Namun, di tengah hegemoni spektakel ini, harapan dan perlawanan tetap ada. Konsep tanding terhadap Society of the Spectacle adalah politik dan budaya yang berbasis rasionalitas, komunikasi jujur, logika yang sehat, serta nilai-nilai idealisme. Masyarakat anti-spektakel adalah mereka yang lebih memuliakan substansi dibanding penampilan, dan menilai tokoh publik dari isi pikirannya, keberpihakan moralnya, serta konsistensi tindakannya—bukan dari dramatisasi visual semata.
Dalam sejarah Islam, kita mengenal banyak figur yang mewakili semangat ini:
- Nabi Muhammad SAW, pemimpin yang mengandalkan retorika kebenaran, integritas moral, dan keberanian logis—bukan pencitraan kosong.
- Umar bin Khattab, pemimpin asketis yang menolak dipuja, hidup bersahaja, tetapi memiliki kekuatan rasional dalam kebijakan.
- Ali bin Abi Thalib, yang dikenal dengan pemikiran tajam, tutur kata lugas, serta ketegasan dalam keadilan, namun tetap sederhana dalam hidup.
- Mohammad Natsir, tokoh intelektual Islam Indonesia, lebih dikenal karena kekuatan argumennya, integritas keilmuannya, dan kedalaman visinya—bukan karena kepiawaiannya dalam tampil di panggung massa.
Mereka adalah contoh dari kepemimpinan berbasis substansi dan nilai, bukan sekadar citra semu. Perlawanan terhadap masyarakat spektakel harus dimulai dari keberanian untuk berbicara jujur, berpikir mendalam, dan menyampaikan kebenaran meskipun tidak populer. Dalam dunia yang penuh citra, kejujuran adalah bentuk perlawanan paling radikal.
Guy Debord telah memprediksi masa depan dunia modern yang dipenuhi fatamorgana visual. Kini, dunia itu telah menjadi kenyataan. Tugas kita adalah membongkar lapisan-lapisan citra palsu itu dan mengembalikan makna pada substansi. Dalam masyarakat yang lebih percaya gambar, kita harus kembali pada gagasan. Dalam masyarakat yang terperangkap dalam tontonan, kita harus menjadi suara yang mengingatkan akan kenyataan.
KH Ruthven mencoba menganalisis fenomena budaya itu melalui teori Citra atau image . Ia berupaya untuk membongkar setiap citra itu, sampai ideologi yang melatari setiap pencitraan tersebut
Sepertinya Guy Debord melihat citra sebagai alat dominasi dalam masyarakat kapitalis modern, di mana visual (seperti iklan dan media) menciptakan keterasingan dan menggantikan realitas dengan ilusi (spectacle). Pendekatannya bersifat kritis dan ideologis. Sedangkan KH Ruthven memandang citra sebagai sarana pembentuk makna dalam teks sastra dan budaya. Ia fokus pada bagaimana simbol dan representasi membentuk identitas budaya, dengan pendekatan semiotik dan analitis.
Debord mengkritik bagaimana citra digunakan untuk kontrol sosial, sementara Ruthven menganalisis bagaimana citra membentuk makna budaya dalam teks.