Di Indonesia, masyarakat spektakel telah mengakar kuat, terutama dalam ranah politik dan media sosial. Figur publik semakin menyadari bahwa citra dapat mengalahkan substansi. Tokoh-tokoh politik yang paling menonjol saat ini mengelola tampilannya dengan cermat untuk membentuk persepsi yang emosional dan dekat dengan rakyat.
- Joko Widodo membangun citra sebagai pemimpin merakyat melalui blusukan, gaya sederhana, dan interaksi langsung dengan rakyat kecil, yang dikemas dalam konten visual yang masif.
- Ridwan Kamil menggunakan pendekatan digital dengan komunikasi santai, humoris, dan estetika yang ringan.
- Anies Baswedan menampilkan sosok intelektual dan religius melalui gaya bahasa yang elegan dan penyampaian visual yang kuat.
- Prabowo Subianto menguatkan citra maskulin dan patriotik dengan pakaian militer, simbol kuda, dan retorika berapi-api.
- Dedi Mulyadi, melalui konten sosial bernuansa lokal dan narasi empati, tampil sebagai sosok “pemimpin kampung” yang dicintai publik karena video-videonya yang menyentuh hati.
Dalam semua kasus ini, jelas terlihat bahwa politik tidak lagi menjadi arena gagasan, melainkan arena persepsi. Visual telah menggantikan visi—politik tidak lagi bertumpu pada program dan substansi, tetapi pada kemasan dan pencitraan yang terbentuk lewat media sosial. Tokoh politik tidak perlu menjelaskan kebijakan yang kompleks, cukup menyentuh emosi publik. Visi jangka panjang digantikan oleh narasi pendek yang viral dan membangun kesan perubahan. Yang utama bukan perubahan nyata, melainkan kesan bahwa perubahan tengah berlangsung.
Fenomena ini semakin relevan karena masyarakat hidup dalam ekonomi perhatian (attention economy)—di mana yang paling mencolok, paling menghibur, dan paling mudah dikonsumsi, justru menjadi yang paling mendapat ruang. Dalam masyarakat dengan literasi kritis rendah serta dominasi media sosial, pencitraan menjadi alat politik yang paling efektif. Demokrasi elektoral yang lebih menekankan popularitas ketimbang kapabilitas memungkinkan politisi mengandalkan citra sebagai senjata utama. Realitas direduksi menjadi konten. Kebenaran digeser oleh daya sebar. Yang viral menjadi yang sah.
KH Ruthven mencoba menganalisis fenomena budaya itu melalui teori Citra atau image . Ia berupaya untuk membongkar setiap citra itu, sampai ideologi yang melatari setiap pencitraan tersebut
Sepertinya Guy Debord melihat citra sebagai alat dominasi dalam masyarakat kapitalis modern, di mana visual (seperti iklan dan media) menciptakan keterasingan dan menggantikan realitas dengan ilusi (spectacle). Pendekatannya bersifat kritis dan ideologis. Sedangkan KH Ruthven memandang citra sebagai sarana pembentuk makna dalam teks sastra dan budaya. Ia fokus pada bagaimana simbol dan representasi membentuk identitas budaya, dengan pendekatan semiotik dan analitis.
Debord mengkritik bagaimana citra digunakan untuk kontrol sosial, sementara Ruthven menganalisis bagaimana citra membentuk makna budaya dalam teks.