknya melalui sensor-sensornya, baik sensor rasio maupun emosi sebagai bawaan alamiah dalam diri manusia.
Sistem kepribadian manusia dibangun dari potensi akalnya sebagai peralatan rasio dan potensi kehidupannya sebagai peralatan emosi.
Akal bukanlah potensi kehidupan, tetapi hanya potensi kemanusiaan. Kenapa bisa? Hewan dan tumbuhan tidak mempunyai akal, namun bisa hidup segar bugar.
Akal memiliki memori yang tersimpan dalam otak dengan kapasitas sekitar 2,5 petabyte, dan sebagai sebuah potensi, akal juga memerlukan pemenuhan.
Semakin mudah seseorang mendapatkan informasi (ilmu) dan semakin mudah seseorang memecahkan masalah berdasakan ilmu pengetahuan, semakin mudah ia merasakan kenyamanan dalam pemenuhan fungsi-fungsi akalnya. Sebaliknya, semakin sulit ia memenuhi tuntutan pemenuhan akan kepuasan akal, semakin ia dekat dengan kegelisahan.
Sensor yang kedua adalah emosi yang bersumber dari potensi kehidupan, yang terdiri dari dua subsensor utama, yakni kebutuhan jasmani (hajatul udhuwiyah) dan naluri.
Kebutuhan jasmani merupakan pemenuhan yang bersifat pasti dan tak boleh ditunda-tunda. Menunda pemenuhannya akan mengantarkan seseorang lebih dekat dengan kondisi kritisnya, karena bisa berakibat fatal, misalnya sakit, pingsan, bahkan kematian. Ini menyangkut pemenuhan kebutuhan penting, seperti makan, minum, buang air, dsb.
Semakin mudah seseorang memenuhi tuntutan dari kebutuhan jasmani, maka akan semakin terasa nyaman ia dengan kehidupannya. Sebaliknya semakin sulit ia memenuhi tuntutan dari kebutuhan jasmani tersebut, maka semakin gelisah dan kritis suasana kehidupannya.
Kemudian berikutnya terkait dengan pemenuhan naluri, yang pokoknya ada tiga macam, yakni: naluri beragama (gharizah tadayyun), naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’) maupun naluri melestarikan keturunan (gharizah naw’).
Adalah mustahil seseorang mendapatkan kebahagiaan bila mengabaikan atau menghilangkan pemenuhan salah satu dari naluri di atas. Tidak memenuhi salah satunya, maka akan menimbulkan kegelisahan.
Orang-orang atheis di Uni Soviet (sekarang Rusia) mengaku tak meyakini adanya tuhan, namun dalam prakteknya, pemenuhan naluri tersebut dialihkan dari pengagungan kepada tuhan menjadi pengagungan kepada sosok yang lain, misalnya kepada patung idola mereka.
Untuk naluri mempertahankan diri, setiap manusia membutuhkan perlindungan, baik berupa perlindungan tempat tinggal, baju, maupun ancaman lainnya.
Sementara itu, pemenuhan naluri menyukai lawan jenis, bukanlah semata-mata sebagai perkara seksualitas semata. Tetapi lebih agung dari itu, yakni perkara melestarikan keturunan.
Mencermati uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sensor-sensor kesejahteraan merupakan fungsi pemenuhan potensi manusia dan potensi kehidupan. Terpenuhi tidaknya kesejahteraan akan terukur melalui sensor-sensor tersebut.
Semakin terpenuhi pemenuhan kedua potensi manusia di atas, maka bacaannya akan kelihatan pada sensor-sensor tersebut.
Mengingat kesejahteraan adalah kesempurnaan dan atau idealitas, maka kesempurnaan pencapaiannya setara dengan 100% = 1.
Jadi secara umum, kesejahteraan dapat diformulasikan dalam fungsi sebagai berikut:
ppM + ppK = Ks
ppM + ppK = 1
p(A) + [pKJ + pKN] = 1
p(A) + [pKJ + (pNA + pNMD + pNMK)] = 1
Dimana;
Ks = Kesejahteraan
ppM = Pemenuhan potensi manusia
ppK = Pemenuhan potensi kehidupan
p(A) = Pemenuhan kebutuhan akan akal
pKJ = Pemenuhan kebutuhan jasmani
pKN = Pemenuhan kebutuhan naluri
pNA = Pemenuhan naluri beragama
pNMD = Pemenuhan naluri mempertahankan diri, dan
pNMK = Pemenuhan naluri melestarikan keturunan
Mampukah manusia memenuhi 100% kesejahteraan mereka? Tentu sulit bagi manusia untuk memenuhinya. Namun setidaknya, dalam sistem yang baik akan cenderung mampu memenuhi sekitar 80-90%, sementara dalam sistem yang malfungsi akan ‘bermain’ di bawah 50% bahkan mayoritas di sekitar 20%.
Kenapa demikian? Karena memang dunia ini, oleh Allah SWT tidak dirancang sebagai tempat ‘pemuasan’ kebutuhan dan keinginan manusia. Tetapi Allah SWT merancang bumi ini sebagai tempat ujian untuk mementaskan amal saleh.
Sedangkan untuk negeri ‘pemuasan’ kebutuhan dan keinginan manusia itu adanya adalah di surga.
Oleh karena itu, jika ingin merasakan kesejahteraan maksimal di dunia, maka gunakanlah sistem terbaik.
Namun, itu tidak cukup memuaskan seluruh kebutuhan dan keinginan manusia. Akan tetapi, dalam sistem terbaik itu dapat menjadi jalan utama untuk mendapatkan kesejahteraan sesungguhnya, bahkan jauh di atas 100%.
Rasulullah SAW bersabda dalam Riwayat Bukhari dan Muslim,
“Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, tak pernah terkhayal dalam khayal manusia”
Ingatlah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa perbandingan dunia ini dan akhirat, adalah seumpama seorang pergi ke pinggir laut lalu memasukkan sebuah jari tangannya ke laut lalu mengangkatkan tangan itu.
Lanjutnya, air yang melekat pada jarinya yang basah itu adalah ibarat dunia. Sedangkan air yang tertinggal di lautan itulah akhirat.
Begitupun sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan 100 rahmat. Satu rahmat dibagikan kepada seluruh isi dunia ini yang merupakan manusia dan binatang-binatang, sedang 99 bagian yang lain akan dibagikan di akhirat, yakni di dalam surga.
Jadi, sederhananya, kesejahteraan di surga itu adalah 99 kali kesejahteraan dunia sekarang ini.
Wallahu a’lam bishawab.
Pingback: Tombol-Sensor Kesejahteraan (Bagian 1/2) – Sunarwan Asuhadi