Setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, kekuasaan umat Islam berada di tangan sahabat dekat beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dalam mengelola wilayah kekuasaan Islam yang luas, Abu Bakar menunjukkan kebijakan dan kehati-hatian yang luar biasa. Ia tidak serta merta mengganti para pemimpin daerah yang telah ditunjuk oleh Rasulullah. Justru, ia mempertahankan mereka selama tidak ada masalah atau kebutuhan mendesak untuk dipindah. Bahkan ketika ada perpindahan tugas, Abu Bakar selalu melibatkan diskusi langsung dengan orang yang bersangkutan dan tidak pernah memaksakan kehendaknya. Salah satu contohnya adalah ketika Amr bin Al-‘Ash diminta memimpin Palestina, ia terlebih dahulu dimintai persetujuan.
Dalam menunjuk pemimpin daerah atau panglima pasukan, Abu Bakar selalu bermusyawarah dengan para sahabat terpercaya seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Ia memegang prinsip konsultasi dan persetujuan dalam setiap keputusan penting. Para pemimpin daerah, yang disebut wali, memiliki tanggung jawab besar dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka memimpin shalat Jumat dan shalat harian sebagai simbol kepemimpinan spiritual. Mereka juga memimpin peperangan, menjaga keamanan wilayah, menunjuk hakim dan pejabat lokal, serta mengurus administrasi dan pengelolaan sumber daya.
Para wali mengambil baiat dari penduduk untuk menunjukkan kesetiaan kepada Khalifah. Mereka juga bertugas mengumpulkan zakat dari umat Islam, menarik jizyah dari non-Muslim, dan menyalurkan dana tersebut sesuai aturan agama. Beberapa wali memperbarui perjanjian lama yang pernah dibuat Rasulullah, seperti yang dilakukan oleh wali Najran atas permintaan kaum Nasrani di sana. Dalam menjalankan hukum, mereka menggunakan ijtihad jika tidak menemukan dalil yang jelas. Mereka juga aktif mengajar masyarakat, terutama di masjid-masjid, dalam bentuk majelis ilmu yang rutin diadakan.
Salah satu wali yang aktif mengajar adalah Ziyad bin Labid dari Hadhramaut. Ia dikenal mengajarkan Al-Qur’an setiap pagi kepada masyarakat. Jika seorang wali berhalangan, ia wajib menunjuk pengganti sementara. Misalnya, ketika Al-Muhajir bin Abu Umayyah sakit dan belum bisa ke Kindah, ia meminta Ziyad menggantikannya hingga ia sembuh. Semua tindakan ini selalu mendapat persetujuan dari Khalifah Abu Bakar.
Dalam setiap pengangkatan, Abu Bakar mengirimkan surat mandat yang berisi penunjukan dan petunjuk arah perjalanan jika daerah yang dituju belum sepenuhnya dikuasai. Kadang ia juga menggabungkan wilayah-wilayah tertentu setelah situasi stabil, seperti ketika wilayah Kindah digabung ke dalam otoritas Hadhramaut di bawah kepemimpinan Ziyad bin Labid. Hubungan antara Abu Bakar dan para wali sangat erat, saling menghormati, dan dijalankan tanpa tekanan. Komunikasi antara pusat dan daerah sangat aktif. Para wali rutin mengirim laporan, meminta nasihat, dan menerima tanggapan dalam bentuk surat balasan dari Khalifah. Mereka juga saling berkomunikasi satu sama lain, terutama dalam urusan militer dan strategi bersama.
Nasihat-nasihat Abu Bakar kepada para wali juga menunjukkan perhatian besar pada spiritualitas. Ia mendorong para wali untuk hidup sederhana, tidak cinta dunia, dan lebih mementingkan akhirat. Banyak dari nasihat tersebut disampaikan dalam surat resmi yang dikirim kepada para wali, panglima, dan pejabat lainnya.
Pada masa Abu Bakar, wilayah kekuasaan Islam terbagi dalam beberapa daerah administratif. Madinah sebagai ibu kota dipimpin langsung oleh beliau. Makkah dipimpin oleh ‘Attab bin Usaid, Tha’if oleh Utsman bin Abu Al-Ash, Shan’a oleh Muhajir bin Abu Umayyah, dan Hadhramaut oleh Abu Musa Al-Asy’ari. Selain itu, wilayah-wilayah seperti Khaulan dan Al-Jund dipimpin oleh Mu’adz bin Jabal, Najran oleh Jarir bin Abdullah, Bahrain oleh Al-‘Ala bin Al-Hadhrami, serta Irak dan Syam yang berada di bawah komando para panglima militer. Seluruh sistem ini berjalan dengan harmonis berkat kepemimpinan Abu Bakar yang bijak, transparan, dan penuh semangat ukhuwah.[]
Saat membicarakan pemimpin ideal, banyak dari kita membayangkan sosok yang adil, sederhana, dan tidak memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Sosok seperti itu bukan hanya impian, tetapi benar-benar pernah ada dalam sejarah Islam. Salah satu contohnya adalah Umar bin Khattab, Khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Umar adalah pemimpin besar yang disegani karena keadilan dan kesederhanaannya. Ketika beliau menjabat sebagai khalifah, beliau tidak langsung mengambil gaji dari Baitul Mal (kas negara). Waktunya tersita untuk urusan umat, sementara kegiatan berdagang — yang dulu menjadi sumber nafkahnya — tidak lagi cukup untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya. Pada titik itu, Umar mengajak para sahabat bermusyawarah: “Apa yang boleh saya ambil dari tugas ini?”
Para sahabat menjawab dengan jujur dan tegas: ambillah secukupnya dari Baitul Mal untuk makan dan kebutuhan keluarga. Bahkan Ali bin Abi Thalib berkata, “Ambillah untuk makan siang dan makan malammu.” Akhirnya, Umar pun menerima gaji yang layak, hanya sebatas untuk mencukupi kebutuhan dasar — tidak lebih.
Umar menyamakan dirinya seperti wali anak yatim yang mengelola harta, dan jika butuh, ia hanya mengambilnya dengan cara yang baik. Ia tidak merasa dirinya lebih berhak atas harta negara daripada rakyatnya. Dalam satu perjalanan, Umar sempat bertanya kepada para sahabatnya, “Apa yang halal untuk saya dari harta ini?” Mereka menyerahkan jawabannya kepada Umar sendiri. Maka Umar pun menjelaskan: ia hanya mengambil tunggangan untuk haji dan umrah, pakaian musim dingin dan panas, bekal secukupnya untuk keluarga, dan bagian yang sah dari rampasan perang — karena ia juga bagian dari kaum muslimin.
Kisah-kisah tentang Umar penuh dengan keteladanan. Ia pernah ditegur oleh seorang sahabat karena hidup terlalu sederhana. Saat itu Umar sedang makan makanan kasar seperti rakyat biasa. Sahabat itu berkata bahwa Umar pantas mendapat makanan enak, baju mewah, dan tunggangan terbaik. Tapi Umar langsung memukulnya pelan dengan pelepah kurma sambil berkata, “Demi Allah, ucapanmu bukan karena Allah. Kamu hanya ingin mengambil hatiku.”
Lalu ia menjelaskan, dirinya hanyalah seperti bendahara dalam rombongan musafir. Jika seseorang ditunjuk untuk memegang uang belanja, bolehkah ia mengambil bagian lebih besar dari yang lain? “Tidak boleh,” jawab sahabat itu. “Itulah aku,” kata Umar.
Para ulama fikih menyimpulkan dari kisah para khalifah bahwa seorang pemimpin boleh menerima gaji dari kas negara atas tugasnya. Bahkan menurut beberapa ulama, mengambil gaji itu lebih baik agar ia dapat menjalankan tugasnya secara maksimal tanpa terganggu oleh urusan pribadi.
Namun, penting dicatat bahwa gaji yang diterima seorang pemimpin bukanlah “upah kemewahan”, melainkan kompensasi atas waktu dan tenaga yang ia curahkan demi urusan umat. Seperti yang dilakukan Umar, ia hanya mengambil sekadar untuk makan, pakaian, dan kebutuhan keluarganya. Tidak lebih.
Kisah Umar bin Khattab memberi pelajaran besar bahwa memimpin bukanlah jalan untuk mencari kenyamanan, tapi untuk melayani umat. Umar tidak menuntut hak istimewa. Ia bahkan menghindari kelebihan yang bisa menjauhkan dirinya dari rakyat.
Teladan seperti ini sangat langka, bahkan di zaman modern sekalipun. Maka, mempelajari kepemimpinan Umar bukan hanya memperkaya wawasan sejarah, tapi juga memberi kita gambaran nyata tentang bagaimana pemimpin seharusnya bersikap terhadap kekuasaan, harta, dan tanggung jawab.[]
Pernahkah kita membayangkan bagaimana sistem pemerintahan dan penggajian pemimpin dijalankan di masa awal Islam? Ternyata, jauh sebelum dunia modern mengenal sistem manajemen keuangan negara yang transparan, para pemimpin Islam telah menunjukkan prinsip yang luar biasa dalam hal tanggung jawab, akuntabilitas, dan keadilan.
Salah satu contoh terbaik adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang menjadi khalifah pertama umat Islam setelah wafatnya Rasulullah. Saat memimpin, Abu Bakar tidak hanya membentuk sistem pemerintahan yang rapi, tapi juga menetapkan sistem penggajian yang jujur dan terbuka, termasuk untuk dirinya sendiri.
Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar adalah seorang pedagang. Ia terbiasa pergi ke pasar untuk berdagang, mencari nafkah bagi keluarganya. Namun, ketika ia resmi diangkat menjadi pemimpin umat, waktunya tersita untuk mengurus berbagai urusan negara dan rakyat. Ia masih sempat berdagang, sampai akhirnya Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah — dua sahabat yang juga dipercaya memegang jabatan penting — menemuinya dan menyarankan agar ia tidak lagi berdagang, dan menerima gaji dari Baitul Mal (kas negara), agar ia bisa fokus menjalankan tugas kepemimpinan.
Awalnya, gaji Abu Bakar ditetapkan sebesar 250 dinar setahun dan seekor kambing yang diambil bagian perut, kepala, dan kakinya setiap hari. Namun, ternyata jumlah ini belum mencukupi kebutuhan keluarganya. Maka gajinya dinaikkan menjadi 300 dinar per tahun, dan kambing yang diberikan setiap hari pun diberikan secara utuh. Yang luar biasa, Abu Bakar tidak langsung menerima gaji ini begitu saja. Ia mengumumkannya kepada masyarakat dan meminta persetujuan dari umat Islam. Ketika rakyat setuju, barulah ia menerima gaji tersebut.
Langkah ini menunjukkan bahwa jabatan bagi Abu Bakar bukanlah sumber kekayaan, tetapi amanah yang berat. Gaji hanyalah bentuk kompensasi karena ia tidak sempat lagi mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Bagi Abu Bakar, memimpin adalah bentuk pengabdian, bukan jalan menuju kemewahan.
Lebih jauh, sistem kepegawaian dan penggajian di masa Abu Bakar menunjukkan kualitas luar biasa. Ia menunjuk sahabat-sahabat terbaik untuk menduduki posisi penting: Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menjadi bendahara (menteri keuangan), Umar bin Khattab mengurusi bidang kehakiman, dan Zaid bin Tsabit menjadi sekretaris (semacam menteri komunikasi). Bahkan, sesekali tugas-tugas ini dijalankan langsung oleh Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.
Bandingkan dengan kekaisaran besar pada masa itu seperti Romawi atau Persia. Di sana, konsep penggajian pemimpin tidak dikenal. Raja adalah penguasa absolut. Apa yang milik negara, dianggap milik pribadi raja. Ungkapan terkenal “Aku adalah negara dan negara adalah aku,” yang diucapkan oleh Raja Louis XV dari Prancis, sangat bertolak belakang dengan prinsip Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang menempatkan dirinya sebagai pelayan umat, bukan penguasa mutlak.
Abu Bakar juga memberi perhatian khusus pada keadilan. Ia terus mengawasi para pejabat negara, menegakkan hukum dengan sungguh-sungguh, dan menjaga keutuhan manhaj kenabian dalam setiap langkahnya. Baginya, kekuasaan bukanlah hak istimewa, tapi beban tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Dari kisah ini kita belajar, bahwa penggajian pemimpin bukanlah untuk memperkaya diri, tapi sebagai dukungan agar mereka bisa mengabdi dengan penuh tanggung jawab, tanpa terganggu oleh urusan pribadi. Dan yang paling penting, seluruh proses dilakukan secara terbuka, melibatkan persetujuan rakyat — sebuah nilai luhur yang sangat relevan hingga hari ini.[]
Fenomena “brain rot” bukanlah hal baru. Konsep ini telah muncul sejak Henry David Thoreau mengkritik masyarakat pada abad ke-19 yang mulai kehilangan kedalaman intelektual. Kini, di era digital, istilah ini kembali populer untuk menggambarkan bagaimana media sosial dan informasi instan dapat mengikis kemampuan berpikir mendalam. Pada tahun 1854, Thoreau menerbitkan Walden, sebuah refleksi tentang kehidupan sederhana di alam. Dalam bukunya, ia mengkritik masyarakat yang terobsesi dengan berita dan gosip, menyebutnya sebagai bentuk “pembusukan otak.” Bagi Thoreau, banyak orang kehilangan koneksi dengan pemikiran mendalam karena mereka terpaku pada hal-hal yang tidak esensial. Ia menekankan pentingnya kontemplasi dan pemikiran reflektif, bukan sekadar konsumsi informasi yang dangkal dan berulang.
Seiring berkembangnya teknologi, muncul kekhawatiran baru tentang pengaruh media terhadap otak manusia. Pada 1950-an, televisi menjadi sumber utama hiburan dan berita, tetapi pakar pendidikan mulai mengkritik dampaknya terhadap konsentrasi dan imajinasi. Pada tahun 1985, Neil Postman dalam bukunya Amusing Ourselves to Death menyatakan bahwa televisi telah menurunkan standar diskusi intelektual. Ia berpendapat bahwa format visual yang cepat membuat pemirsa kurang mampu berpikir secara kritis dibanding mereka yang membaca buku atau berdiskusi mendalam. Memasuki abad ke-21, kehadiran internet dan media sosial semakin memperkuat konsep “brain rot.” Kini, banyak orang menghabiskan waktu untuk scrolling tanpa henti di aplikasi seperti Instagram, Twitter, dan TikTok. Fenomena seperti doomscrolling dan binge-watching membuat otak terbiasa dengan gratifikasi instan, yang mengurangi kemampuan fokus dan berpikir mendalam.
Doomscrolling adalah kebiasaan menghabiskan waktu berjam-jam membaca berita negatif atau informasi yang menimbulkan kecemasan, biasanya di media sosial. Fenomena ini membuat seseorang terjebak dalam siklus informasi yang memperburuk suasana hati, meningkatkan stres, dan mengurangi kesejahteraan mental. Misalnya, seseorang yang terus menggulir berita tentang krisis global atau bencana tanpa henti bisa mengalami kecemasan berlebih dan kesulitan untuk berpikir positif.
Di sisi lain, binge-watching adalah kebiasaan menonton episode demi episode dari sebuah serial televisi atau video tanpa henti dalam satu waktu, sering kali berlangsung selama berjam-jam atau bahkan semalaman. Meskipun aktivitas ini bisa terasa menyenangkan dan menghibur, terlalu sering melakukannya dapat menyebabkan kelelahan mental, gangguan pola tidur, dan berkurangnya produktivitas. Studi menunjukkan bahwa binge-watching berlebihan dapat menghambat kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi pada tugas lain karena otak terbiasa dengan gratifikasi instan dari hiburan terus-menerus.
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan memori jangka pendek, kecemasan, dan kesulitan berkonsentrasi. Bahkan, beberapa studi menyamakan efeknya dengan kecanduan. Meski teknologi terus berkembang, tantangan utama tetap sama: bagaimana menjaga keseimbangan antara konsumsi informasi dan pemikiran reflektif. Beberapa cara untuk menghindari “brain rot” antara lain membaca buku untuk melatih fokus, menulis jurnal guna mengasah refleksi, mengurangi screen time agar otak punya waktu untuk berpikir lebih dalam, serta berinteraksi langsung dengan orang lain untuk meningkatkan koneksi sosial. Seperti yang pernah dikatakan Thoreau, kualitas hidup ditentukan oleh bagaimana kita memilih untuk mengisi pikiran kita. Jadi, apakah kita akan membiarkan otak kita membusuk dalam aliran informasi instan, atau mengambil kendali atas apa yang kita konsumsi?[]
Mungkin banyak orang belum tahu bahwa adzan dalam bahasa Arab—yang merupakan panggilan untuk shalat bagi umat Muslim—pernah dilarang di Turki. Larangan ini berlangsung selama hampir 20 tahun.
Pada tahun 1932, pemimpin Turki saat itu, Mustafa Kemal Atatürk, yang juga dikenal sebagai pendiri Turki modern, melarang adzan disampaikan dalam bahasa Arab. Sebagai gantinya, adzan harus dibaca dalam bahasa Turki. Bahkan kata “Allah” ikut diterjemahkan.
Tujuan dari larangan ini adalah untuk memutus hubungan dengan masa lalu Islam terkait Kekhilafahan Turki Utsmaniyah dan menjadikan Turki sebagai negara sekuler, yaitu negara yang memisahkan urusan agama dari pemerintahan.
Meskipun adzan dalam bahasa Arab dilarang, ada banyak orang yang tetap menyuarakannya diam-diam. Tapi tindakan ini sangat berisiko. Pemerintah menempatkan polisi di depan masjid, dan siapa pun yang tertangkap bisa dihukum penjara hingga 3 bulan atau dikenakan denda.
Namun, perlawanan tetap terjadi. Ada orang-orang yang berkeliling kota sambil menyerukan adzan dalam bahasa Arab, bahkan ada yang mengajarkan anak-anak untuk menghafalnya agar tidak hilang dari ingatan.
Pada tahun 1949, dua pria bernama Muhiddin Ertuğrul dan Osman Yaz bahkan sempat mengumandangkan adzan dari balkon gedung parlemen saat sidang sedang berlangsung—sebuah aksi yang sangat berani pada masa itu.
Setelah 18 tahun, tepat pada tanggal 16 Juni 1950, larangan adzan dalam bahasa Islam resmi dicabut—hanya satu hari sebelum bulan Ramadan dimulai.
Perubahan besar ini terjadi setelah Adnan Menderes menjadi perdana menteri. Salah satu keputusan pertamanya sebagai pemimpin adalah mengembalikan adzan ke bahasa Islam. Ia menyatakan:
“Bangsa Turki adalah Muslim dan akan tetap seperti itu selamanya. Tidak boleh ada yang melanggar kebebasan beragama di negara ini.”
Hari ini, lebih dari 80.000 masjid di seluruh Turki mengumandangkan adzan lima kali sehari dalam bahasa Arab, seperti yang telah dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Kisah ini adalah pengingat penting bahwa identitas dan keyakinan bisa bertahan meski ditekan. Suara adzan yang sempat dibungkam, kini kembali menggema kuat di tanah kelahiran Kekhilafahan Turki Utsmaniyah.
Lalu, bagaimana dengan sebagian besar syariat Islam lainnya yang pernah eksis sejak era Nabi Muhammad SAW, namun telah dibumihanguskan di Turki oleh Mustafa Kemal Atatürk bahkan di dunia saat ini: kapankah Kembali?
Sirtuin adalah kelompok protein yang berperan dalam regulasi penuaan dan umur panjang pada berbagai organisme. Protein ini berfungsi dalam perbaikan DNA, metabolisme energi, dan respons terhadap stres seluler, yang semuanya berkontribusi pada peningkatan kesehatan dan umur panjang. Dalam penelitian ilmiah, sirtuin sering dikaitkan dengan mekanisme yang dapat memperlambat proses penuaan dan meningkatkan ketahanan sel terhadap kerusakan.
Dalam dunia penelitian, sirtuin telah menjadi fokus banyak ilmuwan sejak awal abad ke-21. Salah satu tokoh utama dalam penelitian sirtuin adalah David Sinclair, seorang profesor di Harvard Medical School yang telah banyak berkontribusi dalam memahami peran sirtuin dalam penuaan dan umur panjang. Selain itu, penelitian tentang sirtuin juga dilakukan oleh Leonard Guarente, seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT), yang telah mempelajari sirtuin sejak tahun 1999 dan menemukan bahwa protein ini berperan dalam regulasi umur panjang pada organisme. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa tim ilmuwan dari CCM Biosciences telah mengembangkan senyawa yang dapat mengaktifkan enzim SIRT3, yang berpotensi memperlambat penuaan dan mengatasi penyakit terkait usia.
Beberapa makanan diketahui mengandung senyawa yang dapat mengaktifkan sirtuin dalam tubuh. Makanan-makanan ini sering disebut sebagai sirtfoods, dan beberapa di antaranya adalah kale, yang kaya akan antioksidan dan senyawa yang mendukung aktivasi sirtuin; peterseli, yang mengandung flavonoid yang berperan dalam meningkatkan aktivitas sirtuin; seledri, yang kaya akan polifenol yang dapat membantu mengaktifkan sirtuin; anggur merah, yang mengandung resveratrol dan telah dikaitkan dengan peningkatan aktivitas sirtuin; serta stroberi, bawang merah, cokelat hitam dengan kandungan kakao tinggi, dan teh hijau, yang semuanya memiliki komponen bioaktif yang mendukung fungsi sirtuin dalam tubuh.
Dalam berbagai tradisi spiritual, umur panjang sering dikaitkan dengan anugerah dan kehendak ilahi. Islam, misalnya, mengajarkan bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara, sedangkan kehidupan di akhirat adalah bentuk keberadaan yang abadi. Dalam konteks ini, kesehatan dan umur panjang bisa dilihat sebagai bagian dari perjalanan manusia menuju kehidupan yang lebih baik, baik secara fisik maupun spiritual. Meskipun penelitian ilmiah terus berusaha memahami bagaimana sirtuin dapat membantu manusia hidup lebih lama dan lebih sehat, konsep kehidupan abadi dalam Islam tidak bergantung pada mekanisme biologis tertentu. Kehidupan di surga adalah bentuk keberadaan yang melampaui batasan duniawi dan merupakan anugerah dari Allah bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.
Dengan demikian, sirtuin tetap menjadi bagian dari penelitian ilmiah yang menarik dalam hal kesehatan dan umur panjang, sementara keyakinan akan kehidupan abadi dalam perspektif spiritual lebih terkait dengan aspek keimanan dan rahmat Allah. Apakah ini berarti sirtuin menjadi salah satu bahan baku aktif manusia-manusia surga? Wallahu a’lam bishshawwab.
Apakah anda seorang diploma atau sarjana? Apapun gelar scholar anda, bisa jadi tak sempat membayangkan jika titel akademik anda bisa berasal dari kontribusi seorang perempuan? Bahkan, dialah salah seorang pelopor kampus tertua di dunia.
Fatimah al-Fihri adalah tokoh penting dalam sejarah pendidikan Islam yang dikenal karena mendirikan Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, pada abad ke-9. Universitas ini diakui oleh UNESCO dan Guinness World Records sebagai universitas tertua yang masih beroperasi dan pertama yang memberikan gelar akademik di dunia.
Fatimah al-Fihri, yang berasal dari keluarga terhormat, menggunakan warisannya untuk mendirikan institusi pendidikan yang tidak hanya mencetak ulama tetapi juga mempengaruhi peradaban Islam secara keseluruhan. Melalui visi dan dedikasinya terhadap pendidikan, Al-Qarawiyyin menjadi pusat intelektual yang tak ternilai, mendidik banyak pemikir besar dalam sejarah dunia Islam.
Universitas Al-Qarawiyyin memiliki keistimewaan tersendiri. Selain menjadi universitas tertua, ia juga memainkan peran sentral dalam menyebarkan pengetahuan di dunia Islam, terutama dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, dan kedokteran. Universitas ini juga dikenal sebagai tempat pertama yang memberikan gelar akademik formal, termasuk gelar dalam bidang keislaman dan ilmu pengetahuan lainnya. Banyak ilmuwan besar, seperti Ibn Rushd (Averroes) dan Maimonides, pernah belajar di sini. Sebagai pusat pendidikan, universitas ini tidak hanya menyediakan ilmu pengetahuan, tetapi juga melahirkan ideologi yang memperkaya peradaban Islam dan dunia Barat.
Pendirian universitas ini juga menunjukkan peran signifikan perempuan dalam sejarah Islam, yang sering kali dilupakan dalam narasi sejarah arus utama. Sebagai seorang wanita, Fatimah mengatasi batasan-batasan gender pada zamannya, membuktikan bahwa perempuan dapat berperan aktif dalam bidang pendidikan dan pembangunan peradaban. Legasinya hidup hingga kini, dengan Universitas Al-Qarawiyyin yang masih beroperasi dan diakui sebagai salah satu lembaga pendidikan paling bergengsi di Maroko.
Fatimah al-Fihri bukan hanya seorang pendiri universitas, tetapi juga simbol dari semangat pemberdayaan perempuan dalam dunia pendidikan. Ia memperlihatkan bagaimana kekayaan dan kedudukan sosial bisa digunakan untuk tujuan mulia yang memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Setiap orang sebenarnya membawa kerajaan kecil di dalam kepalanya. Kerajaan ini dipenuhi oleh ide-ide, nilai-nilai, dan keyakinan tentang bagaimana dunia seharusnya berjalan. Kerajaan ini dinamakan ideologi. Ideologi adalah kumpulan gagasan yang membentuk cara kita memandang hidup, mengambil keputusan, dan menilai apa yang benar atau salah. Ini bukan sekadar opini biasa, melainkan semacam aturan tak tertulis yang mengarahkan seluruh jalan berpikir kita. Di dalam “kerajaan” ini, ada “raja” berupa prinsip utama — seperti kebebasan, keadilan, atau ketuhanan — yang menjadi pusat dari seluruh struktur pemikiran.
Setiap orang hidup di dalam kerajaannya sendiri. Ada yang rajanya adalah kebebasan individu, ada pula yang mengedepankan keadilan bersama. Semua ide-ide kecil yang kita pegang berfungsi seperti rakyat dan pasukan yang mendukung kekuasaan raja ideologi tersebut. Namun, kerajaan pemikiran ini tidak selalu kuat. Ia bisa digoyang, dipertanyakan, bahkan dihancurkan oleh pengalaman baru, pendidikan, atau kejadian besar dalam hidup seseorang. Kadang orang tetap mempertahankan kerajaannya, kadang pula membangun kerajaan baru.
Sangat penting bagi setiap manusia untuk menyadari, mengenali, dan menguji kerajaan pemikiran di dalam kepalanya. Karena kenyataannya, hampir sebagian besar manusia tidak memperdulikan ideologi yang membentuk cara mereka berpikir. Mereka membiarkan ide-ide, nilai, dan prinsip-prinsip besar masuk ke kepala mereka tanpa penyaringan, seolah menerima begitu saja dari lingkungan, media, budaya, atau arus zaman. Jika kita membiarkan kerajaan pemikiran kita tanpa pernah memeriksanya, kita menjadi mudah dikendalikan oleh ideologi orang lain tanpa sadar. Kita juga rentan terombang-ambing oleh tren sesaat, propaganda, atau tekanan sosial. Bahkan, kita mungkin hidup dengan keyakinan yang bertentangan dengan nilai sejati diri kita, hanya karena kita tidak pernah mengkritisinya. Pada skala sosial, pembiaran ini bisa membuat masyarakat jatuh ke dalam krisis identitas, kehampaan makna hidup, atau keterpecahan sosial.
Karena itu, mengenali dan mengaudit ideologi kita adalah kewajiban intelektual dan moral bagi setiap manusia. Untuk lebih memahami, kita bisa melihat contoh dari tiga ideologi besar yang membentuk dunia modern. Sosialisme-Komunisme adalah kerajaan pemikiran yang menempatkan keadilan sosial sebagai rajanya. Semua alat produksi dikuasai negara atas nama rakyat. Keadilan diutamakan, tetapi dalam praktiknya sering kali terjadi penghapusan kebebasan individu demi kesetaraan mutlak, di mana negara menjadi penguasa tunggal atas hidup rakyatnya. Kapitalisme-Sekulerisme, di sisi lain, menjadikan kebebasan individu dan kepemilikan pribadi sebagai rajanya, dengan menyingkirkan nilai-nilai ketuhanan dari ruang publik. Hasilnya adalah kemajuan ekonomi pesat, tetapi sering kali disertai kesenjangan sosial ekstrem, kekeringan spiritual, dan hilangnya makna hidup di tengah masyarakat.
Sebaliknya, dalam ideologi Islam, Allah adalah Raja mutlak di atas semua kerajaan pemikiran. Islam mengajarkan bahwa seluruh aspek hidup — ekonomi, sosial, politik, budaya — harus tunduk pada syariat yang berdasarkan wahyu, bukan hawa nafsu manusia. Islam menggabungkan keadilan sosial, kebebasan pribadi, dan makna spiritual dalam satu kesatuan hidup yang harmonis. Melalui perbandingan ini, kita bisa melihat bahwa setiap ideologi memiliki konsekuensinya masing-masing. Karena itu, manusia perlu dengan sadar memilih, membangun, dan memperjuangkan kerajaan pemikirannya sendiri — bukan sekadar ikut arus zaman.
Ideologi adalah kerajaan pemikiran di kepala kita. Mengenalinya, mengujinya, dan memperbaikinya adalah tanggung jawab setiap manusia agar ia tidak menjadi budak dari ideologi yang salah atau tidak menyadarinya. Dengan kesadaran penuh, manusia dapat memilih nilai-nilai yang benar untuk hidupnya, membangun kerajaan pemikiran yang kuat, adil, dan bermakna. Sudahkah Anda mengenali dan menguji kerajaan pemikirannya?
Dalam laporan yang diterbitkan oleh National Intelligence Council (NIC) pada Desember 2004 berjudul Mapping the Global Future, NIC memprediksi beberapa skenario besar yang akan menentukan konstelasi global pada tahun 2020 (NIC, 2004).
Salah satu skenario tersebut adalah Pax Americana, yang menggambarkan dunia yang masih dipimpin oleh Amerika Serikat dengan dominasi ekonominya. Namun, laporan tersebut juga mengemukakan beberapa skenario lain yang memperlihatkan potensi perubahan besar dalam tatanan global, termasuk Cycle of Fear, yang memprediksi dunia yang terperangkap dalam ketakutan terhadap terorisme; A New Caliphate, yang mengantisipasi kebangkitan khilafah Islam sebagai tantangan terhadap nilai-nilai global; dan Davos World, yang memperkirakan bahwa pada tahun 2020 Tiongkok dan India akan menjadi pemain kunci dalam ekonomi dan politik global, mencerminkan pergeseran besar dalam kekuasaan global (NIC, 2004). Prediksi ini semakin relevan dengan semakin besarnya pengaruh Tiongkok dalam perekonomian dunia.
Perubahan dalam kepemimpinan global ini semakin terasa dengan kebijakan luar negeri Donald Trump, yang dikenal dengan nama Trumpisme. Kebijakan tersebut menciptakan ketegangan dan menggoyang tatanan geopolitik dunia yang sebelumnya lebih bersifat multilateral (Freeland, 2018).
Kebijakan ‘America First’, yang dianggap oleh banyak pihak lebih isolasionis dan proteksionis, mendominasi hubungan internasional dan mengarah pada penurunan kerja sama multilateral yang selama ini menjadi dasar hubungan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa dunia, meskipun terus berubah, selalu dihadapkan pada pola-pola baru dalam kepemimpinan yang menentukan arah global. Setiap perubahan kepemimpinan ini memberikan dampak yang mendalam terhadap tatanan internasional yang ada.
Salah satu aspek besar dari perubahan ini adalah konflik dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang memuncak pada tarif resiprokal. Perang tarif ini dimulai dengan keputusan Donald Trump untuk memberlakukan tarif terhadap produk-produk Tiongkok pada tahun 2018, dengan Amerika Serikat memberlakukan tarif senilai $250 miliar terhadap produk-produk Tiongkok (CNN Indonesia, 05/04/2025), yang kemudian direspons oleh Beijing dengan memberlakukan tarif balik senilai $110 miliar terhadap produk-produk Amerika (Kontan, 01/04/2025).
Perang tarif ini berlanjut hingga 2021, ketika pemerintahan Joe Biden tetap mempertahankan sebagian besar tarif tersebut (Tirto.ID, 10/04/2025). Pada tahun 2025, Presiden Trump kembali memberlakukan kebijakan tarif impor baru, termasuk tarif universal sebesar 10% untuk semua barang impor dan tarif tambahan untuk negara-negara tertentu. Indonesia, misalnya, dikenai tarif sebesar 32%, sementara Tiongkok menghadapi tarif sebesar 245% (Kontan, 01/04/2025).
Sebagai respons, Tiongkok menaikkan tarif terhadap barang-barang Amerika hingga 125% dan memberlakukan pembatasan ekspor pada logam tanah jarang serta komponen teknologi tinggi yang penting bagi industri AS (CNN Indonesia, 05/04/2025). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga memicu volatilitas ekonomi global (Tirto.ID, 10/04/2025).
Dampak tarif ini terhadap ekonomi global cukup besar, dengan pasar saham, emas, dan minyak mengalami perubahan signifikan. Kedua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ini, yaitu Amerika Serikat dengan PDB nominal sekitar $27,720 miliar pada tahun 2023 (Trading Economics, 31/03/2023) dan Tiongkok dengan PDB sekitar $17,794 miliar pada tahun 2023 (Trading Economics, 31/03/2023), saling bergantung dalam perdagangan dan investasi.
Kekuatan ekonomi AS terletak pada sektor teknologi tinggi, keuangan, dan konsumsi domestik yang besar, sementara Tiongkok mengandalkan manufaktur, ekspor, dan konsumsi domestik yang terus meningkat (TrenAsia, 12/02/2024). Meskipun ekonomi AS tetap lebih dominan secara nominal, Tiongkok terus berkembang dan memperkuat pengaruhnya di tingkat global. Kebijakan tarif yang baru oleh AS dan balasan dari Tiongkok menghadirkan tantangan tambahan bagi hubungan dagang kedua negara ini, sekaligus memengaruhi stabilitas rantai pasokan global.
Jika konflik dagang ini tidak terkendali dan berkembang menjadi konflik militer, maka baik Amerika Serikat maupun Tiongkok akan memperlihatkan kecanggihan militer mereka. Kedua negara ini memiliki kekuatan militer yang sangat besar, namun dengan fokus dan keahlian yang berbeda. Militer AS dikenal sebagai salah satu yang terkuat di dunia, dengan anggaran pertahanan terbesar, sekitar $916 miliar pada 2023 (Databoks, 23/04/2024).
Mereka memiliki teknologi canggih seperti pesawat siluman, kapal induk dengan kemampuan peluncuran elektromagnetik, dan sistem pertahanan rudal canggih seperti THAAD (IDX Channel, 22/04/2024). Keahlian dalam perang siber dan peperangan elektronik juga memberi AS keunggulan dalam melumpuhkan infrastruktur musuh secara efektif. Di sisi lain, Tiongkok, dengan anggaran militer sekitar $296 miliar pada 2023 (GoodStats, 02/01/2025), memiliki kekuatan militer yang semakin modern, dengan fokus pada senjata jarak jauh seperti rudal hipersonik yang dapat mengancam kapal induk AS di kawasan Indo-Pasifik (Kontan, 15/04/2025).
Rudal hipersonik Tiongkok dapat terbang dengan kecepatan lebih dari lima kali kecepatan suara dan sangat sulit dideteksi (TribunNews, 06/04/2025). Tiongkok juga memiliki kekuatan pertahanan cyber yang semakin kuat, serta kemampuan dalam peperangan elektronik yang terus berkembang. Jika perang ini benar-benar terjadi, kedua negara akan menunjukkan kecanggihan teknologi dan kekuatan militer mereka dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Laporan Pentagon mengungkapkan bahwa Tiongkok memiliki kemampuan militer canggih, termasuk rudal hipersonik seperti DF-17, yang dapat menghancurkan seluruh armada kapal induk AS dalam waktu singkat. Rudal ini dirancang dengan kecepatan tinggi dan presisi, menjadi ancaman signifikan bagi kekuatan militer AS di kawasan Indo-Pasifik (Kontan, 15/04/2025). Teknologi rudal hipersonik tersebut menjadi salah satu faktor keunggulan strategis Tiongkok dalam menghadapi proyeksi kekuatan militer global (TribunNews, 06/04/2025).
Jika konflik ini berakhir dengan kerugian besar bagi kedua negara, dunia berpotensi akan menyaksikan munculnya kekuatan baru, yakni Islam. Uniknya, kekuatan Islam ini sangat khas, dengan ideologi yang berbeda baik dari Amerika maupun Tiongkok. A New Caliphate yang dikhawatirkan oleh NIC yang berpotensi bangkit akan menawarkan sistem politik dan ekonomi yang berbeda dari tatanan global sebelumnya. Sistem ekonomi Islam menawarkan dua keunggulan utama: sistem moneter berbasis emas dan perak yang stabil, serta fokus pada sektor riil dengan larangan riba serta pajak yang zalim (CPS Global, 2025).
Dalam sejarah, istilah Pax Vacuum Power dapat digunakan untuk menggambarkan situasi di mana kekosongan kekuasaan (power vacuum) terjadi setelah runtuhnya kekuatan dominan yang sebelumnya menjaga stabilitas global. Kekosongan ini sering kali memicu konflik baru atau perebutan kekuasaan oleh berbagai pihak. Dalam konteks modern, jika kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok mengalami keruntuhan atau melemah secara signifikan, dunia mungkin akan menyaksikan kebangkitan Islam sebagai kekuatan global yang menawarkan tatanan baru berdasarkan nilai-nilai Islam (CPS Global, 2025).
Istilah Pax Islamica merujuk pada periode perdamaian dan stabilitas yang dipimpin oleh peradaban Islam, seperti yang muncul setelah masa kejayaan Persia dan Romawi. Pada periode ini, dunia Islam berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan, perdagangan, dan budaya, membawa kemajuan besar bagi umat manusia. Masa ini sangat menonjol selama era Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, ketika peradaban Islam menjadi mercusuar kemajuan dunia.
Pax Islamica tidak hanya memberikan kontribusi dalam aspek ekonomi dan politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, seni, dan pemikiran, yang membentuk dunia modern seperti yang kita kenal sekarang (Lapidus, 2002). Jika kebangkitan Islam terjadi kembali di masa depan, dunia akan menyaksikan sebuah tatanan global baru yang berlandaskan nilai-nilai keadilan, perdamaian, dan kemakmuran sejati.
Sebagai dasar spiritual untuk memahami siklus kejayaan dan keruntuhan suatu peradaban, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan Kami pergilirkan di antara manusia (kemenangan dan kekalahan) supaya Allah mengetahui siapa yang beriman dan siapa yang sabar.” (QS. Ali Imran: 140). Ayat ini menjelaskan bahwa peradaban memiliki sunatullah, mengalami siklus pergantian dari satu kekuasaan lain ke kekuasaan lainnya.
Dalam konteks sejarah Islam, Hadis Rasulullah ﷺ memberikan kerangka yang lebih terstruktur tentang lima fase kepemimpinan umat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Nubuwwah ada pada kalian sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia menghendakinya. Kemudian khalifah di atas manhaj nubuwwah sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia menghendakinya. Kemudian kerajaan yang menggigit sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia menghendakinya. Kemudian kerajaan yang diktator sampai Allah kehendaki, hingga dihilangkan ketika Dia menghendakinya. Kemudian Khalifah di atas Manhaj Nubuwwah. Kemudian beliau diam.” (HR Ahmad, Hadis Hasan).
Uraian ini memberikan gambaran jelas bahwa kebangkitan Islam pada masa mendatang—sebagai kebangkitan Khilafah ala Minhaj Nubuwwah—dapat membawa stabilitas dan kemakmuran seperti yang terjadi pada Pax Islamica sebelumnya. Seperti dalam hadis tersebut, fase terakhir ini memberikan harapan akan adanya sistem kepemimpinan berbasis kenabian yang membawa keadilan global. Dengan nilai-nilai yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum Muslimin memiliki tugas berupa beban peradaban yang mulia dalam menjalankan dakwah politik yang berdasarkan ajaran Rasulullah ﷺ, karena kaum muslimin meyakini bahwa hanya Islamlah yang akan bisa memperbaiki kerusakan bumi akibat Komunisme dan Kapitalisme.
Kaum Muslimin yang istiqomah dalam menjalankan dakwah politik ini akan menjadi pemimpin dunia yang membawa perubahan besar. Mereka tidak hanya dituntut untuk sabar dan tekun dalam perjuangan, tetapi juga untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip Islam yang menekankan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian bagi seluruh umat manusia. Sistem Islam yang ditegakkan melalui kepemimpinan Islam bukan hanya berfungsi sebagai solusi bagi masalah umat Islam, tetapi juga sebagai cahaya bagi dunia yang membutuhkan kepemimpinan yang adil dan bijaksana.[]
Analogi ekologik merupakan perspektif dalam ekologi yang menggambarkan keserupaan antara spesies tumbuhan dan hewan yang berada di wilayah geografis yang berbeda, namun memiliki fungsi atau bentuk yang serupa. Misalnya, perbandingan antara rubah yang hidup di Gurun Sahara dan rubah yang ditemukan di Amerika, atau antara hewan berduri yang ada di Australia dan kadal bertanduk di Amerika Utara. Konsep ini menekankan bahwa meskipun spesies tersebut hidup di tempat yang sangat jauh dan memiliki lingkungan yang berbeda, namun mereka memiliki adaptasi dan fungsi serupa untuk bertahan hidup.
Namun, perspektif analogi ekologi ini tidak hanya terbatas pada perbandingan ruang, tetapi juga dapat diperluas dalam konteks waktu, yakni melihat keserupaan fungsi antara masa lalu dan masa kini. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana peran atau fungsi manusia di masa lalu memiliki kemiripan dengan peran yang ada pada masa sekarang. Contoh yang jelas bisa dilihat pada fungsi penguasa yang zalim di berbagai zaman. Atau bagaimana fungsi individu-individu di masa lalu dalam ekosistem dakwah.
Misalnya, pada masa lalu, kita mengenal penguasa zalim seperti Raja Namrudz yang menindas Nabi Ibrahim AS, atau Fira’un yang menindas Nabi Musa AS. Di zaman Nabi Muhammad SAW, kita juga melihat adanya pemimpin zalim seperti Abu Lahab, Abu Jahal, dan koalisinya yang menjadi penghalang utama terhadap dakwah Islam. Analogi ini menunjukkan bahwa meskipun zaman dan tempatnya berbeda, pola dan fungsi pemerintahan yang menindas terhadap dakwah tetap ada.
Keserupaan ini tidak hanya terbatas pada penguasa zalim, tetapi juga dapat ditemukan dalam peran antagonis lainnya, seperti kalangan intelektual dan kapitalis yang berusaha menghalangi dakwah dan penerapan hukum-hukum Allah SWT. Pada masa Nabi Musa AS, kita mengenal Haman dan Qorun sebagai figur antagonis yang berusaha menggagalkan misi dakwah. Pada masa kini, kita mungkin dapat menemukan peran yang serupa, di mana ada oknum-oknum intelektual dan kapitalis yang berposisi antagonis terhadap tumbuh dan berkembangnya dakwah yang bertujuan membumikan hukum-hukum Allah SWT.
Namun, analogi ekologi juga menunjukkan kesamaan dalam peran protagonis, yakni mereka yang mendukung dakwah dan keberlangsungan syariat Allah SWT. Pada masa lalu, para Nabi dan Rasul Allah SAW serta pengikut setia mereka memainkan peran penting dalam menyebarkan wahyu dan memperjuangkan nilai-nilai Islam. Kini, kita juga dapat menemukan sosok-sosok protagonis yang melanjutkan perjuangan tersebut, memuliakan Islam, dan berusaha mengimplementasikan syariat-Nya di dunia ini. Mereka adalah individu dan kelompok yang dengan penuh pengabdian bekerja untuk membumikan hukum Allah SWT, menyebarkan dakwah, dan mengajak umat untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Lalu, dalam analogi ekologi zaman ini, di manakah posisi kita? Apakah kita termasuk dalam kelompok yang berperan sebagai antagonis, yang menghalangi dakwah dan penerapan syariat Allah, atau justru kita adalah protagonis yang mendukung dan memperjuangkan nilai-nilai Islam? Tentu saja, harapan kita adalah menjadi bagian dari pemeran protagonis atau menjadi pengikut yang setia dalam dakwah ini, bukan sebagai pecundang yang menghambat kemajuan dakwah Islam.
Sebagai umat Islam, kita harus merenungkan posisi kita dalam perjuangan ini. Apakah kita sudah menjalankan peran kita dengan baik dalam mendukung dakwah, ataukah kita justru terjebak dalam perilaku yang merugikan umat dan dakwah Islam? Sebagai khalifah di bumi, kita memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa hukum-hukum Allah SWT diterapkan dengan adil dan benar. Ini adalah amanah yang harus dijaga, agar dakwah ini terus berkembang dan membawa kemaslahatan bagi umat manusia.
Analogi ekologi menunjukkan bahwa meskipun peran atau fungsi tertentu di masa lalu memiliki kemiripan dengan masa kini, setiap individu memiliki pilihan untuk berperan sebagai protagonis atau antagonis dalam perjalanan dakwah Islam. Dengan mengenali peran kita dalam konteks sejarah dan fungsi kita dalam dakwah, kita dapat memahami betapa pentingnya kontribusi setiap individu dalam memperjuangkan syariat Allah SWT. Sebagai umat Islam, kita harus memastikan bahwa kita berperan sebagai penggerak kebaikan, bukan sebagai penghalang. Ini adalah tantangan besar yang membutuhkan kesadaran, komitmen, dan kerja keras untuk memastikan bahwa dakwah Islam tetap berkembang di bumi ini, sesuai dengan kehendak Allah SWT.[]