
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, berbagai tindak pidana dan kriminal ditangani dengan sangat bijaksana dan penuh pertimbangan. Salah satu kasus yang terkenal adalah pemalsuan stempel negara oleh Ma’an bin Zaidah. Dengan kepandaiannya, ia berhasil memalsukan stempel dan memperoleh harta dari Baitul Mal. Umar menghukumnya dengan seratus kali cambukan, memenjarakannya, lalu mengasingkannya agar tidak mengulangi perbuatannya.
Kasus lainnya terjadi di Kufah, di mana seseorang mencuri harta Baitul Mal. Umar tidak memotong tangannya, karena menurutnya semua orang memiliki hak atas harta itu. Ia hanya menjatuhkan hukuman ta’zir berupa cambukan. Umar sangat mempertimbangkan keadilan dalam setiap putusan hukuman.
Saat paceklik melanda, beberapa pemuda mencuri unta untuk dimakan. Meski mereka bersalah, Umar tidak menjatuhkan hukum potong tangan karena kondisi darurat. Mereka hanya diwajibkan membayar ganti rugi dua kali lipat harga unta. Hal ini menunjukkan kebesaran jiwa Umar dalam memahami situasi masyarakat.
Umar juga terkenal cermat dalam memilih pegawai. Ia melarang penduduk desa menjadi pemimpin di kota, agar pemimpin dapat memahami karakter masyarakatnya. Beliau selalu mengutamakan keadilan dan kecocokan dalam penempatan pejabat.
Kasih sayang Umar kepada rakyatnya sangat besar. Ia menolak mengangkat pegawai yang keras hati, bahkan memecat komandan perang yang menyebabkan prajuritnya mati karena dipaksa menyeberangi sungai di cuaca dingin. Umar mengingatkan bahwa kasih sayang dan kebijaksanaan adalah sifat yang paling dicintai Allah.
Umar juga menolak mengangkat kerabatnya menjadi pegawai, meskipun mereka cakap dan beriman. Baginya, jabatan adalah amanah, bukan warisan keluarga. Ia juga melarang orang yang meminta jabatan untuk mendudukinya, sebab jabatan bukan sesuatu yang diminta, melainkan amanah yang harus diemban dengan ikhlas.
Para pegawai juga dilarang berdagang agar tidak mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan tugas negara. Umar memeriksa kekayaan pegawai sebelum dan sesudah menjabat untuk mencegah korupsi. Ia menegaskan bahwa pegawai diangkat untuk melayani umat, bukan mencari keuntungan.
Sebelum mengangkat pejabat, Umar mengharuskan mereka bersumpah untuk hidup sederhana, tidak menunggang kuda pemerintah, tidak makan enak, dan selalu membuka pintu untuk rakyat. Umar ingin para pemimpin menjadi teladan dalam kesederhanaan dan tanggung jawab.
Setiap pengangkatan gubernur didahului musyawarah. Umar selalu meminta pendapat sahabat-sahabatnya, agar keputusannya tepat. Ia menguji calon pegawai dalam waktu yang lama, untuk memastikan kejujuran dan keteguhan hati mereka.
Dalam memilih gubernur, Umar sering menunjuk orang dari kalangan mereka sendiri, agar lebih mudah memahami masyarakat yang dipimpin. Keputusan ini menunjukkan kecerdasan Umar dalam membina persatuan.
Umar juga selalu memberikan surat pengangkatan resmi kepada setiap gubernur, disaksikan oleh para sahabat. Surat itu berisi sumpah jabatan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bahkan orang non-Muslim tidak diizinkan menjadi pejabat dalam urusan kaum Muslimin, sebagai bentuk penjagaan terhadap agama dan umat.
Setiap pegawai mendapatkan gaji yang layak, agar tidak tergoda berbuat curang. Umar menegaskan bahwa gaji ini bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk mencukupi kebutuhan agar pegawai fokus pada tugasnya. Gaji diberikan sesuai jabatan, wilayah, dan kebutuhan setempat.
Para pegawai kadang menolak gaji, tapi Umar tetap memerintahkan mereka untuk menerimanya. Sebab, dengan gaji itu mereka dapat menafkahi keluarga dan bersedekah tanpa mengambil hak orang lain. Umar mencontohkan apa yang pernah diajarkan Rasulullah.
Kebijaksanaan Umar juga terlihat saat ia tidak memberi jabatan kepada orang yang memintanya. Bagi Umar, orang yang meminta jabatan biasanya tidak siap menanggung beratnya amanah. Oleh sebab itu, hanya yang teruji dan terpercaya yang diangkat.
Para pegawai dilarang menerima suap atau hadiah dari rakyat, karena itu bisa mencederai keadilan. Umar ingin semua pegawai menjaga integritas dan fokus pada pelayanan umat.
Ia juga melarang pegawai berdagang selama menjabat. Umar tegas mengambil keuntungan dagang pegawainya, agar tak ada yang memanfaatkan jabatan untuk mencari untung.
Umar selalu mengawasi harta pegawainya. Setiap tambahan harta yang mencurigakan akan diselidiki. Jika alasan mereka tidak kuat, harta itu akan diambil negara. Umar ingin menjaga agar pegawai tetap bersih dan amanah.
Umar memaksa para pegawai untuk hidup sederhana, sebagai teladan masyarakat. Kehidupan zuhud para pemimpin diharap mampu mengarahkan masyarakat pada kebaikan.
Umar memberikan gaji tetap agar pegawai tak tergoda untuk menyeleweng. Gaji ini juga disesuaikan dengan kondisi wilayah dan perkembangan zaman. Kebijakan ini mencegah korupsi dan menjaga fokus para pegawai pada tugas mereka.
Sikap Umar yang bijaksana dalam menghukum dan memilih pegawai menjadi contoh kepemimpinan yang penuh hikmah. Ia mendahulukan kepentingan umat, menegakkan keadilan, dan menjaga amanah dengan sepenuh hati.[]