Society of the Spectacle

Konsep Society of the Spectacle pertama kali diperkenalkan oleh Guy Debord, seorang filsuf, sineas, dan aktivis politik asal Prancis. Karyanya, La Société du Spectacle (1967), menjadi salah satu pijakan penting dalam teori kritis dan kajian budaya modern. Dalam buku tersebut, Debord mengkritik bagaimana kapitalisme menciptakan “spektakel”—sebuah pertunjukan citra dan simbol yang menggantikan pengalaman nyata serta relasi autentik manusia. Dalam dunia yang didominasi oleh spektakel, individu tidak lagi hidup dalam kenyataan, tetapi dalam representasi yang dikemas untuk konsumsi massal. Hidup berubah menjadi tontonan, yang disusun agar dapat dijual, dibagikan, dan diterima dalam format visual yang memikat.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Prancis, tetapi juga berkembang di berbagai negara. Di Amerika Serikat, misalnya, politik mengalami transformasi menjadi panggung spektakel. Tokoh seperti Ronald Reagan dan Donald Trump memanfaatkan pencitraan melalui gaya, slogan, dan tontonan massal, menggantikan diskusi kebijakan berbasis substansi. Di Korea Selatan dan Jepang, budaya hiperestetis berkembang pesat—di mana eksistensi seseorang sering kali diukur dari seberapa sukses ia tampil di layar. Masyarakat global telah lama bergeser dari kehidupan nyata menuju kehidupan yang dibangun di atas citra.

2 komentar untuk “Society of the Spectacle”

  1. KH Ruthven mencoba menganalisis fenomena budaya itu melalui teori Citra atau image . Ia berupaya untuk membongkar setiap citra itu, sampai ideologi yang melatari setiap pencitraan tersebut

    1. Sepertinya Guy Debord melihat citra sebagai alat dominasi dalam masyarakat kapitalis modern, di mana visual (seperti iklan dan media) menciptakan keterasingan dan menggantikan realitas dengan ilusi (spectacle). Pendekatannya bersifat kritis dan ideologis. Sedangkan KH Ruthven memandang citra sebagai sarana pembentuk makna dalam teks sastra dan budaya. Ia fokus pada bagaimana simbol dan representasi membentuk identitas budaya, dengan pendekatan semiotik dan analitis.

      Debord mengkritik bagaimana citra digunakan untuk kontrol sosial, sementara Ruthven menganalisis bagaimana citra membentuk makna budaya dalam teks.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *