Sekira Tiga Belas tahun yang lalu, saya untuk pertama kalinya memfasilitasi suatu program pendampingan masyarakat. Program tersebut bernama Coral Reef Rehabilitation and Management Program, disingkat dengan Coremap. Di atas kertas, program ini merupakan salah satu program unggulan di sektor perikanan dan kelautan.
Sepanjang pelaksanaan program tersebut, acapkali dilaksanakan kegiatan pelatihan peningkatan kapasitas bagi pengelola, pelaksana lapangan, juga warga pada umumnya. Program ini berjalan sekitar tahun 2005 s.d. 2011.
Pada sekitaran tahun tersebut, 2005 – 2010, berlangsung sejumlah pengembangan kapasitas pengorganisasian maupun pemfasilitasian masyarakat di Kabupaten Wakatobi. Ada pelatihan Community Organizer yang terselenggara atas kerjasama TNC – WWF. Kemudian berlangsung juga pelatihan untuk Community Facilitator yang terlaksana atas kerjasama JICA CDP dan Bappeda Wakatobi.
Selain itu, ada juga pelatihan untuk pencapaian Millenium Development Goals (MDG’s), U Theory dan lain sebagainya.
Jika serentetan pelatihan peningkatan kapasitas tersebut, dihitung perubahan yang dihasilkan, tentu kita akan sepakat bahwa Output, Outcome, Benefit dan Impact-nya ada. Setidak-tidaknya (mungkin) masih tersedimentasi pada semesta berpikir para alumni-nya. Walaupun mungkin tidak seluruhnya.
Hanya sayangnya, jika kualitas kita mendiskusikan rehabilitasi terumbu karang, penanganan sampah, dilema penambangan pasir, dll pada periode 5 tahun pertama masih setara dengan periode 5 tahun ketiga, mungkin juga 5 tahun mendatang.
Bagi saya, salah satu aset berharga dari pelaksanaan pembangunan Wakatobi selama ini, di antaranya ada pada para kader dari sejumlah alumni pelatihan tersebut. Khususnya pada pelatihan yang berorientasi sistem. Aset berharga kita bukan pada bangunan fisik pembangunan yang dihasilkan (jalan raya, jembatan, dlsb). Tentu saja, tidak semua para alumni-nya adalah ‘kader yang sesungguhnya’, kecuali pada mereka yang masih ‘merapihkan’ file-file kognisi, afeksi, dan skill-nya dari sistem berpikir sejumlah pelatihan tersebut.
Sepertinya aset-aset berharga ini membutuhkan inventarisasi maupun revitalisasi, persis seumpama Barang Milik Daerah/Negara. Mereka merupakan salah satu tombol aktif utama yang dapat meningkatkan kualitas pembangunan di Wakatobi. Kebutuhan kita terhadap keberadaan mereka, bahkan sama dengan peran para dokter dan tenaga medis lainnya dalam menyehatkan raga warga, atau laksana peran para guru dalam mentransfer ilmu dan pengetahuan kepada peserta didik. Karena mereka tidak hanya merawat alam tapi juga merawat prinsip, metodologi, dan teknik-teknik untuk pembangunan dan kesejahteraan.
Para dokter dan tenaga medis menyelamatkan kita dari penyakit-penyakit tertentu, walaupun tidak menutup kemungkinan terjadi apa yang disebut dengan malpraktek. Sama halnya juga guru yang mungkin juga melakukan salah didik. Begitupun juga dalam tindakan pembangunan daerah, dimungkinkan berlangsung apa yang disebut dengan malpraktek dari kebijakan pembangunan, maka tak jarang kita menemukan, jika kritik maupun inisiatif dan partisipasi pembangunan justru diproduksi oleh para kader di atas.
Sampai dengan saat ini, kita dapat menemukan kontribusi kritik konstruktif, inisiatif, partisipasi, bahkan implementasi kolaborasi diperankan secara konsisten oleh Forkani, Komunto, Komanangi, Foneb, dan tentu saja masih banyak pihak lainnya yang tidak tersebut satu per satu. Mereka pada umumnya adalah keluaran dari ‘almamater’ pelatihan peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang telah disebutkan di atas.
Demikianlah aset-aset pembangunan daerah kita yang perlu dirawat eksistensinya.