Menanti ‘Godot’ Kolaborasi Pembangunan

Sumber gambar: Kompasiana.com

Godot merupakan istilah yang diadopsi dari judul (naskah) drama dua babak karya Samuel Beckett. Karya tersebut berupa drama absurd yang hanya menampilkan lima aktor itu berkisah tentang Estragon dan Vladimir. Keduanya menantikan kedatangan Godot—suatu sosok yang mewakili gagasan sentral yang hakekatnya justru tidak pernah muncul sepanjang cerita.

Pada akhirnya Godot menjadi ungkapan umum. Menunggu Godot menjadi bermakna sebagai menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Dalam penggunaannya secara konotatif, kata ini dapat bermakna sebagai sebuah kesia-siaan atau juga ketidakmampuan (yang keterlaluan) dalam membaca situasi atau gelagat. Dengan kata lain: bisa bermakna sebagai sebuah penantian konyol.

Kalau demikain maknanya, kenapa kolaborasi dapat menjelma sebagai Godot?

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyepelekan nilai penting perjuangan para pengusung kolaborasi. Hanya saja, berkaca dari sejumlah inisiasi kolaborasi pembangunan yang pernah bertumbuh, banyak di antaranya hanya hadir seumur jagung.

Pertanyaannya: apa penyebab kegagalan kita merangkai kolaborasi dalam pembangunan?

Sepertinya untuk menjawab pertanyaan ini, penting kiranya menghitung ulang, berapa sudah program dan kegiatan pembangunan yang telah anda saksikan dibangun atas nama kolaborasi. Mungkin anda-lah orangnya yang pernah merencanakan kolaborasi untuk rehabilitasi hutan? Atau penyelamatan terumbu karang? Atau mungkin penanganan sampah plastik dan timbulan sampah? Dan lain sebagainya.

Jangan bilang penyebabnya oleh karena tidak ada dana. Kenapa? Sungai Ciliwung menjadi saksi, jika permasalahan primer kolaborasi bukanlah anggaran. Sungai Ciliwung kerapkali mengirimkan air bah menggenangi Jakarta, Ibukota Negara. Memangnya Jakarta sebagai ibukota negara dan Provinsi yang ada di ibukota negara tidak punya anggaran?

Jangan bilang penyebabnya karena kekurangan tenaga ahli atau tenaga teknis? Sekali lagi Sungai Ciliwung menjadi saksi. Jawa Barat Provinsi terpadat penduduknya, sepertinya tak akan sulit mencari tenaga yang dibutuhkan. Belum lagi, kampusnya para engineering ada di Bandung (Institut Teknologi Bandung). Jangan lupa juga Institut Pertanian Bogor, gudangnya pakar lingkungan ada di Jawa Barat.

Jangan bilang lagi jika penyebabnya adalah egosektoral? Kenapa? Jika anda pernah bertengkar dengan saudara anda karena alasan ‘egosektoral’, cukuplah kebijakan dan sanksi seorang ayah dan/atau ibu yang menyebabkan anda kembali berkolaborasi.

Jika Jakarta dan Jawa Barat belum mengajarkan kita arti sebuah dana dan SDM untuk kolaborasi, terasa sulit kesannya untuk memberhasilkan kolaborasi bagi kita yang hidup di Indonesia Tengah dan Timur. Sedangkan di kota sudah tak bisa, apalagi di desa, demikian kesannya. Rasa-rasanya inilah contoh Godot dalam kolaborasi.

Namun, jika benar-benar kolaborasi menjelma menjadi Godot, sepertinya kita harus menjadi Samuel Beckett untuk memaksakan memunculkan Godot pada drama yang ditulis dan dipentaskan. Artinya persis yang disebutkan rekan saya Syaharudin (HAK) ketika menyoal tentang kolaborasi Cagar Biosfer Wakatobi dengan mengatakan: kita membutuhkan leader untuk mewujudkan (kolaborasi) itu.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *