WakatobiAIS dan Tragedi Perairan Batang

Sumber foto: www.liputan6.com

“Kapal nelayan berbobot 30 gross ton milik Hermanto warga Kelirahan Klidang Lor, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang mengalami kecelakaan di perairan utara Batang, dua orang dari 14 orang yang berada di kapal Berkah Abadi berhasil ditemukan selamat, sisanya masih dalam belum ketemu”. Demikian www.liputan6.com membuka pewartaaannya terkait tragedi kecelakaan laut di perairan Batang pada 14 Januari 2021 (https://www.liputan6.com/regional/read/4456742/tragedi-tabrakan-kapal-tengah-malam-12-nelayan-hilang-di-perairan-batang).

Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa kecelakaan laut pada 2 Januari 2019. Peristiwa tersebut menimpa tiga nelayan Banten yang terlibat kecelakaan laut dengan Kapal Baruna Jaya 1 milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang sedang melakukan survey (https://pusriskel.litbang.kkp.go.id/index.php/en/home/2169-hikmah-tragedi-baruna-jaya-i-saatnya-wakatobiais-selamatkan-nelayan).

Kita juga masih ingat kejadian yang menimpa Aldi, seorang nelayan Minahasa Utara yang 1,5 bulan hanyut terombang-ambing hingga di Perairan Laut Jepang tahun 2018 (https://pusriskel.litbang.kkp.go.id/index.php/en/component/content/article/36-berita/2056-kenapa-aldi-life-of-pi-bisa-hanyut-ke-guam-ini-penjelasannya).

Tragedi seperti ini merupakan peristiwa nelayan hilang yang berulang, dan terkesan mengalami pembiaran. Pembiaran yang dimaksud berhubungan dengan kelambanan para pihak melakukan upaya mitigasi agar kejadian serupa dapat dikurangi kejadian dan resikonya.

Bukankah sejak 2018, KKP melalui Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan (LPTK BRSDM KP) bermitra dengan Lab Solusi 247 telah memperkenalkan peralatan mitigasi kecelakaan laut untuk nelayan kecil?

Peralatan mitigasi kecelakaan laut untuk nelayan kecil tersebut disebut dengan WakatobiAIS. WakatobiAIS sendiri merupakan akronim dari Wahana Keselamatan dan Pemantauan Obyek Berbasis Automatic Identification System.

Penggunaan alat ini akan membantu keberadaan kapal nelayan kecil akan terbaca pada kapal-kapal berdimensi besar. Sehingga resiko kecelakaan laut bisa dihindari dan/atau dapat diminimalisasi.

Padahal regulasi kita sangat mendukung, baik terkait kewajiban kapal-kapal berdimensi besar maupun akses nelayan kecil untuk mendapatkan teknologi tersebut.

Kapal penumpang dan Kapal barang Non Konvensi dengan ukuran paling rendah GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) yang berlayar di wilayah Perairan Indonesia, serta pada Kapal yang berlayar antar lintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, serta (3) pada Kapal penangkap ikan berukuran dengan ukuran paling rendah GT 60 (enam puluh Gross Tonnage) wajib dipasang AIS Klas B.

Sedangkan teknologi AIS untuk nelayan kecil dapat diakses melalui kewajiban pemerintah (pusat) dan daerah untuk merealisasikan jaminan keselamatan Nelayan dalam melakukan Penangkapan Ikan sebagaimana amanat Pasal 40 ayat 1 UU 7/2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Salah satu teknologi yang mendukung keselamatan nelayan kecil tersebut adalah WakatobiAIS.

Lalu, apa kendalanya pengimplementasian WakatobiAIS padahal telah lulus uji sertifikasi di Kementerian Perhubungan? Ya, ditahap hilirisasi membutuhkan political will dari para pengambil kebijakan untuk mendorong pemanfaatannya.

Mengenai informasi WakatobiAIS dapat diakses melalui link ini: https://pusriskel.litbang.kkp.go.id/index.php/en/home/2145-wakatobiais-perangkat-ais-class-b-buatan-indonesia.

1 komentar untuk “WakatobiAIS dan Tragedi Perairan Batang”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *