Tombol-Sensor Kesejahteraan (Bagian 1/2)

Salah satu terma pembangunan yang dapat dikatakan seumuran dengan masyarakat manusia adalah kesejahteraan. Dan atas nama kesejahteraan pula, manusia menyepakati perlunya negara dan pemerintahannya.

Akan tetapi, usia panjang terma kesejahteraan tersebut, tidak lantas menjadikannya mudah untuk direalisasikan.

Silih berganti negara, kekuasaan, manusia, waktu, bahkan peperangan dan silang sengketa hadir untuk mengurusnya, namun mewujudkannya laksana menegakkan benang basah.

Demikian sulitkah menghadirkan kesejahteraan?

Tentu, tidak juga. Oleh karena, ada masa-masa di mana ia pernah membersamai masyarakat. Tetapi ia hadir bukan laksana musim apalagi adakadabra.

Menyebut Negeri Saba’, Kekuasaan Nabi Sulaiman, ataupun Kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz, maupun Khalifah Harun ar Rasyid tentu menjadi puncak-puncak percontohan Negara Sejahtera.

Itu berarti, kesejahteraan bukanlah warisan yang diterima begitu saja, tetapi merupakan resultan dari pekerjaan sistem yang mengusahakannya.

Kesejahteraan itu tidaklah laksana memetik buah mangga, mengupas, lalu memakannya. Akan tetapi, ia laksana resep makanan yang memerlukan keahlian meraciknya, sistem memasaknya hingga menyajikannya.

Dalam buku saya ‘Islam dan Negara Kolaboratokrasi: Kritik dan Rekonstruksi Ideologis Pembangunan Masyarakat’ Jilid I, saya mengistilahkan ‘meracik pembangunan’ dengan sebutan Filosofi Kolaborasi MENO (Makanan Enak dan Nutritious).

Oleh karena itu dalam usaha meng-konstruksi kesejahteraan, dibutuhkan sistem cerdas dan keahlian sistemik.

Maknanya adalah tombol aktif kesejahteraan itu adalah sistem dan manajernya.

Namun, tidak asal ada sistem dan manajer, maka masyarakat akan sejahtera, karena ada tombol sosial yang bawaannya memang malfungsi: kapitalisme, sekulerisme, sosialisme, dan komunisme adalah contohnya.

Itulah pentingnya mengambil ibrah dari sistem sosial yang benar-benar telah terbukti sebagai tombol aktif kesejahteraan.

Salah satu sifat utama sistem cerdas adalah kemampuan metodiknya mengelola urusan-urusan warga secara total dan berkeselarasan.

Sebaliknya tombol-tombol yang cacat, bawaan sistem rusak akan menampakkan sifat kanibalisme-nya. Contohnya, jika ingin memaksimalkan aspek ekonomi, terkadang harus mengorbankan aspek sosial, dsb.

Tidak jarang, untuk alasan pendapatan, maka produksi minuman keras dilegalkan, lokalisasi prostitusi dibolehkan, termasuk perjudian dsb. Untuk alasan ini, maka aspek sosial seperti keteladanan dan moralitas menjadi terbanting ambruk. Inilah kanibalisme dalam sistem yang malfungsi.

Lanjut ke Bagian 2

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *