De-extinction dire wolf dimulai dari ekstraksi DNA fosil gigi berusia 13.000 tahun dan tengkorak berusia 72.000 tahun. DNA tersebut kemudian dibandingkan dengan genom canid modern seperti serigala abu-abu, sebelum diedit dan dimasukkan ke dalam sel telur donor. Sel telur ini kemudian dikembangkan hingga akhirnya menghasilkan anak dire wolf yang sehat. Proyek ini tidak hanya berfokus pada dire wolf, tetapi juga turut mengkloning dua kelompok anak red wolf, spesies yang saat ini menghadapi ancaman kepunahan. CEO Colossal, Ben Lamm, menyatakan bahwa pencapaian ini membuktikan bahwa teknologi de-extinction benar-benar dapat digunakan secara praktis.
Konsep de-extinction telah lama menjadi bagian dari penelitian bioteknologi dan genetika. Salah satu contoh awal adalah kloning domba Dolly pada 1996, yang menunjukkan bahwa DNA dari satu individu bisa digunakan untuk menciptakan individu baru dengan karakteristik yang sama. Dalam konteks manusia, penerapan de-extinction masih menjadi perdebatan ilmiah dan etika. Secara teoritis, jika ada cukup DNA fosil dari manusia purba, teknologi serupa bisa digunakan untuk menciptakan kembali individu yang menyerupai manusia zaman dulu. Beberapa proyek penelitian bahkan telah mempertimbangkan kemungkinan menghidupkan kembali Neanderthal, manusia purba yang telah punah lebih dari 40.000 tahun yang lalu.
