Depopulasi China

China telah lama menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi yang dominan di dunia. Namun, di balik kemajuan pesat dalam berbagai sektor, negara ini menghadapi tantangan serius berupa krisis demografi yang semakin mengkhawatirkan. Penurunan angka pernikahan dan kelahiran berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang serta memperburuk ketidakseimbangan populasi. Pada tahun 2024, jumlah pendaftaran pernikahan di China turun hingga 20,5%, angka terendah sejak pencatatan dimulai pada tahun 1978.

Fenomena ini memiliki dampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi, seperti menurunnya angka kelahiran yang mempercepat penuaan populasi dan semakin membebani sistem pensiun serta layanan kesehatan, serta ketidakseimbangan tenaga kerja yang dapat memperlambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Seiring bertambahnya jumlah lansia, China akan menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menopang industri dan teknologi.

Beberapa alasan utama yang menyebabkan generasi muda China enggan menikah dan memiliki anak antara lain tekanan ekonomi dan biaya hidup yang tinggi, harga rumah yang tidak terjangkau, biaya pendidikan yang mahal, serta ketidakpastian ekonomi yang membuat banyak anak muda lebih memilih hidup sendiri dan fokus pada karier daripada membangun keluarga. Tingkat pengangguran kaum muda yang mencapai lebih dari 20% di beberapa daerah semakin memperkuat keengganan mereka untuk mengambil tanggung jawab finansial yang lebih besar dengan menikah dan memiliki anak.

Selain itu, pergeseran peran perempuan dalam masyarakat juga berkontribusi terhadap tren ini. Perempuan muda semakin mandiri secara finansial dan tidak lagi merasa harus menikah demi stabilitas hidup. Banyak dari mereka memilih kebebasan, karier, serta kehidupan yang tidak terikat pada peran tradisional. Bahkan, istilah “wanita sisa” yang dulunya berkonotasi negatif kini telah berevolusi menjadi “wanita sisa emas,” simbol kesuksesan dan kemandirian perempuan modern.

Kemajuan teknologi yang pesat juga berkontribusi terhadap pergeseran pola pikir masyarakat China. Automasi dan digitalisasi telah mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja manusia, semakin memperparah ketidakseimbangan populasi karena permintaan akan pekerja manusia semakin berkurang. Budaya digital dan gaya hidup modern yang dipromosikan oleh influencer di media sosial semakin memperkuat tren hidup mandiri tanpa pernikahan atau anak.

Di samping itu, pekerjaan berbasis teknologi memungkinkan individu untuk bekerja secara fleksibel tanpa harus membangun keluarga demi stabilitas finansial. Banyak anak muda lebih memilih investasi dalam karier dan aset digital daripada berumah tangga. Pemerintah telah berupaya membalikkan tren ini dengan berbagai kebijakan, seperti subsidi pernikahan dan kelahiran untuk meringankan beban ekonomi pasangan muda, cuti melahirkan yang lebih panjang untuk memberikan perlindungan bagi perempuan pekerja, serta pemangkasan birokrasi dalam proses administrasi pernikahan dan kelahiran. Namun, hingga saat ini, langkah-langkah tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan. Jika tren penurunan angka pernikahan dan kelahiran terus berlanjut, China mungkin menghadapi konsekuensi ekonomi dan sosial yang lebih serius dalam beberapa dekade mendatang.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *