
Setiap manusia pasti melakukan berbagai macam aktivitas dalam hidupnya. Namun, sering kali tindakan yang kita ambil hanya berdasarkan keinginan sesaat, dorongan emosi, atau kebutuhan fisik yang mendesak. Padahal, agar sebuah perbuatan benar-benar bermakna, efektif, dan membawa manfaat jangka panjang, ada tiga kaidah penting yang harus dijadikan landasan: berpikir sebelum bertindak, memiliki tujuan yang jelas, dan dilandasi keimanan yang kokoh.
Pertama, setiap perbuatan harus dibangun di atas kesadaran dan pemikiran yang utuh. Artinya, kita perlu memahami dorongan yang muncul dalam diri—baik dorongan naluri maupun kebutuhan jasmani—dengan cara merasakannya, mengamatinya, lalu menghubungkannya dengan informasi dan nilai yang kita miliki. Dalam Islam, keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tidak cukup hanya karena “ingin”, tapi harus didasarkan pada pertimbangan hukum syariat, nilai yang hendak dicapai, dan metode pelaksanaannya. Berpikir di sini bukan sekadar menggunakan logika, tapi mengaitkan realitas dengan hukum Allah melalui proses yang sehat dan sadar.
Kedua, setiap aktivitas harus punya tujuan yang jelas. Tanpa tujuan, perbuatan hanya akan menjadi rutinitas kosong atau bahkan menyimpang. Tujuan ini bisa berupa nilai materi seperti penghasilan, nilai akhlak seperti kejujuran, nilai kemanusiaan seperti menolong sesama, atau nilai spiritual seperti mendekatkan diri kepada Allah. Namun, dalam satu aktivitas, seorang muslim idealnya hanya fokus pada satu nilai sebagai niat utama. Misalnya, seorang pedagang yang jujur tetap menjadikan keuntungan halal sebagai tujuannya, meskipun kejujurannya mendatangkan nilai moral tambahan. Dengan begitu, tindakan tersebut menjadi fokus, terarah, dan tidak mudah goyah oleh tekanan atau godaan lain.
Ketiga, seluruh aktivitas harus berakar pada keimanan. Bagi seorang muslim, keimanan bukan sekadar keyakinan dalam hati, tetapi harus mewarnai seluruh tindak-tanduknya. Keimanan membuat seseorang sadar bahwa Allah Maha Melihat setiap perbuatan, bahwa setiap amal akan dihisab, dan bahwa segala hasil akhirnya berada di tangan Allah. Keimanan ini juga yang akan membentengi jiwa dari stres, tekanan batin, bahkan rasa putus asa ketika hasil tidak sesuai harapan. Karena dengan iman, seseorang tahu bahwa tugasnya adalah berusaha sebaik mungkin, sedangkan hasil akhir adalah bagian dari takdir yang harus diterima dengan lapang dada.
Contoh paling jelas dari penerapan ketiga kaidah ini adalah peristiwa perang Badar. Saat jumlah kaum muslimin jauh lebih sedikit dari pasukan Quraisy, Rasulullah dan para sahabat tidak bertindak gegabah. Mereka berpikir matang, bermusyawarah, menyusun strategi berdasarkan realitas, dan tetap meletakkan kepercayaan penuh kepada Allah. Mereka berperang bukan sekadar karena benci kepada musuh, tapi karena itu adalah perintah Allah demi menegakkan kebenaran dan menghancurkan fitnah. Keyakinan yang mereka miliki bukan hanya tentang kemenangan, tetapi bahwa pertolongan Allah akan turun jika mereka melaksanakan tugas dengan benar. Dan benar saja, kemenangan besar pun diraih.
Tiga kaidah ini—berpikir sadar, bertujuan jelas, dan bersandar pada iman—telah membawa umat Islam pada masa kejayaannya. Meskipun teknologi saat itu masih terbatas, mereka mampu menguasai dunia karena setiap langkah mereka dituntun oleh pemikiran, tujuan, dan keimanan yang benar. Kaidah ini masih sangat relevan hingga kini. Siapa pun yang ingin hidupnya bermakna dan sukses, tak bisa mengabaikan ketiganya. Dengan berpikir jernih, berorientasi pada nilai, dan berpijak pada iman, setiap langkah kita akan lebih mantap, bermanfaat, dan bernilai di hadapan manusia maupun di sisi Allah.[]