Cara Mudah Membaca Sejarah dengan Benar

Sejarah sering kali dianggap sebagai catatan masa lalu yang penuh dengan peristiwa dan tokoh-tokoh besar. Namun, tahukah kita bahwa kata sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu syajarah, yang berarti pohon? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejarah diartikan sebagai silsilah, peristiwa masa lampau, atau ilmu yang mempelajari kejadian masa lalu. Artinya, sejarah tidak hanya bercerita tentang peristiwa, tetapi juga tentang hubungan dan asal-usul yang membentuk masa kini.

Herodotus, seorang tokoh Yunani yang dikenal sebagai bapak sejarah, memandang sejarah sebagai kisah naik-turunnya peradaban. Sementara Francis Bacon menekankan bahwa sejarah terkait erat dengan waktu dan tempat. Vico menambahkan bahwa sejarah adalah ilmu pertama yang diciptakan manusia, karena hanya manusia yang mampu memahami ciptaannya sendiri. Di Indonesia, pemikiran Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo juga memberi warna tersendiri dalam memahami sejarah sebagai ilmu yang memaparkan budaya dan fakta unik kehidupan manusia.

Sejarah terbagi menjadi tiga: sejarah sebagai peristiwa nyata, sebagai kisah atau cerita, dan sebagai ilmu. Sejarah sebagai peristiwa adalah kejadian nyata di masa lalu. Sejarah sebagai kisah adalah narasi yang disusun berdasarkan ingatan atau tafsiran manusia, yang kadang tidak lepas dari subjektivitas. Sedangkan sejarah sebagai ilmu berusaha untuk menulis apa yang benar-benar terjadi secara objektif, sebagaimana ditekankan oleh Leopold Von Ranke.

Memahami sejarah berarti memahami waktu. Sejarah menelusuri perkembangan, kesinambungan, pengulangan, dan perubahan dalam kehidupan manusia. Sejarah juga tidak lepas dari seni, karena dalam menulisnya dibutuhkan intuisi, emosi, dan bahasa yang memikat. Meski begitu, unsur seni kadang membuat sejarah kehilangan objektivitasnya.

Dalam menulis sejarah, para ahli melakukan empat pekerjaan utama: generalisasi untuk membuat simpulan umum, periodisasi untuk membagi sejarah dalam babak tertentu, kronologi untuk menata peristiwa sesuai urutan waktunya, dan historiografi untuk menulis sejarah. Keempat langkah ini membantu kita agar tidak terjebak dalam kerancuan waktu atau informasi yang keliru.

Sejarah Nusantara tidak lahir dalam ruang kosong. Sejarah kita dibentuk oleh banyak interaksi, baik dari dalam maupun luar negeri. Perjalanan dakwah Islam, misalnya, memberi warna besar pada wajah Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sejarah perjuangan bangsa kita melawan penjajah juga tak lepas dari peran ulama, pesantren, dan santri.

Untuk membaca sejarah dengan benar, dibutuhkan metode yang tepat. Dalam Islam, metode periwayatan sangat diutamakan. Periwayatan ini didukung dengan kajian sanad (jalur periwayatan) dan matan (isi riwayat), serta dilengkapi bukti fisik sejarah. Al-Qur’an dan hadits menjadi contoh sempurna betapa rapinya sejarah Islam disusun dan dijaga.

Pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan memperlihatkan betapa seriusnya umat Islam menjaga kemurnian sejarahnya. Langkah mereka bukan hanya menyusun lembaran-lembaran wahyu, tetapi juga memastikan tidak ada perbedaan bacaan yang merusak keaslian isi.

Begitu juga hadits Nabi Muhammad SAW, sejak masa sahabat hingga tabi’in dan tabi’ut tabi’in, telah melalui saringan yang sangat ketat. Para ulama hadits menempuh perjalanan jauh untuk mengumpulkan, membandingkan, dan menilai keabsahan setiap riwayat. Dari sinilah lahir karya-karya besar yang menjadi rujukan utama dalam memahami sejarah Islam.

Para perawi hadits seperti Al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya dikenal memiliki metode ketat dalam menyeleksi riwayat. Mereka memeriksa siapa perawinya, kapan hidupnya, siapa gurunya, dan seberapa kuat hafalannya. Semua ini dilakukan agar sejarah yang kita terima bukan hasil karangan atau manipulasi.

Hadits dalam Islam diklasifikasikan agar mudah diketahui kualitasnya. Ada hadits mutawatir yang diriwayatkan banyak orang sehingga mustahil dipalsukan, dan ada hadits ahad yang diriwayatkan lebih sedikit dan perlu penelitian mendalam. Dari segi kualitas, hadits juga dibagi menjadi shahih, hasan, dan dhaif.

Metode periwayatan Islam ini sebetulnya bisa dijadikan contoh bagi para penulis sejarah masa kini. Banyak peristiwa penting bangsa kita yang masih samar atau diragukan kebenarannya karena minimnya metode verifikasi. Dengan meniru ketelitian ulama hadits, sejarah kita bisa lebih kuat dan terhindar dari rekayasa.

Sejarah bukan hanya catatan tentang raja, perang, atau penaklukan. Sejarah adalah cermin identitas kita, bagaimana kita menjadi bangsa seperti hari ini. Memahami sejarah dengan benar akan membuat kita lebih bijak dalam menilai masa kini dan menatap masa depan.

Membaca sejarah bukan hanya soal menghafal tanggal dan nama. Membaca sejarah berarti menelusuri jejak, memverifikasi kebenaran, dan mengambil hikmah. Dengan begitu, sejarah benar-benar menjadi guru kehidupan, bukan sekadar cerita yang dilupakan begitu saja.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *